MENU ARTIKEL



Personal Photos

Halaman Utama

SIAGA SATU TNI, RYAMIRZAD DAN REALITAS RAKYAT

Posted on 2002/6/11 9:59:13

Yang Masih Kotor Seperti Saya

Yang masih kotor seperti saya
Mari bertamu ke rumahNya
Yang sudah bersih hidupnya
Pimpinlah negeri malang Indonesia

Yang membenci kebencian
Yang jijik kepada balas dendam
Yang puasa dengki dan caci maki
Mari mengetuk PintuNya

Yang ingin mengakhiri kegelapan
Mari berhimpun bersama-sama
Mengupayakan cintaNya
Yang ingin mengosongkan jiwa
Dari nafsu sendiri

Yang ingin membuka telinga
Bagi Tuhan dan rakyat
Mari bertafakkur di atas tikarNya

Yang meneguhkan keadilan
Dengan sopan santun dan kelembutan
Yang menegakkan hukum
Tanpa memperhinakan sesama hamba
Mari sujud di hadapanNya

Yang rela melupakan dirinya
Untuk menomorsatukan rakyatnya
Mari bersimpuh, memohon
Pembelaan dan kasih sayangNya

1999

Ketika tulisan ini saya ketik Selasa malam 15 Mei 2001, belum saya dengar melalui teve atau media lainnya bahwa ada pengumuman tentang keadaan Siaga-I. Tetapi minimal dalam seluruh jajaran TNI, telah dinyatakan secara internal bahwa mereka memasuki Siaga-I.

TNI kelihatannya tidak bisa bersabar lebih lama menyaksikan keadaan nasional Indonesia yang tidak punya harapan sama sekali untuk membaik. Tampaknya TNI mulai tidak bisa membiarkan dirinya “tidak bisa berbuat apa-apa” atas negerinya yang kacau.

Sebelum ini mereka “tutup mata tutup telinga” dalam segala tema politik. Mereka akan dukung pemerintah dan presiden siapa saja. Kalau presidennya Gus Dur, ya di dukung. Kalau besok pagi tiba-tiba presidennya Megawati, ya mereka dukung. Tetapi mereka akan sama sekali abstain dalam proses peralihan politik. Itu seratus persen pekerjaan kaum sipil.

Tetapi kelihatannya mulai beberapa hari belakangan ini berlangsung konsolidasi dalam tubuh kepemimpinan TNI dan menghasilkan penyikapan baru seperti tersebut di atas.

Tentu saja kita tidak membayangkan bahwa TNI akan mengambil alih kekuasaan secara langsung, tetapi ada yang agak jelas: bahwa Pangkostrad, Ryamirzard Ryacudu, diputuskan untuk dijagokan…..entah dalam formula yang bagaimana.

***

Selama kekacauan politik Indonesia yang berkepanjangan ini berlangsung, kebanyakan pengamat dan pakar politik mengemukakan asumsi teoritik yang memang baku bahwa lambat atau cepat TNI akan bisa tampil mengambil alih kekuasaan.

Kaum akademisi politik atau para politolog memang tidak memiliki wacana lain kecuali yang mengacu pada

teori itu, sehingga asumsi dan kekawatiran mereka memang bisa dipahami.

Sejauh ini, terutama karena isyu HAM yang secara internasional memang menjadi political mind-frame utama, TNI terdesak kembali ke barak. Mereka mengalami proses ‘salah tingkah’ sampai tingkat yang optimum.

Di Indonesia, dwifungsi dikutuk sejak reformasi. TNI mengambil jarak beberapa langkah ke belakang setiap aktivitas politik. Fraksi TNI/Polri di DPR selalu bersikap abstain – dan sesungguhnya itu menjalankan hakekat ketidak-berpolitikan TNI. Mereka disindir sebagai tidak berani bersikap. Padahal kalau mereka bersikap, akan juga dituduh masih terlibat politik praktis.

Soal-soal keamanan hampir sepenuhnya dianggap merupakan tugas Polri, dan TNI hanya tampil ketika muncul tema keterancaman kedaulatan negara.

Satu hari menjelang kerusuhan Sampit, saya sempat menelpon salah satu pembesar TNI agar segera mengantisipasi keadaan di sana sebelum terjadi bencana yang mungkin bisa diperkecil kalau TNI mempercepat antisipasinya.

Saya mendapat jawaban bahwa TNI merasa gamang. Mereka tidak bisa bertindak kalau tidak ada perintah dari pemerintah pusat, sebab kalau mereka langsung bertindak – nanti justru akan dianggap melanggar HAM. Padahal ketika itu Presiden Gus Dur sedang sibuk sama Tuhan dan ketika sedang seram-seramnya pemotongan kepala di Sampit, Gus Dur berangkat ke Mekah dengan seratus orang lebih anggota rombongan. Tentulah Tuhan lebih penting dibanding berapa ribupun orang Sampit, meskipun orang-orang Madura yang malang itu kebanyakan adalah anggota NU.

Karena situasi kepemimpinan pusat seperti itu, maka tragedi Sampit, juga kemungkinan tragedi di manapun lainnya, akan tidak bisa dibendung. Ketika TNI harus menyiapkan pasukan khusus ke Aceh, berlatih di Krawang, Pangkostrad juga minta jaminan bahwa apa yang mereka kerjakan di propinsi sulung RI itu akan tidak dibentur oleh tuduhan melanggar HAM, sebab yang mereka lakukan adalah mempertahankan kedaulatan NKRI. Kalau tidak ada jaminan itu, tentara tidak akan mau berangkat.

***

Wallahua’lam, apakah dengan kegamangan politik karena masalah HAM itu TNI akan mengambil keputusan yang mengejutkan.

Gus Dur beberapa hari yang lalu menyatakan bahwa yang tidak mendukungnya dari TNI hanya pucuk-pucuk pimpinannya, sedangkan di bawahnya semua mendukung Gus Dur.

Entah siapa yang membisiki Gus Dur sehingga ‘GR’ seperti itu. Beberapa bulan yang lalu Gus Dur bermaksud memecat KSAD dan Pangkostrad, tetapi TNI kompak tidak mentaatinya.

Sekarang, karena keyakinan bahwa hanya sejumlah elite TNI saja yang mbalelo kepadanya, Gus Dur akan melakukan penggantian pucuk-pucuk pimpinan TNI tertentu – dan TNI tampaknya menyiapkan ‘ketidakpatuhan’ yang lebih keras. Dan kalau Gus Dur juga bersikeras dan membawa-bawa ‘kekuatan’nya, maka untuk kemungkinan itulah TNI menyatakan kepada dirinya Siaga-I.

Kita bangsa Indonesia sedang mengalami “kematian sel-sel” untuk menuju “kelahiran sel-sel baru”. Entah Anda mendaftarkan diri kepada yang mana.

Emha Ainun Nadjib