SOLUSI KRISIS KERUHANIAN MANUSIA MODERN
Oleh : DR. Achmad Mubarok, MA
Event Artikel : KKA-152 (Jakarta, 18 Pebruari 2000)
Diupdated pada: Senin 16 April 2001

Pendahuluan

Manusia adalah makhluk yang unik. Ia sangat menarik di mata manusia itu sendiri. Manusia mempertanyakan diri sendiri apakah ia makhluk jahat atau makhluk baik. Terkadang manusia dipuja, tapi di lain kali ia dihujat. Secara internal manusia itu sendiri terkadang merasa bangga dan berbahagia sebagai manusia, tetapi orang lain atau di kesempatan yang lain ia menyesali keberadaannya sebagai manusia. Ada manusia yang tingkahlakunya dipandang berada di luar batas perikemanusiaan, tetapi ada manusia lain yang justeru dipandang suci karena telah mencapai tingkat “insan kamil” atau yang telah berhasil menjadi “Diri” sendiri. Ada orang yang tingkahlakunya dikendalikan oleh hawa nafsunya, dan ada orang yang senantiasa di bawah bimbingan hati nuraninya.

Manusia tertarik untuk mengetahui siapa dirinya terutama tatkala berada dalam puncak-puncak kebahagian, kesedihan, ketakutan, kegagalan dan keberhasilan. Meski manusia itu makhluk yang memiliki dimensi jiwa dan raga, jasmani dan ruhani, tetapi pertanyaan yang berkepanjangan adalah di seputar jiwanya, diseputar ruhaninya, dan sebagaimana yang diakui banyak ahli, meski sudah dicarikan jawabnya oleh Psikologi, juga oleh sufisme, dan juga filsafat, tetapi tentang manusia belum mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai oleh pengetahuan lainnya. Pertanyaan tentang manusia pada hakikatnya seperti yang dikatakan oleh Alexis Careel hingga kini masih tetap tanpa jawaban. Al Qur’an pun mempertanyakan manusia yang tidak mau merenungkan tentang dirinya, wafi anfusikum afala tubshirun ?
Manusia adalah makhluk yang berfikir dan merasa. Sepanjang fikiran dan peraasaannya bisa menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapi, maka ia adalah manusia yang sehat dan tak perlu dirisaukan. Tetapi jika fikiran dan perasaannya tidak lagi mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapi maka ia dapat terkena krisis psikologis yang berpotensi menghilangkan makna kehadirannya sebagai manusia. Ketahanan manusia memang sangat ditentukan oleh cara berfikir dan cara merasanya dalam menghadapi realita.

Hakikat Manusia

Meski Alexis Careel menyatakan bahwa pertanyaan tentang manusia pada hakikatnya hingga kini masih tetap tanpa jawaban, tetapi tahu diri tetap dipandang penting oleh kebanyakan manusia. Meski pengetahuan (pandangan) setiap orang tentang dirinya berbeda-beda tetapi hadis Nabi mengatakan bahwa barang siapa yang mengenali siapa dirinya maka ia pasti mengenal (ma`rifat) siapa Tuhannya. Man `arafa nafsahu `arafa robbahu. Hadis ini mengisyaratkan bahwa “sosok” manusia memang sophisticated, rumit, dan memerlukan kesungguhan ekstra kuat untuk mengenalinya, karena manusia ternyata merupakan “tajalli” Tuhan.
Al-Qur’an menggunakan tiga nama untuk menyebut manusia, yaitu (1) ?????? - ??? -??? ????, (2) ???? dan (3) ??? ??? atau ?????? ???. Menurut kebanyakan tafsir, manusia sebagai basyar lebih menunjukkkan sifat lahiriah serta persamaannya dengan manusia sebagai satu keseluruhan sehingga Nabipun disebut sebagai basyar, sama seperti yang lain, hanya saja beliau diberi wahyu oleh Tuhan, satu hal yang membuatnya berbeda dengan basyar yang lain, seperti tersebut dalam surat al Kahfi/18 : 110.

Sedangkan nama insan yang berasal dari kata (‘uns) yang berarti jinak, harmoni dan tampak, atau dari kata (nasiya )yang artinya lupa, atau dari (nasa yanusu ) yang artinya berguncang, menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Perbedaan manusia antara yang satu dengan yang lain, bisa merupakan perbedaan fisik, bisa juga perbedaan mental dan kecerdasan .

Sebagai tajalli Tuhan, manusia memiliki rahasia yang tak kunjung terpecahkan, baik jasmani maupun ruhaninya. Dunia kedokteran belum selesai menganalisis jasmani manusia. Demikian juga Psikologi dan tasauf juga belum selesai menganalisis kehidupan ruhani dan nafsani manusia. Jika kedokteran berusaha membedah anatomi dan sistem kerja jasmani, maka Psikologi dapat difahami sebagai upaya manusia untuk membuka rahasia ayat-ayat nafsani atau sunnatullah yang bekerja pada diri manusia , sedangkan tasauf berusaha menghidupkan potensi hubungan aktip manusia (ruhaninya) dengan Tuhan.

Jiwa Manusia

Dalam khazanah keilmuan Islam, filsafat berkembang dengan amat pesat, tetapi psikologi tidak berkembang. Hal ini bukan berarti para ulama tidak tertarik kepada masalah jiwa.. Al-Qur’an dan hadis sendiri banyak berbicra tentang jiwa (nafs), tetapi pengalaman psikologis masyarakat Islam berbeda dengan pengalaman psikologis masyarakat Barat. Masyarakat modern Barat tumbuh di atas puing-puing kekecewaaan kepada Gereja yang berseberangan dengan pemikiran modern sehingga agama (gereja) kemudian dipisahkan dari urusan dunia, dan implikasinya kemudian ilmu pengetahuan dan peradaban Barat berjalan sendiri tanpa panduan agama, dan jadilah kemudian peradaban sekuler.

Sedangkan dalam sejarah Islam, perkembangaan ilmu pengetahuan berjalan seiring dengan agama, dan bahkan ajaran Islam itu sendiri mendorong ummatnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu pertumbuhan ilmu pengetahuan dan peradaban kaum muslimin berada dalam panduan agama, bahkan filsafat (Islam) pun - meski pada mulanya digelitik oleh pemikiran Yunani - pertumbuhannya tetap berada dalam koridor Al-Qur’an.

Tentang jiwa (nafs) misalnya, dalam khazanah keilmuan Islam tidak tumbuh ilmu jiwa (‘ilm an nafs) sebagai ilmu yang membahas perbuatan sebagai gejala-gejala jiwa, tetapi nafs dibahas dalam konteks sistem kerohanian yang memiliki hubungan vertikal dengan Tuhan, karena Al-Qur’an dan juga Sunnah banyak menyebut secara langsung term nafs maupun term yang menyebutnya secara tidak langsung seperti qalb, ‘aql, ruh dan bashirah, yang kesemuanya itu bersifat multi interpretasion sehingga para ulama dibuat sibuk untuk menggali pengertian nafs dan sistemnya dalam perspektip Qur’an dan sunnah. Di antara ilmu yang membicarakan nafs dalam khazanah keilmuan Islam adalah ilmu tasauf.

Meski nama tasauf itu sendiri tidak diambil dari Al-Qur’an dan atau hadis, tetapi esensi dari kajian tasauf bersumber dari keduanya. Bertasauf artinya mematikan nafsu kediriannya secara berangsur-angsur untuk menjadi Diri yang sebenarnya. Bertasauf artinya berusaha menempuh perjalanan rohani (as sayr wa as suluk) mendekatkan diri kepada Tuhan hingga benar-benar merasa dekat dengan Nya. Tentang bagaimana metode mendekat (taqarrub) kepada Nya para sufi berpedoman kepada tingkahlaku keagamaan Nabi, para sahabat Nabi dan para wali, sehingga dalam bertasauf, faktor mata rantai penghubung tradisionil dengan asal usulnya atau rantai kerohanian (silsilah) dalam bentuk guru-murid sangat dipegang teguh

Al Qur’an menyebut nafs dengan kata jadian yang terulang sebanyak 303 kali. Tetapi jiwa juga disebut Al Qur’an dengan term lain, yakni `aql, qalb, dan bashirah. Nafs dalam al Qur’an digunakan untuk menyebut totalitas manusia (Q/5:32, Q/36:54), sisi dalam (jiwa) manusia dan sebagai penggerak tingkah laku (Q/13:11). Jika tubuh manusia memiliki sistem, demikian juga jiwa manusia. Sistem nafsani manusia terdiri dari elemen-elemen qalb, `aql, ruh, bashirah dan fithrah dengan fungsi masing-masing sebagai subsistem. Selanjutnya interaksi atau hubungan dari elemen-elemen itu diikat oleh perasaan dan fikiran sehingga nafs sebagai satu kesatuaan dapat melahirkan tingkah laku sebagai hasil akhir dari sistem nafsani tersebut. Nafs juga dapat digambarkan sebagai ruang yang sangat luas dalam diri manusia dimana didalamnya terdapat kamar-kamar yang didesain untuk dimungkinkannya kelangsungan berfikir dan merasa, tetapi nafs bukan alat.
Qalb. Dalam Al Qur’an qalb (kalbu) disebut sebagai alat untuk memahami realitas dan nilai-nilai (Q/22:46 atau 7:179). Oleh karena itu qalb hanya menampung hal-hal yang disadari, dan keputusan qalb mengandung implikasi pahala dan dosa. Sementara itu apa yang sudah dilupakan oleh qalb masuk ke dalam memori nafs, yang pada suatu saat dapat muncul dalam bentuk impian. Mimpi itu sendiri ada yang merupakan komunikasi ruhaniah, disebut ru’ya al haqq (Q/12:4,5,100) ada juga yang sekedar mimpi kalut, disebut adhghatsu ahlam (Q/12:44). Sesuai dengan namanya qalb, qalb memiliki tabiat tidak konsisten (taqallub). Ia suka berpaling (9:117), kecewa dan kesal (39:45), mengambil keputusan (33:5), berprasangka (48:12), menolak (9:8) mengingkari (16:22), dapat diuji (49:3), ditundukkan (22:54), diperlonggar dan dipersempit (6:125) dan bahkan ditutup rapat (2:7).

Di dalam qalb juga terkandung penyakit (2:10), perasaan takut (3:151), getaran (8:2), kedamaian (48:4) keberanian (3:126), cinta dan kasih sayang (57:27), kebaikan universal (8;17), iman (49:7,14), kedengkian (59:10) kufur (2:93), kesesatan (3:7), penyesalan (3:156), panas hati (9:15), keraguan (9:45), kemunafikan (9:77) dan kesombongan (48:26). Taqallub al qalb itu dapat membawa hati pada satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya.

Karena Qalb mempunyai karakter tidak konsisten, maka ia bisa terkena konflik batin. Interaksi yang terjadi antara pemenuhan fungsi memahami realita dan nilai-nilai (positip) dengan tarikan potensi negatip yang berasal dari kandungan hatinya, melahirkan satu keadaan psikologis yang menggambarkan kualitas, tipe dan kondisi dari qalb itu. Proses pencapaian kondisi qalb itu melalui tahapan-tahapan perjuangan rohaniah, dan dalam proses itu, menurut Al-Qur’an, manusia mempunyai sifat tergesa-gesa, (21: 37 dan Q/17:11), dan berkeluh kesah, (70:19-21).
Proses interaksi psikologis itu mengantar hati pada kondisi dan kualitas hati yang berbeda-beda, yaitu;
1). Keras dan kasar hati,( 3:159),
2). Hati yang bersih, (26:89)
3). Hati yang terkunci mati, (42:24)
4). Hati yang bertaubat, (50:33)
5). Hati yang berdosa ,(2:283)
6). Hati yang terdinding, (8:24)
7). Hati yang tetap tenang,(16:106)
8). Hati yang lalai, (21:3)
9). Hati yang menerima petunjuk Tuhan ( 64:11)
10). Hati yang teguh, (28:10)
11). Hati yang takwa, (/22:32)
12). Hati yang buta, (22:46)
13). Hati yang terguncang (24:37)
14). Hati yang sesak, (40:18)
15). Hati yang tersumbat,( 2:88)
16). Hati yang sangat takut (79:8)
17). Hati yang condong kepada kebaikan (66:4)
18). Hati yang keras membatu, (2:74)
19). Hati yang lebih suci, (33:53)
20). Hati yang hancur (9:110 )
21). Hati yang ingkar,(16:22)
22). Hati yang takut, (23:60)
23). Hati yang kosong, (14:43) dan
24). Hati yang terbakar, (104:6-7 )

Dari keterangan menyangkut fungsi, potensi, kandungan dan kualitas hati yang disebut dalam Al-Qur’an tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa qalb mempunyai kedudukan yang sangat menentukan dalam sistem nafsani manusia. Qalb lah yang memutuskan dan menolak sesuatu, dan qalb pula yang memikul tanggung jawab atas apa yang diputuskan.
`Aql. Berbeda dengan kalimat al qalb, dalam Al-Qur’an kalimat al `aql tidak pernah disebut dalam bentuk kata benda , tetapi selalu dalam bentuk kata kerja , baik kata kerja fi`il mady maupun fi`il mudari`.

Al Qur’an juga menyebut orang berakal dengan beberapa istilah, seperti (uli an nuha) yang berarti orang yang memiliki pencegah atau akal yang mencegah dari keburukan,8 (ulu al `ilmi), orang yang berilmu,9 (ulu al albab), orang yang mempunyai saripati akal,10 (ulu al absar), orang yang mempunyai pandangan tajam,11 dan ( zi hijr), orang yang mempunyai daya tahan12 .
Dari 49 ayat yang menyebut al ‘aql, kata `aql mengandung pengertian mengerti, memahami dan berfikir. Tetapi pengertian berfikir juga diungkap Al-Qur’an dengan kata yang lain, seperti : nazara yang artinya melihat secara abstrak ( Q/50: 6-7, Q/86: 5-7, Q/88: 17-20), tadabbara yang artinya merenungkan (Q/38:29, Q/47:24), tafakkara yang artinya berfikir (Q/16:68-69, Q/45:12-13), faqiha-tafaqqaha yang artinya mengerti (Q/17:44 , Q/16:97-98, Q/9:12, tazakkara yang artinya mengingat, memperoleh pengertian, mendapatkan pelajaran, memperhatikan dan mempelajari (Q/16:17, Q/39:9, Q/51:47-49), dan kalimat fahima ( ??? ) yang artinya memahami ( Q/21:78-79).

Meskipun banyak istilah dalam Al-Qur’an yang berhubungan dengan aktifitas akal, tetapi kata ‘aqala mengandung arti yang pasti, yaitu mengerti, memahami dan berfikir. Hanya saja Al-Qur’an tidak menerangkan bagaimana proses berfikir seperti yang dibahas dalam psikologi,13 tidak juga membedakan mana daya berfikir dan mana alat berfikir seperti yang dibicarakan oleh filsafat,14 tidak pula menyebut pusat kegiatan berfikir itu di dada atau di kepala, tetapi menyebut bahwa qalb yang di dada juga berfikir seperti akal.

Al-Qur’an juga menerangkan pertumbuhan akal (Q/32:7-9, 16:78,96:4-5) , kemampuannya (25:44, 45:5) kapasitasnya (29:63). Al Qur’an juga menyebut ciri-ciri kecerdasan akal, antara lain; mampu memahami hukum kausalitas (23:8), memahami sistem jagad raya (26:18-68), mampu berfikir distinktip (13:4), menyusun argumen yang logis (3:65), berfikir kritis (5:103), mampu mengatur taktik strategi (3:118-120) dan mampu mengambil pelajaran dari pengalaman (5:164-169).

Roh. Disamping kata ruh, dalam bahasa Arab juga dikenal rouh yang artinya rahmat dan rih yang artinya angin. Ruh dalam bahasa Arab juga digunakan untuk menyebut jiwa, nyawa, nafas, wahyu, perintah dan rahmat.15 Jika kata ruhani dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut lawan dari dimensi jasmani, maka dalam bahasa Arab, kalimat (ruhaniyyun- ruhaniy) digunakan untuk menyebut semua jenis makhluk halus yang tidak berjasad, seperti malaikat dan jin. 16

Dalam Al-Qur’an, ruh juga digunakan bukan hanya satu arti. Term-term yang digunakan Al-Qur’an dalam menyebut ruh, bermacam-macam. Pertama ruh disebut sebagai nyawa yang menyebabkan seseorang masih tetap hidup (17:85), malaikat (26:193), rahmat Allah (58:22) dan Al Qur’an (42:52). Tentang ruh manusia, meski disebutkan ada proses peniupan ruh ke dalam tubuh manusia,(32:7-9) tetapi dari ayat itu juga bisa difahami bahwa ruh itu semacam sinergi dari elemen-elemen sistem organ tubuh. Artinya ketika organ-organ tubuh manusia semuanya berfungsi maka ruh hadir, dan ketika tidak berrfungsi maka ruh menghilang., sehingga kehadiran ruh dapat difahami sebagai sunnatullah yang bisa dirumuskan dengan jika x maka y.

Hati Nurani (Bashirah). Dalam bahasa Arab, berarti jendela hati, jika disebut artinya pandangan dan lintasan hati. Sedangkan kata jika dihubungkan dengan nama Tuhan, maka artinya Allah mampu melihat sesuatu secara total, yang nampak maupun yang tidak tampak tanpa memerlukan alat.17 Jika dihubungkan dengan manusia, maka mempunyai empat arti, yaitu (a) ketajaman hati, (b) kecerdasan, (c) kemantapan dalam agama, dan (d) keyakinan hati dalam hal agama dan realita. Meskipun juga mengandung arti melihat, tetapi jarang sekali kalimat tersebut digunakan dalam literatur Arab untuk indra penglihatan tanpa disertai pandangan hati.18 Dengan demikian maka hati nurani dapat difahami sebagai pandangan mata hati sebagai lawan dari pandangan mata kepala.

Dari keterangan Al Qur’an menyangkut nafs maka struktur basirah dalam sistem nafs dapat diilustrasikan sebagai berikut; Manusia memiliki dimensi ruhani yang terdiri dari nafs, aql, qalb, ruh dan basirah. Nafs diibaratkan sebagai ruangan yang sangat luas dalam alam ruhani manusia. Dari dalam nafs itulah manusia digerakkan untuk menangkap fenomena yang dijumpai, menganalisanya dan mengambil keputusan. Kerja nafs dilakukan melalui jaringan qalb, aql, dan basirah, tetapi kesemuanya itu baru berfungsi manakala ruh berada dalam jasad dan fungsi kejiwaan telah sempurna.

Qalb merupakan bagian dalam nafs yang bekerja memahami, mengolah, menampung realita sekelilingnya dan memutuskan sesuatu. Sesuai dengan potensinya maka qalb merupakan kekuatan yang sangat dinamis, tetapi ia temperamental, fluktuatip, emosional dan pasang surut. Untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi, qalb bekerja dengan jaringan akal, tetapi kondisi qalb dan akal terkadang tidak optimal sehingga masih dimungkinkan terkontaminasi oleh pengaruh syahwat, atau oleh motiv kepada hal-hal yang bersifat negatip, dan dalam keadaan demikian, ‘aql dan qalb dapat melakukan helah mental, yakni memandang sesuatu yang salah, dengan alasan-alasan yang dibuatnya, seakan-akan yang salah itu wajar. Basirah bekerja mengkoreksi penyimpangan yang dilakukan oleh qalb dan ‘aql . Dapat juga disebut bahwa kondisi qalb dan ‘aql yang tingkat kesehatannya optimum ( al `aql as Salim) itulah yang disebut hati nurani atau basirah.

Fitrah & Syahwat. Dalam sistem nafsani, disamping ada subsistem qalb, `aql dan bashirah juga ada subsistem fithrah dan syahwat. Yang dimaksud dengan fitrah manusia adalah keadaan semula jadi manusia. Surat 30:30 menyebutkan bahwa pada dasarnya jiwa manusia diciptakan dengan desain sempurna, yakni memiliki potensi keagamaan yang hanif (yang benar), lebih mudah berbuat baik dibanding berbuat jahat (2:266) dan memiliki rasa keadilan (82:5-7). Disamping potensi positip tersebut, nafs juga memiliki potensi syahwat dan hawa. Dalam Al Qur’an syahwat dihubungkan dengan fikiran-fikiran yang didorong oleh hawa nafsu (4:27), dengan keinginan terhadap kelezataan dan kesenangan (3:14, 19:59) dan perilaku seks menyimpang (7:81 dan 27:55) . Sedangkan yang dimaksud dengan hawa adalah kecenderungan nafs kepada syahwat yang mengandung konotasi negatip.
Sebagai penggerak tingkahlaku, nafs menurut Al Qur’an memiliki dorongan-dorongan atau motif kepada pemilikan (2:212, 3:14) , kepada kebaikan (9:112), kepada pengetahuan (2:260), mempertahankan hidup (9:86-87, 5:22), kepada kesyahidan /mati syahid (4:69), kepada hubungan seks (4:1), kepada permusuhan (7:24), dan dorongan untuk membantah (18:54).

Kualitas Nafs

Surat as Syams 9-10 menyebutkan bahwa nafs itu diciptakan Tuhan secara sempurna, tetapi ia harus tetap dijaga kesuciannya, sebab ia bisa rusak jika dikotori dengan perbuatan maksiat. Kualitas nafs tiap orang berbeda-beda berhubungan dengan bagaimana usaha masing menjaganya dari hawa (Q/79:40), yakni dari kecenderungannya kepada syahwat, karena menuruti dorongan syahwat itu, seperti yang dikatakan oleh al Maraghy, merupakan tingkahlaku hewan yang dengan itu manusia telah menyia-nyiakan potensi akal yang menandai keistimewaannya.

Dalam bahasa Indonesia, syahwat yang menggoda manusia sering disebut dengan istilah hawa nafsu, yakni dorongan nafsu yang cenderung bersifat rendah.

Al Qur’an membagi tingkatan nafs pada dua kelompok besar, yaitu nafs martabat tinggi dan nafs martabat rendah. Nafs martabat tinggi dimiliki oleh orang-orang yang taqwa, yang takut kepada Allah dan berpegang teguh kepada petunjuk Nya serta menjauhi laranganNya. Sedangkan nafs martabat rendah dimiliki oleh orang-orang yang menentang perintah Allah dan yang mengabaikan ketentuan-ketentuan Nya, serta orang-orang yang sesat, yang cenderung berperilaku menyimpang dan melakukan kekejian serta kemungkaran.

Secara ekplisit Al-Qur’an menyebut empat jenis nafs, yaitu : nafs zakiyyah, an nafs al mutmainnah, an nafs al lawwamah , dan an nafs al ammarah bi as su’

Keempat jenis nafs tersebut merupakan tingkatan kualitas, dari yang terendah hingga yang tertinggi. Dari empat tingkatan itu dapat digambarkan bahwa pada mulanya, yakni ketika seorang manusia belum mukallaf, jiwanya masih suci (zakiyyah). Ketika sudah mencapai mukallaf dan berinteraksi dengan lingkungan kehidupan yang menggoda, jika ia merespond secara positip terhadap lingkungan hidupnya maka nafs itu dapat meningkat menjadi nafs mutma’innah setelah terlebih dahulu berproses di dalam tingkatan nafs lawwamah. Setiap nafs yang telah mencapai tingkat mutma’innah pastilah ia menyandang predikat zakiyyah pula. Akan tetapi jika nafs itu merespon lingkungan secara negatip, maka ia dapat menurun menjadi nafs ammarah dengan segala karakteristik buruknya.

Tazkiyyat an Nafs

Gagasan nafs zakiyyah dalam Al-Qur’an adalah sebagai berikut :
One. Bahwa ada nafs yang suci secara fitri, yakni suci sejak mula kejadiannya , yaitu nafs dari anak-anak yang belum mukallaf dan belum pernah melakukan perbuatan dosa seperti yang disebut dalam surat al Kahfi 74 dan surat Maryam 19.
Two. Bahwa nafs yang suci jika tidak dipelihara kesuciannya bisa berubah menjadi kotor seperti yang tersebut dalam surat as Syams 10 .
Three. Bahwa manusia bisa melakukan usaha penyucian jiwa seperti yang disebut dalam surat an Nazi’at 18, al Fatir : 18 dan surat al A’la :14
Four. Proses penyucian jiwa itu bisa melalui usaha , yakni dengan mengeluarkan zakat seperti yang tersebut dalam surat at Taubah :103, dan menjalankan pergaulan hidup secara terhormat seperti yang diisyaratkan dalam surat an Nur :28 dan 30.
Five. Penyucian nafs juga bisa dilakukan dengan proses pendidikan seperti yang dilakukan oleh para Nabi kepada ummatnya. Hal ini ditegaskan Al-Qur-an dalam surat al Baqarah: 129, 151, surat Ali Imran 164 dan surat Jum’ah : 2
Six. Disamping melalui usaha dan pendidikan, penyucian jiwa juga bisa terjadi karena karunia dan rahmat Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendaki oleh Nya, seperti yang disebutkan dalam surat an Nur 21 dan surat an Nisa 49.
Seven. Perbuatan mensucikan jiwa (tazkiyyat an nafs) merupakan perbuatan terpuji dan dihargai Tuhan seperti yang disebut dalam surat Taha 75-76, Q/91:9, Q/87:14, dan Q/92:18).
Eight. Bahwa perbuatan mengaku jiwanya telah suci itu merupakan hal yang tercela, seperti yang tersurat dalam surat an Najm/53:32, dan Q/4:49)

Krisis Keruhanian Manusia Modern

Zaman modern ditandai dengan dua hal sebagai cirinya, yaitu (1) penggunaan tehnologi dalam berbagai aspek kehidupan manusia, dan (2) berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai wujud dari kemajuann intelektual manusia. Manusia modern idealnya adalah manusia yang berfikir logis dan mampu menggunakan berbagai teknologi untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dengan kecerdasan dan bantuan teknologi, manusia modern mestinya lebih bijak dan arif, tetapi dalam kenyataannya banyak manusia yang kualitas kemanusiaannya lebih rendah dibanding kemajuan berfikir dan teknologi yang dicapainya. Akibat dari ketidak seimbangan itu kemudian menimbulkan gangguan kejiwaan. Celakanya lagi, penggunaan alat transportasi dan alat komunikasi modern menyebabkan manusia hidup dalam pengaruh global dan dikendalikan oleh arus informasi global, padahal kesiapan mental manusia secara indifidu bahkan secara etnis tidaklah sama.

Akibat dari ketidak seimbangan itu dapat dijumpai dalam realita kehidupan dimana banyak manusia yang sudah hidup dalam lingkup peradaban modern dengan mengunakan berbagai teknologi-bahkan tehnologi tinggi sebagai fasilitas hidupnya, tetapi dalam menempuh kehidupan, terjadi distorsi-distorsi nilai kemanusiaan, terjadi dehumanisasi yang disebabkan oleh kapasitas intelektual, mental dan jiwa yang tidak siap untuk mengarungi samudera atau hutan peradaban modern. Mobilnya sudah memakai Mercy, tetapi mentalnya masih becak, alat komunikasinya sudah menggunakan telpon genggam, tetapi komunikasinnya masih memakai bahasa isyarat tangan, menu makan yang dipilih pizza dan ayam Kentucky, tetapi wawasaan gizinya masih kelas oncom. Kekayaan, jabatan dan senjata yang dimilikinnya melambangkan kemajuan, tetapi jiwanya kosong dan rapuh. Semua simbol manusia modern dipakai, tetapi substansinya. yakni berfikir logis dan penguasaan teknologi maju masih jauh panggang dari api.
Elisabeth Lukas, seorang logoteraphis terkenal dengan sangat tepat merumuskan “hasil” dari modernisasi di dunia Barat yang intinya dua hal, yaitu melepaskan semua belenggu yang menghambat dan meraih kebebasaan (freedom) dalam hampir semua bidang kehidupan, :
Ketidakberdayaan manusia bermain dalam pentas peradaban modern yang terus melaju tanpa dapat dihentikan itu menyebabkan sebagian besar “manusia modern” itu terperangkap dalam situasi yang menurut istilah Psikolog Humanis terkenal, Rollo May disebut sebagai “Manusia dalam Kerangkeng”, satu istilah yang menggambarkan salah satu derita manusia modern.

Manusia modern seperti itu sebenarnya adalah manusia yang sudah kehilangan makna, manusia kosong, The Hollow Man. Ia resah setiap kali harus mengambil keputusann, ia tidak tahu apa yang diinginkan, dan tidak mampu memilih jalan hidup yang diinginkaan.. Mereka mengidap gejala keterasingan, alienasi, yang disebabkan oleh (a) perubahan sosial yang berlangsung sangat cepat, (b) hubungan hangat antar manusia sudah berubah menjadi hubungan yang gersang, (c) lembaga tradisionil sudah berubah menjadi lembaga rational, (d) masyarakat yang homogen sudah berubah menjadi heterogen, dan (e) stabilitas sosial berubah menjadi mobilitas sosial.

Situasi psikologis dalam sistem sosial yang mengkungkung manusia modern itu bagaikan kerangkeng yang sangat kuat, yang membuat penghuni di dalamnya tak lagi mampu berfikir untuk mencari jalan keluar dari kerangkeng itu. Orang merasa tak berdaya untuk melakukan upaya perubahan, kekuasaan (sistem) politik terasa bagaikan hantu yang susah diikuti standar kerjanya, ekonomi dirasakan tercengkeram oleh segelintir orang yang bisa amat leluasa mempermainkannya sekehendak hati mereka, bukan kehendaknya, dan nilai-nilai luhur kebudayaan sudah menjadi komoditi pasar yang fluktuasinya susah diduga.

Bagaikan orang yang telah lama terkurung dalam kerangkeng, manusia modern menderita frustrasi dan berada dalam ketidakberdayaan, powerlessness. Ia tidak mampu lagi merencanakan masa depan, ia pasrah kepada nasib karena merasa tidak berdaya apa-apa. Rakyat acuh tak acuh terhadap perkembangan politik, pegawai Negeri merasa hanya kerja rutin, dan hanya mengerjakan yang diperintah dan yang diawasi atasannya.

Kerangkeng lain yang tidak kalah kuatnya adalah kehidupan sosial. Manusia modern dikerangkeng oleh tuntutan sosial. Mereka merasa sangat terikat untuk mengikuti skenario sosial yang menentukan berbagai kriteria dan mengatur berbagai keharusan dalam kehidupaan sosial. Seorang isteri pejabat merasa harus menyesuaikan diri dengan jabatan suaminya dalam hal pakaian, kendaraaan, assesoris, bahkan sampai pada bagaimana tersenyum dan tertawa. Seorang pejabat juga merasa harus mengganti rumahnya, kendaraannya, pakaiannya, kawan-kawan pergaulannya, minumannya, rokoknya dan kebiasan-kebiasaan lainnya agar sesuai dengan skenario sosial tentang pejabat. Kaum wanita juga dibuat sibuk untuk mengganti kosmetiknya, mode pakaiannya, dandanannya, meja makan dan piring di rumahnya untuk memenuhi trend yang sedang berlaku .

Manusia modern begitu sibuk dan bekerja keras melakukan penyesuaian diri dengan trend modern. Ia merasa sedang berjuang keras untuk memenuhi keinginannya, padahal yang sebenarnya mereka diperbudak oleh keinginan orang lain, oleh keinginan sosial. Ia sebenarnya sedang mengejar apa yang diharapkan oleh orang lain agar ia mengejarnya. Ia selalu mengukur perilaku dirinya dengan apa yang ia duga sebagai harapan orang lain. Ia boleh jadi memperoleh kepuasan, tetapi kepuasan itu sebenarnya kepuasan sekejap, yakni kepuasan dalam mempertontonkan perilaku yang dipesan oleh orang lain. Ia tak ubahnya pemain sandiwara di atas panggung yang harus trampil prima sesuai dengan perintah sutradara, meskipun boleh jadi ia sedang kurang sehat.

Begitulah manusia modern, ia melakukan sesuatu bukan karena ingin melakukannya, tetapi karena merasa orang lain menginginkan agar ia melakukannya. Ia sibuk meladeni keinginan orang lain, sampai ia lupa kehendak sendiri. Ia memiliki ratusan topeng sosial yang siap dipakai dalam berbagai event sesuai dengan skenario sosial, dan saking seringnya menggunakan topeng sampai ia lupa wajah asli miliknya. Manusia modern adalah manusia yang sudah kehilangan jati dirinya, perilakunya sudah seperti perilaku robot, tanpa perasaan. Senyumnya tidak lagi seindah senyuman fitri seorang bayi, tetapi lebih sebagai make up. Tawanya tidak lagi spontan seperti tawa ceria kanak-kanak dan remaja, tetapi tawa yang diatur sebagai bedak untuk memoles kepribadiannya. Tangisannya tidak lagi merupakan rintihan jiwa, tetapi lebih merupakan topeng untuk menutupi borok-borok akhlaknya, dan kesemuanya sudah diprogramkan kapan harus tertawa dan kapan harus menangis.

Jika secara keseluruhan manusia modern tidak lagi mampu menangkap dan memahami kebenaran-kebenaraan agama yang universal dan abadi maka pudarnya visi intelektual semacam ini menurut Sayyid Husain Nashr sebagian besar berkaitan dengan tak berartinya lagi keberadaan sebagian ummat manusia. Keadaan ini, yakni kepasrahan menerima dirinya dan kekeliruan memandang benda-benda, yang lazim disebut “keadaan genting manusia modern yang eksistensial” adalah type manusia yang tak mampu mempertajam daya kritisnya terhadap dirinya dan dengan demikian juga tak lagi kritis memandang kebenaran-kebenaran obyektip yang terkandung dalam ajaran dari agama.
Sebagai akibat dari sikap hipokrit yang berkepanjangan, maka manusia modern mengidap gangguan kejiwaan antara lain berupa :(a) Kecemasan, (b) Kesepian, (c) Kebosanan, (d) Perilaku menyimpang (e) Psikosomatis.

Solusi Krisis

Secara alamiah manusia merindukan kehidupan yang tenang dan sehat, baik jasmani maupun rohani, kesehatan yang bukan hanya menyangkut badan, tetapi juga kesehatan mental. Suatu kenyataan menunjukkan bahwa peradaban manusia yang semakin maju berakibat pada semakin kompleknya gaya hidup manusia. Bersamaan dengan pesatnya modernisasi kehidupan , manusia harus menghadapi persaingan yang amat ketat, pertarungan yang amat tajam, satu keadaan yang menimbulkaan kegalauan dan kegelisahan.

Pada masyarakat Barat modern atau masyarakat yang mengikuti peradaban Barat yang sekuler, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi problem kejiwaaan itu dilakukan dengan menggunakan pendekatan psikologi, dalam hal ini Kesehatan Mental (Mental Health). Sedangkan pada masyarakat Islam, karena mereka (kaum muslimin) pada awal sejarahnya tidak mengalami problem psikologis seperti yang dialami oleh masyarakat Barat, maka solusi yang ditawarkan lebih cenderung bersifat religius spirituil, yakni tasauf atau akhlak. Keduanya menawarkan solusi bahwa manusia itu akan memperoleh kebahagiaan pada zaman apapun jika hidupnya bermakna. Pertanyaan yang timbul ialah bagaimana hidup bermakna pada zaman modern itu.

Tasauf Sebagai Solusi Krisis

Krisis keruhanian sebenarnya berkaitan erat dengan pandangaan hidup seseorang. Pandangan hidup yang salah akan mengakibatkan logika yang salah dalam merespon realita. Pandangan hidup menyangkut tujuan hidup, tugas hidup, fungsi hidup, alat untuk hidup, teladan dalam hidup, lawan dan kawan dalam hidup. Orang yang memiliki rasa dengki kepada orang lain, pasti disebabkan karena keliru memandang masalah. Demikian juga orang yang mau mengorbankan kehormatan demi harta atau jabatan pasti disebabkan karena keliru menilai kedudukan harta dan jabatan. Perbedaan pandangan hidup dapat mengakibatkan perbedaan pandangan tentang makna kenikmatan dan penderitaan, keberhasilan dan kegagalan, besar dan kecil, penting dan tidak penting serta ketenangaan dan kegelisahan.

Manusia adalah makhluk yang berfikir dan merasa.Bertasauf artinya menghidupkan hubungan rasa antara manusia dengan Tuhan. Berbeda dengan kesadaran intelektual tentang adanya Tuhan yang belum tentu mendatangkan ketenangan jiwa, kesadaran rasa berhubungan dengan Tuhan akan menempatkan seseorang berada dalam harmoni sistem sunnatullah. Bagi orang yang sudah sampai pada stasion ridla, atau ma`rifat, apalagi mahabbah, pastilah tak akan terganggu oleh perubahan zaman hidupnya, karena pusat perhatiannya tidak lagi kepada yang berubah, tetapi kepada yang tetap tak berubah, yaitu Allah swt. Kesadaran rasa berhubungan dengan Tuhan dapat memupuk fitrah keberagamaan yang hanif dan mempertajam bashirah sehingga seseorang selalu tergelitik untuk memperdekatkan dirinya (taqarrub) kepada Allah.

Mengapa mesti tasauf? Kecenderungan kaum muslimin kepada tasauf sebenarnya antara lain juga didorong oleh kemajuan zaman (baca : modernisasi) yang terjadi pada awal zaman Islam.. Dalam kurun waktu 30 tahun setelah hijrah Nabi, kaum muslimin generasi pertama ini mengalami perubahan yang amat cepat, dari penduduk padang pasir yang miskin menjadi penguasa (imperium) dengan wilayah kekuasaan yang amat luas dan kekayaan yang melimpah ruah. Pada masa Umar bin al Khattab, wilayah jajahan Rumawi di Afrika Utara dan Syam serta imperium Persia telah ditaklukkan.

Pada akhir masa Khalifah Usman bin Affan dan masa Ali bin Abi Thalib, di kala kekayaan melimpah ruah, konflik elit politik terjadi dengan amat tajam, dengan menelan korban yang tidak tanggung-tanggung, yaitu Khalifah Usman, Ali bin Abi Thalib dan bahkan cucu Nabi sendiri, Husain, ketiganya terbunuh secara aniaya.

Meski perubahan datang begitu cepat, tetapi para ulama tidak kehilangan kemampuan untuk merenung, mengambil hikmah dan mencontoh perilaku keagamaan Nabi serta para sahabat-sahabatnya. Abu Bakar dikenal sangat sederhana, tetapi mampu mengorbankan seluruh harta kekayaannya untuk perjuangan. Umar bin Khattab tetap hidup amat sederhana, dengan baju tambalan, meski ia ketika itu seorang kepala negara dari negara baru yang kaya raya, satu bentuk kehidupan yang dalam tasauf disebut sebagai zuhud, atau meninggalkan kehidupan bendawi di tengah melimpahnya harta benda . Ketinggian akhlak Rasul dalam kehidupan kesehariannya juga masih belum hilang dari kenangan para sahabatnya. Hal inilah yang menjadikan kekecewaan masyarakat atas konflik elit politik (sebagai limbah”modernisasi” ) tidak sampai menumpulkan pemahaman para sahabat (ulama) atas ketinggian ajaran agama Islam. Sebaliknya semangat memahami Al-Qur’an dengan multi interpretasion menjadi subur, antara lain melahirkan metode tafsir isyary, yakni memahami realita dengan isyarat-isyarat Al Qur’an, satu tafsir yang kelak dikenal sebagai corak tafsir tasauf.

Menurut Maulana Yusuf al Maqassary, ada tiga jalan yang bisa dipilih untuk mendekat kepada Allah, yaitu (1) Thariqath al Akhyar., jalan raya konvensional. Bagi Salik yang menempuh jalan ini, yang penting adalah mengerjakan rukun Islam secara baik, sunnah sebanyak mungkin, bermu’amalah dengan baik, pokoknya ikuti syari’ah Islam, niscaya ujungnya akan menjadi muqarrabin. (2) Thariqah ahl az Zikr. Metode zikir. Salik jalan ini haruslah selalu berzikir (menyebut dan mengingat Allah) dalam segala keadaan dengan segala prosedur dan etikanya, niscaya ujungnya juga akan mencapai ridla atau ma`rifah atau mahabbah kepada Allah. Cara berfikir ahl az zikr atau wirid sebenarnya sama dengan cara berfikir politik (3) Thariqaah mujahidat as Syaqa, methode melawan kesulitan. Salik jalan ini - sebagai ungkapan syukurnya kepada Allah - seakan sengaja mencari kesulitan. Ia malu memakan makanan yang lezat, malu tidur di kasur empuk, malu berkendaraan, maka ia wajibkan dirinya mengerjakan yang sunnat, ia haramkan untuk dirinya sesuatu yang lezat meski halal, dan kesemuanya itu didorong oleh rasa syukurnya kepada Allah. Di lingkungan tarekat Szadziliah, anjuran safar dan model zuhudnya sangat relevan dengan kehidupan manusia modern (afdhol az Zuhdi ikhfa’uhu).

Penulis dua kali mengikuti kegiatan sufisme international, pertama sarasehan guru tarekat se dunia (Multaqa at Tasawwuf al `Alamy) di Tripoli Libia (1995) dan 2nd International Islamic Unity Conference di Washington DC (1998) yang diadakan oleh masyikhah tarekat Naqsyabandiah USA. Dalam dua kesempatan itu terkesan bahwa mutasawwif dari negeri maju lebih memperoleh “pencerahan sufistik” dibanding mutasawwif dari negeri-negeri Islam yang nampak “biasa-biasa” saja.

Wallahu A`lam.