SOLUSI KRISIS KERUHANIAN MANUSIA MODERN
Oleh : DR. Achmad Mubarok, MA
Event Artikel : KKA-152 (Jakarta, 18 Pebruari 2000)
Diupdated
pada: Senin 16 April 2001
Pendahuluan
Manusia adalah makhluk yang unik. Ia sangat menarik di
mata manusia itu sendiri. Manusia mempertanyakan diri
sendiri apakah ia makhluk jahat atau makhluk baik.
Terkadang manusia dipuja, tapi di lain kali ia dihujat.
Secara internal manusia itu sendiri terkadang merasa
bangga dan berbahagia sebagai manusia, tetapi orang lain
atau di kesempatan yang lain ia menyesali keberadaannya
sebagai manusia. Ada manusia yang tingkahlakunya
dipandang berada di luar batas perikemanusiaan, tetapi
ada manusia lain yang justeru dipandang suci karena telah
mencapai tingkat insan kamil atau yang telah
berhasil menjadi Diri sendiri. Ada orang yang
tingkahlakunya dikendalikan oleh hawa nafsunya, dan ada
orang yang senantiasa di bawah bimbingan hati nuraninya.
Manusia tertarik untuk mengetahui siapa dirinya terutama
tatkala berada dalam puncak-puncak kebahagian, kesedihan,
ketakutan, kegagalan dan keberhasilan. Meski manusia itu
makhluk yang memiliki dimensi jiwa dan raga, jasmani dan
ruhani, tetapi pertanyaan yang berkepanjangan adalah di
seputar jiwanya, diseputar ruhaninya, dan sebagaimana
yang diakui banyak ahli, meski sudah dicarikan jawabnya
oleh Psikologi, juga oleh sufisme, dan juga filsafat,
tetapi tentang manusia belum mencapai kemajuan seperti
yang telah dicapai oleh pengetahuan lainnya. Pertanyaan
tentang manusia pada hakikatnya seperti yang dikatakan
oleh Alexis Careel hingga kini masih tetap tanpa jawaban.
Al Quran pun mempertanyakan manusia yang tidak mau
merenungkan tentang dirinya, wafi anfusikum afala
tubshirun ?
Manusia adalah makhluk yang berfikir dan merasa.
Sepanjang fikiran dan peraasaannya bisa menyesuaikan diri
dengan keadaan yang dihadapi, maka ia adalah manusia yang
sehat dan tak perlu dirisaukan. Tetapi jika fikiran dan
perasaannya tidak lagi mampu menyesuaikan diri dengan
keadaan yang dihadapi maka ia dapat terkena krisis
psikologis yang berpotensi menghilangkan makna
kehadirannya sebagai manusia. Ketahanan manusia memang
sangat ditentukan oleh cara berfikir dan cara merasanya
dalam menghadapi realita.
Hakikat Manusia
Meski Alexis Careel menyatakan bahwa pertanyaan tentang
manusia pada hakikatnya hingga kini masih tetap tanpa
jawaban, tetapi tahu diri tetap dipandang penting oleh
kebanyakan manusia. Meski pengetahuan (pandangan) setiap
orang tentang dirinya berbeda-beda tetapi hadis Nabi
mengatakan bahwa barang siapa yang mengenali siapa
dirinya maka ia pasti mengenal (ma`rifat) siapa Tuhannya.
Man `arafa nafsahu `arafa robbahu. Hadis ini
mengisyaratkan bahwa sosok manusia memang
sophisticated, rumit, dan memerlukan kesungguhan ekstra
kuat untuk mengenalinya, karena manusia ternyata
merupakan tajalli Tuhan.
Al-Quran menggunakan tiga nama untuk menyebut
manusia, yaitu (1) ?????? - ??? -??? ????, (2) ???? dan
(3) ??? ??? atau ?????? ???. Menurut kebanyakan tafsir,
manusia sebagai basyar lebih menunjukkkan sifat lahiriah
serta persamaannya dengan manusia sebagai satu
keseluruhan sehingga Nabipun disebut sebagai basyar, sama
seperti yang lain, hanya saja beliau diberi wahyu oleh
Tuhan, satu hal yang membuatnya berbeda dengan basyar
yang lain, seperti tersebut dalam surat al Kahfi/18 :
110.
Sedangkan nama insan yang berasal dari kata (uns)
yang berarti jinak, harmoni dan tampak, atau dari kata
(nasiya )yang artinya lupa, atau dari (nasa yanusu ) yang
artinya berguncang, menunjuk kepada manusia dengan
seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Perbedaan manusia
antara yang satu dengan yang lain, bisa merupakan
perbedaan fisik, bisa juga perbedaan mental dan
kecerdasan .
Sebagai tajalli Tuhan, manusia memiliki rahasia yang tak
kunjung terpecahkan, baik jasmani maupun ruhaninya. Dunia
kedokteran belum selesai menganalisis jasmani manusia.
Demikian juga Psikologi dan tasauf juga belum selesai
menganalisis kehidupan ruhani dan nafsani manusia. Jika
kedokteran berusaha membedah anatomi dan sistem kerja
jasmani, maka Psikologi dapat difahami sebagai upaya
manusia untuk membuka rahasia ayat-ayat nafsani atau
sunnatullah yang bekerja pada diri manusia , sedangkan
tasauf berusaha menghidupkan potensi hubungan aktip
manusia (ruhaninya) dengan Tuhan.
Jiwa Manusia
Dalam khazanah keilmuan Islam, filsafat berkembang dengan
amat pesat, tetapi psikologi tidak berkembang. Hal ini
bukan berarti para ulama tidak tertarik kepada masalah
jiwa.. Al-Quran dan hadis sendiri banyak berbicra
tentang jiwa (nafs), tetapi pengalaman psikologis
masyarakat Islam berbeda dengan pengalaman psikologis
masyarakat Barat. Masyarakat modern Barat tumbuh di atas
puing-puing kekecewaaan kepada Gereja yang berseberangan
dengan pemikiran modern sehingga agama (gereja) kemudian
dipisahkan dari urusan dunia, dan implikasinya kemudian
ilmu pengetahuan dan peradaban Barat berjalan sendiri
tanpa panduan agama, dan jadilah kemudian peradaban
sekuler.
Sedangkan dalam sejarah Islam, perkembangaan ilmu
pengetahuan berjalan seiring dengan agama, dan bahkan
ajaran Islam itu sendiri mendorong ummatnya untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu
pertumbuhan ilmu pengetahuan dan peradaban kaum muslimin
berada dalam panduan agama, bahkan filsafat (Islam) pun -
meski pada mulanya digelitik oleh pemikiran Yunani -
pertumbuhannya tetap berada dalam koridor Al-Quran.
Tentang jiwa (nafs) misalnya, dalam khazanah keilmuan
Islam tidak tumbuh ilmu jiwa (ilm an nafs) sebagai
ilmu yang membahas perbuatan sebagai gejala-gejala jiwa,
tetapi nafs dibahas dalam konteks sistem kerohanian yang
memiliki hubungan vertikal dengan Tuhan, karena
Al-Quran dan juga Sunnah banyak menyebut secara
langsung term nafs maupun term yang menyebutnya secara
tidak langsung seperti qalb, aql, ruh dan bashirah,
yang kesemuanya itu bersifat multi interpretasion
sehingga para ulama dibuat sibuk untuk menggali
pengertian nafs dan sistemnya dalam perspektip
Quran dan sunnah. Di antara ilmu yang membicarakan
nafs dalam khazanah keilmuan Islam adalah ilmu tasauf.
Meski nama tasauf itu sendiri tidak diambil dari
Al-Quran dan atau hadis, tetapi esensi dari kajian
tasauf bersumber dari keduanya. Bertasauf artinya
mematikan nafsu kediriannya secara berangsur-angsur untuk
menjadi Diri yang sebenarnya. Bertasauf artinya berusaha
menempuh perjalanan rohani (as sayr wa as suluk)
mendekatkan diri kepada Tuhan hingga benar-benar merasa
dekat dengan Nya. Tentang bagaimana metode mendekat
(taqarrub) kepada Nya para sufi berpedoman kepada
tingkahlaku keagamaan Nabi, para sahabat Nabi dan para
wali, sehingga dalam bertasauf, faktor mata rantai
penghubung tradisionil dengan asal usulnya atau rantai
kerohanian (silsilah) dalam bentuk guru-murid sangat
dipegang teguh
Al Quran menyebut nafs dengan kata jadian yang
terulang sebanyak 303 kali. Tetapi jiwa juga disebut Al
Quran dengan term lain, yakni `aql, qalb, dan
bashirah. Nafs dalam al Quran digunakan untuk
menyebut totalitas manusia (Q/5:32, Q/36:54), sisi dalam
(jiwa) manusia dan sebagai penggerak tingkah laku
(Q/13:11). Jika tubuh manusia memiliki sistem, demikian
juga jiwa manusia. Sistem nafsani manusia terdiri dari
elemen-elemen qalb, `aql, ruh, bashirah dan fithrah
dengan fungsi masing-masing sebagai subsistem.
Selanjutnya interaksi atau hubungan dari elemen-elemen
itu diikat oleh perasaan dan fikiran sehingga nafs
sebagai satu kesatuaan dapat melahirkan tingkah laku
sebagai hasil akhir dari sistem nafsani tersebut. Nafs
juga dapat digambarkan sebagai ruang yang sangat luas
dalam diri manusia dimana didalamnya terdapat kamar-kamar
yang didesain untuk dimungkinkannya kelangsungan berfikir
dan merasa, tetapi nafs bukan alat.
Qalb. Dalam Al Quran qalb (kalbu) disebut sebagai
alat untuk memahami realitas dan nilai-nilai (Q/22:46
atau 7:179). Oleh karena itu qalb hanya menampung hal-hal
yang disadari, dan keputusan qalb mengandung implikasi
pahala dan dosa. Sementara itu apa yang sudah dilupakan
oleh qalb masuk ke dalam memori nafs, yang pada suatu
saat dapat muncul dalam bentuk impian. Mimpi itu sendiri
ada yang merupakan komunikasi ruhaniah, disebut
ruya al haqq (Q/12:4,5,100) ada juga yang sekedar
mimpi kalut, disebut adhghatsu ahlam (Q/12:44). Sesuai
dengan namanya qalb, qalb memiliki tabiat tidak konsisten
(taqallub). Ia suka berpaling (9:117), kecewa dan kesal
(39:45), mengambil keputusan (33:5), berprasangka
(48:12), menolak (9:8) mengingkari (16:22), dapat diuji
(49:3), ditundukkan (22:54), diperlonggar dan dipersempit
(6:125) dan bahkan ditutup rapat (2:7).
Di dalam qalb juga terkandung penyakit (2:10), perasaan
takut (3:151), getaran (8:2), kedamaian (48:4) keberanian
(3:126), cinta dan kasih sayang (57:27), kebaikan
universal (8;17), iman (49:7,14), kedengkian (59:10)
kufur (2:93), kesesatan (3:7), penyesalan (3:156), panas
hati (9:15), keraguan (9:45), kemunafikan (9:77) dan
kesombongan (48:26). Taqallub al qalb itu dapat membawa
hati pada satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya.
Karena Qalb mempunyai karakter tidak konsisten, maka ia
bisa terkena konflik batin. Interaksi yang terjadi antara
pemenuhan fungsi memahami realita dan nilai-nilai
(positip) dengan tarikan potensi negatip yang berasal
dari kandungan hatinya, melahirkan satu keadaan
psikologis yang menggambarkan kualitas, tipe dan kondisi
dari qalb itu. Proses pencapaian kondisi qalb itu melalui
tahapan-tahapan perjuangan rohaniah, dan dalam proses
itu, menurut Al-Quran, manusia mempunyai sifat
tergesa-gesa, (21: 37 dan Q/17:11), dan berkeluh kesah,
(70:19-21).
Proses interaksi psikologis itu mengantar hati pada
kondisi dan kualitas hati yang berbeda-beda, yaitu;
1). Keras dan kasar hati,( 3:159),
2). Hati yang bersih, (26:89)
3). Hati yang terkunci mati, (42:24)
4). Hati yang bertaubat, (50:33)
5). Hati yang berdosa ,(2:283)
6). Hati yang terdinding, (8:24)
7). Hati yang tetap tenang,(16:106)
8). Hati yang lalai, (21:3)
9). Hati yang menerima petunjuk Tuhan ( 64:11)
10). Hati yang teguh, (28:10)
11). Hati yang takwa, (/22:32)
12). Hati yang buta, (22:46)
13). Hati yang terguncang (24:37)
14). Hati yang sesak, (40:18)
15). Hati yang tersumbat,( 2:88)
16). Hati yang sangat takut (79:8)
17). Hati yang condong kepada kebaikan (66:4)
18). Hati yang keras membatu, (2:74)
19). Hati yang lebih suci, (33:53)
20). Hati yang hancur (9:110 )
21). Hati yang ingkar,(16:22)
22). Hati yang takut, (23:60)
23). Hati yang kosong, (14:43) dan
24). Hati yang terbakar, (104:6-7 )
Dari keterangan menyangkut fungsi, potensi, kandungan dan
kualitas hati yang disebut dalam Al-Quran tersebut
diatas, dapat disimpulkan bahwa qalb mempunyai kedudukan
yang sangat menentukan dalam sistem nafsani manusia. Qalb
lah yang memutuskan dan menolak sesuatu, dan qalb pula
yang memikul tanggung jawab atas apa yang diputuskan.
`Aql. Berbeda dengan kalimat al qalb, dalam
Al-Quran kalimat al `aql tidak pernah disebut dalam
bentuk kata benda , tetapi selalu dalam bentuk kata kerja
, baik kata kerja fi`il mady maupun fi`il mudari`.
Al Quran juga menyebut orang berakal dengan
beberapa istilah, seperti (uli an nuha) yang berarti
orang yang memiliki pencegah atau akal yang mencegah dari
keburukan,8 (ulu al `ilmi), orang yang berilmu,9 (ulu al
albab), orang yang mempunyai saripati akal,10 (ulu al
absar), orang yang mempunyai pandangan tajam,11 dan ( zi
hijr), orang yang mempunyai daya tahan12 .
Dari
49 ayat yang
menyebut al aql, kata `aql mengandung pengertian
mengerti, memahami dan berfikir. Tetapi pengertian
berfikir juga diungkap Al-Quran dengan kata yang
lain, seperti : nazara yang artinya melihat secara
abstrak ( Q/50: 6-7, Q/86: 5-7, Q/88: 17-20), tadabbara
yang artinya merenungkan (Q/38:29, Q/47:24), tafakkara
yang artinya berfikir (Q/16:68-69, Q/45:12-13),
faqiha-tafaqqaha yang artinya mengerti (Q/17:44 ,
Q/16:97-98, Q/9:12, tazakkara yang artinya mengingat,
memperoleh pengertian, mendapatkan pelajaran,
memperhatikan dan mempelajari (Q/16:17, Q/39:9,
Q/51:47-49), dan kalimat fahima ( ??? ) yang artinya
memahami ( Q/21:78-79).
Meskipun banyak istilah dalam Al-Quran yang
berhubungan dengan aktifitas akal, tetapi kata
aqala mengandung arti yang pasti, yaitu mengerti,
memahami dan berfikir. Hanya saja Al-Quran tidak
menerangkan bagaimana proses berfikir seperti yang
dibahas dalam psikologi,13 tidak juga membedakan mana
daya berfikir dan mana alat berfikir seperti yang
dibicarakan oleh filsafat,14 tidak pula menyebut pusat
kegiatan berfikir itu di dada atau di kepala, tetapi
menyebut bahwa qalb yang di dada juga berfikir seperti
akal.
Al-Quran juga menerangkan pertumbuhan akal
(Q/32:7-9, 16:78,96:4-5) , kemampuannya (25:44, 45:5)
kapasitasnya (29:63). Al Quran juga menyebut
ciri-ciri kecerdasan akal, antara lain; mampu memahami
hukum kausalitas (23:8), memahami sistem jagad raya
(26:18-68), mampu berfikir distinktip (13:4), menyusun
argumen yang logis (3:65), berfikir kritis (5:103), mampu
mengatur taktik strategi (3:118-120) dan mampu mengambil
pelajaran dari pengalaman (5:164-169).
Roh. Disamping kata ruh, dalam bahasa Arab juga dikenal
rouh yang artinya rahmat dan rih yang artinya angin. Ruh
dalam bahasa Arab juga digunakan untuk menyebut jiwa,
nyawa, nafas, wahyu, perintah dan rahmat.15 Jika kata
ruhani dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut
lawan dari dimensi jasmani, maka dalam bahasa Arab,
kalimat (ruhaniyyun- ruhaniy) digunakan untuk menyebut
semua jenis makhluk halus yang tidak berjasad, seperti
malaikat dan jin. 16
Dalam Al-Quran, ruh juga digunakan bukan hanya satu
arti. Term-term yang digunakan Al-Quran dalam
menyebut ruh, bermacam-macam. Pertama ruh disebut sebagai
nyawa yang menyebabkan seseorang masih tetap hidup
(17:85), malaikat (26:193), rahmat Allah (58:22) dan Al
Quran (42:52). Tentang ruh manusia, meski
disebutkan ada proses peniupan ruh ke dalam tubuh
manusia,(32:7-9) tetapi dari ayat itu juga bisa difahami
bahwa ruh itu semacam sinergi dari elemen-elemen sistem
organ tubuh. Artinya ketika organ-organ tubuh manusia
semuanya berfungsi maka ruh hadir, dan ketika tidak
berrfungsi maka ruh menghilang., sehingga kehadiran ruh
dapat difahami sebagai sunnatullah yang bisa dirumuskan
dengan jika x maka y.
Hati Nurani (Bashirah). Dalam bahasa Arab, berarti
jendela hati, jika disebut artinya pandangan dan lintasan
hati. Sedangkan kata jika dihubungkan dengan nama Tuhan,
maka artinya Allah mampu melihat sesuatu secara total,
yang nampak maupun yang tidak tampak tanpa memerlukan
alat.17 Jika dihubungkan dengan manusia, maka mempunyai
empat arti, yaitu (a) ketajaman hati, (b) kecerdasan, (c)
kemantapan dalam agama, dan (d) keyakinan hati dalam hal
agama dan realita. Meskipun juga mengandung arti melihat,
tetapi jarang sekali kalimat tersebut digunakan dalam
literatur Arab untuk indra penglihatan tanpa disertai
pandangan hati.18 Dengan demikian maka hati nurani dapat
difahami sebagai pandangan mata hati sebagai lawan dari
pandangan mata kepala.
Dari keterangan Al Quran menyangkut nafs maka
struktur basirah dalam sistem nafs dapat diilustrasikan
sebagai berikut; Manusia memiliki dimensi ruhani yang
terdiri dari nafs, aql, qalb, ruh dan basirah. Nafs
diibaratkan sebagai ruangan yang sangat luas dalam alam
ruhani manusia. Dari dalam nafs itulah manusia digerakkan
untuk menangkap fenomena yang dijumpai, menganalisanya
dan mengambil keputusan. Kerja nafs dilakukan melalui
jaringan qalb, aql, dan basirah, tetapi kesemuanya itu
baru berfungsi manakala ruh berada dalam jasad dan fungsi
kejiwaan telah sempurna.
Qalb
merupakan bagian
dalam nafs yang bekerja memahami, mengolah, menampung
realita sekelilingnya dan memutuskan sesuatu. Sesuai
dengan potensinya maka qalb merupakan kekuatan yang
sangat dinamis, tetapi ia temperamental, fluktuatip,
emosional dan pasang surut. Untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi, qalb bekerja dengan
jaringan akal, tetapi kondisi qalb dan akal terkadang
tidak optimal sehingga masih dimungkinkan terkontaminasi
oleh pengaruh syahwat, atau oleh motiv kepada hal-hal
yang bersifat negatip, dan dalam keadaan demikian,
aql dan qalb dapat melakukan helah mental, yakni
memandang sesuatu yang salah, dengan alasan-alasan yang
dibuatnya, seakan-akan yang salah itu wajar. Basirah
bekerja mengkoreksi penyimpangan yang dilakukan oleh qalb
dan aql . Dapat juga disebut bahwa kondisi qalb dan
aql yang tingkat kesehatannya optimum ( al `aql as
Salim) itulah yang disebut hati nurani atau basirah.
Fitrah & Syahwat. Dalam sistem nafsani, disamping ada
subsistem qalb, `aql dan bashirah juga ada subsistem
fithrah dan syahwat. Yang dimaksud dengan fitrah manusia
adalah keadaan semula jadi manusia. Surat 30:30
menyebutkan bahwa pada dasarnya jiwa manusia diciptakan
dengan desain sempurna, yakni memiliki potensi keagamaan
yang hanif (yang benar), lebih mudah berbuat baik
dibanding berbuat jahat (2:266) dan memiliki rasa
keadilan (82:5-7). Disamping potensi positip tersebut,
nafs juga memiliki potensi syahwat dan hawa. Dalam Al
Quran syahwat dihubungkan dengan fikiran-fikiran
yang didorong oleh hawa nafsu (4:27), dengan keinginan
terhadap kelezataan dan kesenangan (3:14, 19:59) dan
perilaku seks menyimpang (7:81 dan 27:55) . Sedangkan
yang dimaksud dengan hawa adalah kecenderungan nafs
kepada syahwat yang mengandung konotasi negatip.
Sebagai penggerak tingkahlaku, nafs menurut Al
Quran memiliki dorongan-dorongan atau motif kepada
pemilikan (2:212, 3:14) , kepada kebaikan (9:112), kepada
pengetahuan (2:260), mempertahankan hidup (9:86-87,
5:22), kepada kesyahidan /mati syahid (4:69), kepada
hubungan seks (4:1), kepada permusuhan (7:24), dan
dorongan untuk membantah (18:54).
Kualitas Nafs
Surat as Syams 9-10 menyebutkan bahwa nafs itu diciptakan
Tuhan secara sempurna, tetapi ia harus tetap dijaga
kesuciannya, sebab ia bisa rusak jika dikotori dengan
perbuatan maksiat. Kualitas nafs tiap orang berbeda-beda
berhubungan dengan bagaimana usaha masing menjaganya dari
hawa (Q/79:40), yakni dari kecenderungannya kepada
syahwat, karena menuruti dorongan syahwat itu, seperti
yang dikatakan oleh al Maraghy, merupakan tingkahlaku
hewan yang dengan itu manusia telah menyia-nyiakan
potensi akal yang menandai keistimewaannya.
Dalam bahasa Indonesia, syahwat yang menggoda manusia
sering disebut dengan istilah hawa nafsu, yakni dorongan
nafsu yang cenderung bersifat rendah.
Al Quran membagi tingkatan nafs pada dua kelompok
besar, yaitu nafs martabat tinggi dan nafs martabat
rendah. Nafs martabat tinggi dimiliki oleh orang-orang
yang taqwa, yang takut kepada Allah dan berpegang teguh
kepada petunjuk Nya serta menjauhi laranganNya. Sedangkan
nafs martabat rendah dimiliki oleh orang-orang yang
menentang perintah Allah dan yang mengabaikan
ketentuan-ketentuan Nya, serta orang-orang yang sesat,
yang cenderung berperilaku menyimpang dan melakukan
kekejian serta kemungkaran.
Secara ekplisit Al-Quran menyebut empat jenis nafs,
yaitu : nafs zakiyyah, an nafs al mutmainnah, an nafs al
lawwamah , dan an nafs al ammarah bi as su
Keempat
jenis nafs tersebut
merupakan tingkatan kualitas, dari yang terendah hingga
yang tertinggi. Dari empat tingkatan itu dapat
digambarkan bahwa pada mulanya, yakni ketika seorang
manusia belum mukallaf, jiwanya masih suci (zakiyyah).
Ketika sudah mencapai mukallaf dan berinteraksi dengan
lingkungan kehidupan yang menggoda, jika ia merespond
secara positip terhadap lingkungan hidupnya maka nafs itu
dapat meningkat menjadi nafs mutmainnah setelah
terlebih dahulu berproses di dalam tingkatan nafs
lawwamah. Setiap nafs yang telah mencapai tingkat
mutmainnah pastilah ia menyandang predikat zakiyyah
pula. Akan tetapi jika nafs itu merespon lingkungan
secara negatip, maka ia dapat menurun menjadi nafs
ammarah dengan segala karakteristik buruknya.
Tazkiyyat an Nafs
Gagasan nafs zakiyyah dalam Al-Quran adalah sebagai
berikut :
One. Bahwa ada nafs yang suci secara fitri, yakni suci
sejak mula kejadiannya , yaitu nafs dari anak-anak yang
belum mukallaf dan belum pernah melakukan perbuatan dosa
seperti yang disebut dalam surat al Kahfi 74 dan surat
Maryam 19.
Two. Bahwa nafs yang suci jika tidak dipelihara
kesuciannya bisa berubah menjadi kotor seperti yang
tersebut dalam surat as Syams 10 .
Three. Bahwa manusia bisa melakukan usaha penyucian jiwa
seperti yang disebut dalam surat an Naziat 18, al
Fatir : 18 dan surat al Ala :14
Four. Proses penyucian jiwa itu bisa melalui usaha ,
yakni dengan mengeluarkan zakat seperti yang tersebut
dalam surat at Taubah :103, dan menjalankan pergaulan
hidup secara terhormat seperti yang diisyaratkan dalam
surat an Nur :28 dan 30.
Five. Penyucian nafs juga bisa dilakukan dengan proses
pendidikan seperti yang dilakukan oleh para Nabi kepada
ummatnya. Hal ini ditegaskan Al-Qur-an dalam surat al
Baqarah: 129, 151, surat Ali Imran 164 dan surat
Jumah : 2
Six. Disamping melalui usaha dan pendidikan, penyucian
jiwa juga bisa terjadi karena karunia dan rahmat Allah
yang diberikan kepada orang yang dikehendaki oleh Nya,
seperti yang disebutkan dalam surat an Nur 21 dan surat
an Nisa 49.
Seven. Perbuatan mensucikan jiwa (tazkiyyat an nafs)
merupakan perbuatan terpuji dan dihargai Tuhan seperti
yang disebut dalam surat Taha 75-76, Q/91:9, Q/87:14, dan
Q/92:18).
Eight. Bahwa perbuatan mengaku jiwanya telah suci itu
merupakan hal yang tercela, seperti yang tersurat dalam
surat an Najm/53:32, dan Q/4:49)
Krisis Keruhanian Manusia Modern
Zaman modern ditandai dengan dua hal sebagai cirinya,
yaitu (1) penggunaan tehnologi dalam berbagai aspek
kehidupan manusia, dan (2) berkembangnya ilmu pengetahuan
sebagai wujud dari kemajuann intelektual manusia. Manusia
modern idealnya adalah manusia yang berfikir logis dan
mampu menggunakan berbagai teknologi untuk meningkatkan
kualitas kehidupan manusia. Dengan kecerdasan dan bantuan
teknologi, manusia modern mestinya lebih bijak dan arif,
tetapi dalam kenyataannya banyak manusia yang kualitas
kemanusiaannya lebih rendah dibanding kemajuan berfikir
dan teknologi yang dicapainya. Akibat dari ketidak
seimbangan itu kemudian menimbulkan gangguan kejiwaan.
Celakanya lagi, penggunaan alat transportasi dan alat
komunikasi modern menyebabkan manusia hidup dalam
pengaruh global dan dikendalikan oleh arus informasi
global, padahal kesiapan mental manusia secara indifidu
bahkan secara etnis tidaklah sama.
Akibat
dari ketidak
seimbangan itu dapat dijumpai dalam realita kehidupan
dimana banyak manusia yang sudah hidup dalam lingkup
peradaban modern dengan mengunakan berbagai
teknologi-bahkan tehnologi tinggi sebagai fasilitas
hidupnya, tetapi dalam menempuh kehidupan, terjadi
distorsi-distorsi nilai kemanusiaan, terjadi dehumanisasi
yang disebabkan oleh kapasitas intelektual, mental dan
jiwa yang tidak siap untuk mengarungi samudera atau hutan
peradaban modern. Mobilnya sudah memakai Mercy, tetapi
mentalnya masih becak, alat komunikasinya sudah
menggunakan telpon genggam, tetapi komunikasinnya masih
memakai bahasa isyarat tangan, menu makan yang dipilih
pizza dan ayam Kentucky, tetapi wawasaan gizinya masih
kelas oncom. Kekayaan, jabatan dan senjata yang
dimilikinnya melambangkan kemajuan, tetapi jiwanya kosong
dan rapuh. Semua simbol manusia modern dipakai, tetapi
substansinya. yakni berfikir logis dan penguasaan
teknologi maju masih jauh panggang dari api.
Elisabeth Lukas, seorang logoteraphis terkenal dengan
sangat tepat merumuskan hasil dari
modernisasi di dunia Barat yang intinya dua hal, yaitu
melepaskan semua belenggu yang menghambat dan meraih
kebebasaan (freedom) dalam hampir semua bidang kehidupan,
:
Ketidakberdayaan manusia bermain dalam pentas peradaban
modern yang terus melaju tanpa dapat dihentikan itu
menyebabkan sebagian besar manusia modern itu
terperangkap dalam situasi yang menurut istilah Psikolog
Humanis terkenal, Rollo May disebut sebagai Manusia
dalam Kerangkeng, satu istilah yang menggambarkan
salah satu derita manusia modern.
Manusia modern seperti itu sebenarnya adalah manusia yang
sudah kehilangan makna, manusia kosong, The Hollow Man.
Ia resah setiap kali harus mengambil keputusann, ia tidak
tahu apa yang diinginkan, dan tidak mampu memilih jalan
hidup yang diinginkaan.. Mereka mengidap gejala
keterasingan, alienasi, yang disebabkan oleh (a)
perubahan sosial yang berlangsung sangat cepat, (b)
hubungan hangat antar manusia sudah berubah menjadi
hubungan yang gersang, (c) lembaga tradisionil sudah
berubah menjadi lembaga rational, (d) masyarakat yang
homogen sudah berubah menjadi heterogen, dan (e)
stabilitas sosial berubah menjadi mobilitas sosial.
Situasi
psikologis dalam
sistem sosial yang mengkungkung manusia modern itu
bagaikan kerangkeng yang sangat kuat, yang membuat
penghuni di dalamnya tak lagi mampu berfikir untuk
mencari jalan keluar dari kerangkeng itu. Orang merasa
tak berdaya untuk melakukan upaya perubahan, kekuasaan
(sistem) politik terasa bagaikan hantu yang susah diikuti
standar kerjanya, ekonomi dirasakan tercengkeram oleh
segelintir orang yang bisa amat leluasa mempermainkannya
sekehendak hati mereka, bukan kehendaknya, dan
nilai-nilai luhur kebudayaan sudah menjadi komoditi pasar
yang fluktuasinya susah diduga.
Bagaikan orang yang telah lama terkurung dalam
kerangkeng, manusia modern menderita frustrasi dan berada
dalam ketidakberdayaan, powerlessness. Ia tidak mampu
lagi merencanakan masa depan, ia pasrah kepada nasib
karena merasa tidak berdaya apa-apa. Rakyat acuh tak acuh
terhadap perkembangan politik, pegawai Negeri merasa
hanya kerja rutin, dan hanya mengerjakan yang diperintah
dan yang diawasi atasannya.
Kerangkeng lain yang tidak kalah kuatnya adalah kehidupan
sosial. Manusia modern dikerangkeng oleh tuntutan sosial.
Mereka merasa sangat terikat untuk mengikuti skenario
sosial yang menentukan berbagai kriteria dan mengatur
berbagai keharusan dalam kehidupaan sosial. Seorang
isteri pejabat merasa harus menyesuaikan diri dengan
jabatan suaminya dalam hal pakaian, kendaraaan,
assesoris, bahkan sampai pada bagaimana tersenyum dan
tertawa. Seorang pejabat juga merasa harus mengganti
rumahnya, kendaraannya, pakaiannya, kawan-kawan
pergaulannya, minumannya, rokoknya dan kebiasan-kebiasaan
lainnya agar sesuai dengan skenario sosial tentang
pejabat. Kaum wanita juga dibuat sibuk untuk mengganti
kosmetiknya, mode pakaiannya, dandanannya, meja makan dan
piring di rumahnya untuk memenuhi trend yang sedang
berlaku .
Manusia modern begitu sibuk dan bekerja keras melakukan
penyesuaian diri dengan trend modern. Ia merasa sedang
berjuang keras untuk memenuhi keinginannya, padahal yang
sebenarnya mereka diperbudak oleh keinginan orang lain,
oleh keinginan sosial. Ia sebenarnya sedang mengejar apa
yang diharapkan oleh orang lain agar ia mengejarnya. Ia
selalu mengukur perilaku dirinya dengan apa yang ia duga
sebagai harapan orang lain. Ia boleh jadi memperoleh
kepuasan, tetapi kepuasan itu sebenarnya kepuasan
sekejap, yakni kepuasan dalam mempertontonkan perilaku
yang dipesan oleh orang lain. Ia tak ubahnya pemain
sandiwara di atas panggung yang harus trampil prima
sesuai dengan perintah sutradara, meskipun boleh jadi ia
sedang kurang sehat.
Begitulah manusia modern, ia melakukan sesuatu bukan
karena ingin melakukannya, tetapi karena merasa orang
lain menginginkan agar ia melakukannya. Ia sibuk meladeni
keinginan orang lain, sampai ia lupa kehendak sendiri. Ia
memiliki ratusan topeng sosial yang siap dipakai dalam
berbagai event sesuai dengan skenario sosial, dan saking
seringnya menggunakan topeng sampai ia lupa wajah asli
miliknya. Manusia modern adalah manusia yang sudah
kehilangan jati dirinya, perilakunya sudah seperti
perilaku robot, tanpa perasaan. Senyumnya tidak lagi
seindah senyuman fitri seorang bayi, tetapi lebih sebagai
make up. Tawanya tidak lagi spontan seperti tawa ceria
kanak-kanak dan remaja, tetapi tawa yang diatur sebagai
bedak untuk memoles kepribadiannya. Tangisannya tidak
lagi merupakan rintihan jiwa, tetapi lebih merupakan
topeng untuk menutupi borok-borok akhlaknya, dan
kesemuanya sudah diprogramkan kapan harus tertawa dan
kapan harus menangis.
Jika secara keseluruhan manusia modern tidak lagi mampu
menangkap dan memahami kebenaran-kebenaraan agama yang
universal dan abadi maka pudarnya visi intelektual
semacam ini menurut Sayyid Husain Nashr sebagian besar
berkaitan dengan tak berartinya lagi keberadaan sebagian
ummat manusia. Keadaan ini, yakni kepasrahan menerima
dirinya dan kekeliruan memandang benda-benda, yang lazim
disebut keadaan genting manusia modern yang
eksistensial adalah type manusia yang tak mampu
mempertajam daya kritisnya terhadap dirinya dan dengan
demikian juga tak lagi kritis memandang
kebenaran-kebenaran obyektip yang terkandung dalam ajaran
dari agama.
Sebagai akibat dari sikap hipokrit yang berkepanjangan,
maka manusia modern mengidap gangguan kejiwaan antara
lain berupa :(a) Kecemasan, (b) Kesepian, (c) Kebosanan,
(d) Perilaku menyimpang (e) Psikosomatis.
Solusi Krisis
Secara alamiah manusia merindukan kehidupan yang tenang
dan sehat, baik jasmani maupun rohani, kesehatan yang
bukan hanya menyangkut badan, tetapi juga kesehatan
mental. Suatu kenyataan menunjukkan bahwa peradaban
manusia yang semakin maju berakibat pada semakin
kompleknya gaya hidup manusia. Bersamaan dengan pesatnya
modernisasi kehidupan , manusia harus menghadapi
persaingan yang amat ketat, pertarungan yang amat tajam,
satu keadaan yang menimbulkaan kegalauan dan kegelisahan.
Pada masyarakat Barat modern atau masyarakat yang
mengikuti peradaban Barat yang sekuler, solusi yang
ditawarkan untuk mengatasi problem kejiwaaan itu
dilakukan dengan menggunakan pendekatan psikologi, dalam
hal ini Kesehatan Mental (Mental Health). Sedangkan pada
masyarakat Islam, karena mereka (kaum muslimin) pada awal
sejarahnya tidak mengalami problem psikologis seperti
yang dialami oleh masyarakat Barat, maka solusi yang
ditawarkan lebih cenderung bersifat religius spirituil,
yakni tasauf atau akhlak. Keduanya menawarkan solusi
bahwa manusia itu akan memperoleh kebahagiaan pada zaman
apapun jika hidupnya bermakna. Pertanyaan yang timbul
ialah bagaimana hidup bermakna pada zaman modern itu.
Tasauf Sebagai Solusi Krisis
Krisis keruhanian sebenarnya berkaitan erat dengan
pandangaan hidup seseorang. Pandangan hidup yang salah
akan mengakibatkan logika yang salah dalam merespon
realita. Pandangan hidup menyangkut tujuan hidup, tugas
hidup, fungsi hidup, alat untuk hidup, teladan dalam
hidup, lawan dan kawan dalam hidup. Orang yang memiliki
rasa dengki kepada orang lain, pasti disebabkan karena
keliru memandang masalah. Demikian juga orang yang mau
mengorbankan kehormatan demi harta atau jabatan pasti
disebabkan karena keliru menilai kedudukan harta dan
jabatan. Perbedaan pandangan hidup dapat mengakibatkan
perbedaan pandangan tentang makna kenikmatan dan
penderitaan, keberhasilan dan kegagalan, besar dan kecil,
penting dan tidak penting serta ketenangaan dan
kegelisahan.
Manusia adalah makhluk yang berfikir dan merasa.Bertasauf
artinya menghidupkan hubungan rasa antara manusia dengan
Tuhan. Berbeda dengan kesadaran intelektual tentang
adanya Tuhan yang belum tentu mendatangkan ketenangan
jiwa, kesadaran rasa berhubungan dengan Tuhan akan
menempatkan seseorang berada dalam harmoni sistem
sunnatullah. Bagi orang yang sudah sampai pada stasion
ridla, atau ma`rifat, apalagi mahabbah, pastilah tak akan
terganggu oleh perubahan zaman hidupnya, karena pusat
perhatiannya tidak lagi kepada yang berubah, tetapi
kepada yang tetap tak berubah, yaitu Allah swt. Kesadaran
rasa berhubungan dengan Tuhan dapat memupuk fitrah
keberagamaan yang hanif dan mempertajam bashirah sehingga
seseorang selalu tergelitik untuk memperdekatkan dirinya
(taqarrub) kepada Allah.
Mengapa mesti tasauf? Kecenderungan kaum muslimin kepada
tasauf sebenarnya antara lain juga didorong oleh kemajuan
zaman (baca : modernisasi) yang terjadi pada awal zaman
Islam.. Dalam kurun waktu 30 tahun setelah hijrah Nabi,
kaum muslimin generasi pertama ini mengalami perubahan
yang amat cepat, dari penduduk padang pasir yang miskin
menjadi penguasa (imperium) dengan wilayah kekuasaan yang
amat luas dan kekayaan yang melimpah ruah. Pada masa Umar
bin al Khattab, wilayah jajahan Rumawi di Afrika Utara
dan Syam serta imperium Persia telah ditaklukkan.
Pada akhir masa Khalifah Usman bin Affan dan masa Ali bin
Abi Thalib, di kala kekayaan melimpah ruah, konflik elit
politik terjadi dengan amat tajam, dengan menelan korban
yang tidak tanggung-tanggung, yaitu Khalifah Usman, Ali
bin Abi Thalib dan bahkan cucu Nabi sendiri, Husain,
ketiganya terbunuh secara aniaya.
Meski perubahan datang begitu cepat, tetapi para ulama
tidak kehilangan kemampuan untuk merenung, mengambil
hikmah dan mencontoh perilaku keagamaan Nabi serta para
sahabat-sahabatnya. Abu Bakar dikenal sangat sederhana,
tetapi mampu mengorbankan seluruh harta kekayaannya untuk
perjuangan. Umar bin Khattab tetap hidup amat sederhana,
dengan baju tambalan, meski ia ketika itu seorang kepala
negara dari negara baru yang kaya raya, satu bentuk
kehidupan yang dalam tasauf disebut sebagai zuhud, atau
meninggalkan kehidupan bendawi di tengah melimpahnya
harta benda . Ketinggian akhlak Rasul dalam kehidupan
kesehariannya juga masih belum hilang dari kenangan para
sahabatnya. Hal inilah yang menjadikan kekecewaan
masyarakat atas konflik elit politik (sebagai
limbahmodernisasi ) tidak sampai menumpulkan
pemahaman para sahabat (ulama) atas ketinggian ajaran
agama Islam. Sebaliknya semangat memahami Al-Quran
dengan multi interpretasion menjadi subur, antara lain
melahirkan metode tafsir isyary, yakni memahami realita
dengan isyarat-isyarat Al Quran, satu tafsir yang
kelak dikenal sebagai corak tafsir tasauf.
Menurut Maulana Yusuf al Maqassary, ada tiga jalan yang
bisa dipilih untuk mendekat kepada Allah, yaitu (1)
Thariqath al Akhyar., jalan raya konvensional. Bagi Salik
yang menempuh jalan ini, yang penting adalah mengerjakan
rukun Islam secara baik, sunnah sebanyak mungkin,
bermuamalah dengan baik, pokoknya ikuti
syariah Islam, niscaya ujungnya akan menjadi
muqarrabin. (2) Thariqah ahl az Zikr. Metode zikir. Salik
jalan ini haruslah selalu berzikir (menyebut dan
mengingat Allah) dalam segala keadaan dengan segala
prosedur dan etikanya, niscaya ujungnya juga akan
mencapai ridla atau ma`rifah atau mahabbah kepada Allah.
Cara berfikir ahl az zikr atau wirid sebenarnya sama
dengan cara berfikir politik (3) Thariqaah mujahidat as
Syaqa, methode melawan kesulitan. Salik jalan ini -
sebagai ungkapan syukurnya kepada Allah - seakan sengaja
mencari kesulitan. Ia malu memakan makanan yang lezat,
malu tidur di kasur empuk, malu berkendaraan, maka ia
wajibkan dirinya mengerjakan yang sunnat, ia haramkan
untuk dirinya sesuatu yang lezat meski halal, dan
kesemuanya itu didorong oleh rasa syukurnya kepada Allah.
Di lingkungan tarekat Szadziliah, anjuran safar dan model
zuhudnya sangat relevan dengan kehidupan manusia modern
(afdhol az Zuhdi ikhfauhu).
Penulis dua kali mengikuti kegiatan sufisme
international, pertama sarasehan guru tarekat se dunia
(Multaqa at Tasawwuf al `Alamy) di Tripoli Libia (1995)
dan 2nd International Islamic Unity Conference di
Washington DC (1998) yang diadakan oleh masyikhah tarekat
Naqsyabandiah USA. Dalam dua kesempatan itu terkesan
bahwa mutasawwif dari negeri maju lebih memperoleh
pencerahan sufistik dibanding mutasawwif dari
negeri-negeri Islam yang nampak biasa-biasa
saja.
Wallahu A`lam.
|