FRONTAL LOBE SYNDROME; NU
DAN GD BISA BERHUSNUL KHOTIMAH
Saya kutipkan
terlebih dahulu :
Semoga gerakan dan proses reformasi Indonesia
yang dimulai pada menjelang pertengahan tahun
1998 dan mencapai puncak krusialitasnya pada
tahun 1999 adalah sebuah proses Husnul Khatimah.
Yakni suatu gerakan kesadaran untuk menempuh dan
mengelola suatu akhir yang lebih benar dan baik,
di dalam makna kebenaran dan kebaikan yang sejati
Peletakan diri pada sikap benarnya sendiri atau
baiknya sendiri (baca: benarnya pemerintah
sendiri atau baiknya para reformis sendiri)
adalah suatu kebodohan, suatu kesempitan dan
kejumudan yang pasti membawa malapetaka bagi
seluruh bangsa.
Pilihan
puncak untuk mengabdikan diri pada benarnya orang
banyak atau baiknya orang banyak, adalah pilihan
yang jauh lebih realistis dan lebih menyelamatkan
dibanding benarnya sendiri dan baiknya sendiri.
Itu disebut sebagai salah satu wajah demokrasi.
Tetapi ia tidak cukup untuk dijadikan landasan
atau filsafat dan ideologi bagi nasib suatu
masyarakat di dalam sejarahnya. Salah satu
kelemahannya adalah karena orang banyak belum
tentu benar dan belum tentu baik. Sehingga apa
yang dikehendaki oleh orang banyak, apa yang
benar dan baik bagi orang banyak, tidak terjamin
bahwa ia sanggup menyelamatkan dirinya sendiri.
Kalau sebuah mayoritas masyarakat terkungkung di
dalam suatu kekeliruan sikap, nilai dan kesadaran
secara bersama-sama, maka masyarakat tersebut
memerlukan pihak lain yang mengingatkannya agar
mereka terbangun untuk tidak membunuh dirinya
sendiri. Kalau penduduk sekampung bersepakat
untuk melakukan penjarahan atas toko-toko, atau
untuk melakukan pertarungan massal dengan
penduduk kampung lain yang dimusuhinya itu bisa
disebut keputusan demokratis karena memenuhi
quorum tetapi semua manusia yang berakal sehat
mengerti bahwa bukan itu yang mereka cari di
dalam kehidupan.
(dari buku Ikrar Husnul Khatimah, 1999).
Sejak awal-awal
reformasi, bahkan sejak sebelumnya, bahkan sejak
Soeharto dan Orba merajalela; telah dituturkan
segala yang paling bisa menyelamatkan bangsa dan
manusia Indonesia. Tapi sampai hari ini
kelihatannya pilihan kita memang bukan
keselamatan. Kalau hidup memelihara kehormatan,
kelak jika mati kita menjadi jenazah. Tapi
cita-cita kita mungkin berbeda: ingin menjadi
mayat, atau bahkan bangkai. Tetapi itu bukanlah
satu-satunya keadaan bangsa kita. Bukan
satu-satunya kenyataan, dan terlebih lagi: bukan
satu-satunya kemungkinan.
Pada menit-menit
terakhir dari jatah hidupnya, seseorang masih
memiliki kemungkinan untuk berubah
sekurang-kurangnya hati dan pikirannya. Kalau
bencana sudah sampai ke leher, air banjir sudah
memasuki lobang hidung dan api sudah membakar
ubun-ubun seseorang masih memiliki kemungkinan
untuk menyadari bahwa selama ini ia keliru.
Ketika saya mengkonfirmasikan kepada Hazim Muzadi
apa benar ada dua kali rapat di Jombang dan salah
satu agendanya adalah merumuskan daftar bunuh,
rumah disilang merah kalau Gus Dur sampai turun,
maka sejumlah tokoh Muhammadiyah, PAN, Golkar,
PPP dan NU non-Gus Dur akan menjadi sasaran
Pasukan Ninja ; juga apa benar Gus Dur sendiri
yang menginstruksikan kerusuhan di Jawa Timur,
kemudian minta kerusuhan tiga hari di Jakarta
sebelum minggu ketiga Pebruari atau pada sekitar
Sidang Paripurna DPR soal Memorandum II, dst. Pak
Hazim dengan lembut dan diplomatis mohon
didoakan: Sebagai manusia biasa saya sudah
berupaya menjadi saleh. Sebagai Bapak saya sudah
berupaya menjaga seluruh keluarga dari api
neraka. Sebagai warga negara saya sudah berusaha
sebaik-baiknya menjalankan kewajiban. Tapi
sebagai pemimpin rombongan NU, sekarang secara
tak sengaja menjadi mesin politiknya Gus Dur, dan
bukan PKB, saya mohon doa agar diperkenankan oleh
Allah untuk lulus.
Beliau
menjelaskan, Ummat NU itu juga heterogen. Setiap
kelompok punya kiainya sendiri-sendiri. Setiap
warga NU memiliki hak penuh untuk menentukan
sikap politiknya sendiri-sendiri. Jadi sebagai
ketua NU saya tidak otomatis bisa memegang dan
dipatuhi oleh seluruh ummat NU. Saya mungkin bisa
menambal satu doa bocoran anarkisme di lapisan
bawah, tetapi kalau provokasi dari atas datangnya
seperti hujan deras tiap hari, saya tidak bisa
berbuat sejauh yang diharapkan oleh para pecinta
damai. Hazim Muzadi secara pribadi
berkecenderungan setuju bahwa Gus Dur harus
mengakhiri kekuasaannya, tetapi ia berpendapat
sebaiknya semua pemimpin yang lain juga mundur
untuk menuju Pemilu yang baru sama sekali.
Sejumlah tokoh mengatakan bahwa Hazim Muzadi
hanya Ketua NU dejure, sedangkan Ketua
defacto-nya adalah Gus Dur sendiri. Dengan kata
lain, polarisasi kekuatan yang sedang berhadapan
bukan otomatis antara pro-Gus Dur dan anti-Gus
Dur. Sebab NU dan para tokoh golongan ini di
sekitar Gus Dur juga sangat kerepotan menghadapi
Gus Dur.
Di antara seluruh kata-kata yang ada di dunia,
ada satu yang Gus Dur selama ini tidak mau
mendengar, yakni kata mundur. Ia akan langsung
berang dan naik pitam jika diucapkan kata itu
kepadanya. Bahkan ia juga langsung uring-uringan
jika Anda menyebut-nyebut pembubaran Depsos,
Suwondo, dll. Gus Dur bukan seorang sesepuh y ang
jembar hati, luas jiwanya dan sabar tabah
mentalnya. Ia sudah sangat sesak secara
psikologis dan hampir tak sanggup menanggung di
hatinya berbagai akibat dari perilakunya sendiri.
Ditambah lagi ada sejumlah dokter yang
menyimpulkan bahwa Gus Dur mengidap Frontal Lobe
Syndrome. Suatu korsluiting dalam sistem saraf
memorinya, di mana apa yang ia katakan dan alami
pada satu jengkal waktu, tidak menjadi kesadaran
dan ingatannya pada jengkal waktu berikutnya.
Sehingga orang menyebutnya pembohong, tidak
konsisten, mencla-mencle. Maka semua orang sangat
cemas pada 29-30 April 2001. Tetapi segala
sesuatu bisa terjadi. Orang bisa berubah. Manusia
bisa berevolusi atas dirinya sendiri. Di puncak
ketakutannya terhadap kata mundur, tahap
berikutnya bisa saja ia menjadi sangat berani
kepada kata itu. Apalagi Tuhan menjamin, meskipun
hambaKu datang kepadaKu dengan memanggul dosa
sebanyak awan di langit, jika yang ia bawa
kepadaKu adalah cinta dan permohonan ampun maka
aku membukakan cahayaKu kepadaya.
Jadi siapa saja yang hampir terperosok ke lembah
su-ul khatimah (akhir yang buruk), bisa saja
mendapatkan yang sebaliknya: husnul khatimah.
(Emha Ainun Nadjib)
|