MENU ARTIKEL



Personal Photos

Halaman Utama

REFORMASI SALAH LANGKAH DAN TAK NGAKU

Silahkan Gus Dur turun dan sesudahnya silahkan Megawati menggantikannya, kemudian silahkan juga siapapun lainnya memimpin negeri ini berikutnya tapi kalau mesin sejarah negara dan bangsa kita tetap seperti sekarang, maka tidak akan ada perbaikan yang mendasar yang bisa dicapai.
Berapa ton enerji dan berapa milyar biaya kita habiskan untuk mengurusi Gus Dur dan elite politik, dan hampir tidak serupiahpun kita relakan untuk membiayai perbaikan mesin kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan kita. Politik adalah urusan ke mana kendaraan kita arahkan. Ekonomi adalah kesanggupan untuk membensini perjalanan itu. Hukum adalah disiplin selama perjalanan. Mesin adalah sistem managemen kendaraan itu, tatanan konstitusinya, etikanya, perundang-undangannya, sampai detil aturan-aturannya.
Kebudayaan adalah bahan dasar dari peralatan-peralatan yang dipakai oleh mesin itu. Secanggih apapun mesin kita, tapi kalau bijih besinya tidak bermutu, logamnya dikorup kadar-kadarnya, businya pura-pura busi, stang pistonnya lunak, versnellingnya munafik, rodanya berlagak bundar padahal kotak-kotak, lakernya hipokrit, antara stasioner dengan setelan gas tidak pernah kompak, segala onderdil yang lain penuh hipokrisi dan tidak punya kepribadian dan tak tahu malu maka perjalanan kendaraan kita bukan hanya tersendat, langganan macet dan mogok, tapi juga kita mengalami ambrol demi ambrol.
Reformasi mesin dan seluruh kendaraan serta arah perjalanan kita juga tidak menentu. Salah wacana, tidak pakai pengetahuan yang memadai, dasar moralnya tidak jelas, tak pakai ilmu hikmah, dlsb. Bahkan lalulintas perundingan antara sopir dengan kondektur dengan kenek serta penumpang juga penuh penyelewengan dan manipulasi. Maka sampai hari ini reformasi yang kita selenggarakan lebih banyak omong kosong. Bukan hanya tidak mampu menjanjikan keadaan yang lebih baik dari era sebelumnya yang dikutuk-kutuk, malahan jauh lebih buruk. Saya kutipkan sepenggal hasanah tentang khusnul khatimah yang merupakan judul teks saran ( 16 Mei 1998) agar Suharto mundur meskipun kemudian mundurnya Suharto diterima, tetapi busur husnul khatimahnya dihilangkan :
Sebab dengan tidak dipahaminya konsep husnul khatimah dalam proses kehidupan bangsa yang menyangkut pertemuan 19 Mei itu, masalahnya kemudian menjadi berbeda sama sekali.
Pertama, langkah reformasi menjadi memubadzirkan waktu yang cukup lama, karena yang menjadi pilihan keadaan kemudian adalah naiknya BJ Habibie menjadi Presiden RI. Terbukti kemudian kontraversi timbul dan hampir tak henti-hentinya atas legitimasi kepresidenan Habibie. Akan tetapi ini adalah pilihan kaum reformis sendiri.
Kedua, kita menjadi bangsa yang tidak dewasa, dengan hanya sanggup memperlakukan Suharto hanya dengan kebencian, dendam dan sikap brutal. Kita ti dak punya kesanggupan kolektif untuk memperlakukannya secara berbudaya: di satu sisi memproses secara hukum kesalahan-kesalahannya sampai ke penjara kalau perlu.
Sedangkan Allah sendiri, yaitu Dzat yang menciptakan kuku dan bulu-bulu kita, membuka pintu demokrasiNya, menyuruh Musa As. Untuk mendatangi Fir'aun dan menanyakan kepada diktator takabur itu apakah ia mau bertobat. Kalau mau, Allah akan membimbing ke jalanNya. Artinya, sebagai manusia biasa Suharto harus dipahami sebagai hamba Tuhan yang punya hak untuk memperbaiki diri, bertobat, membayar hutang, mengembalikan barang curian. Bangsa Indonesia punya hak untuk menghukum Suharto, sekaligus punya hak untuk memaafkannya -- umpamanya sesudah Pak Harto mengembalikan harta rakyat kepada yang berhak. Seba gaimana Allah swt. sendiri senantiasa membuka pintu Rahman, Rahim, Tawwab, Afuww, Ghafur dan Ghaffar-Nya untuk mempeluangi hambanya yang hendak bertobat. Sementara kita justru berlaku takabur melebihi kuasa Tuhan dan seolah-olah kita adalah bangsa yang tidak beragama dan tidak pernah memiliki Pancasila.
Tugas sosialisasi pemahaman tentang husnul khatimah di pundak Cak Nur ini sampai hari ini belum saya dengar cukup gencar dijalankannya. Dan hal itu menjadi tidak menolong proses reformasi yang sejauh ini tidak memiliki panduan sistem nilai yang jelas untuk dijalankan. Seandainya konsep husnul khatimah dipahami, orang juga akan tahu bahwa seorang Raja baru sanggup memutuskan untuk 'lengser keprabon' hanya sesudah ia menghayati dan menerima fenomena 'madeg pandito'.
Seandainya saya adalah seorang yang legitimated dan punya kredibilitas seperti Cak Nur, baik di mata masyarakat umum, di hadapan kelas menengah intelektual reformis, maupun di mata pers atau media massa -- tentu saja akan turut menjalankan tugas itu. Akan tetapi saya tidak punya posisi seperti itu.
(Dari buku Ikrar Husnul Khatimah, 1999).

Rekomendasi agar Suharto turun itu disusun oleh Nurkhalis Madjid cs pada tgl. 16 Mei 1998, diperskan tgl. 17, diterima dan disetujui Suharto tgl. 18, dan dirundingkan dengan para pemberi saran tgl. 19 teksnya berjudul Husnul Khatimah.
Saya coba sebarkan wacana itu melalui selebaran, tulisan, bahkan buku. Juga melalui penyelenggaraan berbagai acara dengan masyarakat umum untuk menyumbang proses reformasi.
Saking tidak lakunya Islam di kalangan kaum modernis sempat saya kemukakan :
Yang penting ide husnul khatimahnya. Kalau memang gengsi, lupakanlah nama saya, bahkan kalau perlu hilangkan Islamnya dan Allahnya. Tidak penting bahwa husnul khatimah itu diucapkan oleh Cak Nur atau saya. Kalau perlu gantilah namanya menjadi berbahasa Inggris atau Perancis yang penting ada panduan agar bangsa Indonesia bisa selamat. Tentulah tingkat ilmu Anda para reformis modern ini memang sudah melebihi para Nabi, sejajar dengan Malaikat dan bahkan sudah hampir menyamai ilmu Tuhan itu sendiri. Jadi lupakan Allah, Islam, Nabi, atau apalagi Cak Nur dan saya. Yang penting Anda dan kita semua menjalankan gagasan husnul khatimah. Sekarang, tahun 2001, sesudah Indonesia mengalami kehancuran demi kehancuran, saya sempat berpikir mungkin gagasan husnul khatimah akan sedikit mulai diterima. Tapi ternyata tidak juga.
Pasti karena tuhan-tuhan di Indonesia ini memang hobinya adalah kehancuran. (Emha Ainun Nadjib)