LULUS JADI RAKYAT DULU,
BARU JADI PEMIMPIN
Apakah Cak Nun
siap jadi presiden, jika nantinya ada pemilihan
presiden secara langsung? Terhadap pertanyaan ini
lantas Cak Nun, "gak potongan rek, awakane
iki dadi koyok ngono iku" .., sebab
persoalannya adalah tidak terletak pada apakah
saya setuju atau tidak, atau saya siap atau
tidak. Sebab aku tidak pernah dianggap penting di
negeri ini.
Letak masalahnya adalah pada keharusan sunnah
bagi semua hamba Allah agar senantiasa
menyelenggarakan proses pemuaian, pengembangan,
perombakan dan pergantian menuju keadaan yang
lebih baik. Adapun siapakah orang yanag sebaiknya
menjadi pemimpin baru, kita jawab tidak melalui
kata "siapa", melainkan kata
"bagaimana" dan "apa",
artinya terserah siapapun namanya, yang penting
apakah ia memiliki iktikad, kejujuran, ilmu dan
ketrampilan untuk menyelesaikan krisis-krisis
besar yang sedang menimpa bangsa Indonesia.
Sementara Cak Nun menjalani hidup ini bukan
karena suatu keinginan, bahkan tidak boleh punya
keinginan, artinya anda hidup ini jangan karena
ingin kaya, atau ingin terkenal atau ingin-ingin
yang lain. Anda makan seharusnya bukan karena
ingin makan, tetapi karena akibat sistem
metabolisme dalam tubuh anda yang dalam sistem
waktu tertentu, harus mendapatkan suplai makanan
agar bisa memperkuat jaringan tubuh anda. Kalau
anda dapat uang bukan karena anda ingin uang itu,
tetapi karena akibat anda mau bekerja keras,
hingga uang yang mendatangi anda. Saya menyanyi
bukan karena saya ingin nyanyi dan ingin jadi
penyanyi, tetapi karena akibat teman-teman Kyai
Kanjeng minta saya untuk mengisi aransmen yang
cocok untuk jenis vokal saya. Jadi kalau bisa
kita hidup ini, harus bisa melawan
keinginan-keinginan, sebab keinginan kita ini
sebenarnya ada yang menghendaki, yakni Allah Swt,
agar keinginan kita sama atau diridhai Allah maka
kita harus dekat, patuh dan tunduk pada Allah.
Dengan begitu anda akan siap menghadapi apa saja
tantangan di dunia ini.
Emha mengajak, kepada siapapun untuk jangan
bangga diangkat-angkat menjadi presiden, siapapun
jangan bangga digede-gedein, "Ya dunya
ghurri ghoiri, laqod tholaotuka
tsalaatsatan", Wahai dunia, kamu rayu yang
lain saja (jangan aku) kau telah kutalak tiga,
kalau saya masih kepencut dunia, malu saya ini
dengan diriku sendiri, kalau aku masih kepencut
dengan jabatan-jabatan, kalau aku masih kepencut
dengan megahnya dunia, malu saya ini sama diriku
sendiri, saya ini Cuma kepencut sama Novia
Kolopaking.
Syarat untuk menjadi pemimpin harus lulus jadi
rakyat dulu, dan masalahnya sekarang ini saya
sedang ujian terus sebagai rakyat, bahkan
sampai-sampai saya ndak tahu kapan selesainya.
Saya bersyukur kepada Allah yang telah menjaga
saya dengan larangan-larangan, dengan
kebencian-kebencian orang kepada saya, sebagai
rakyat saja, kayak gini, banyak orang itu tidak
rela, apalagi kalau sebagai penyair, seniaman,
budayawan, kyai mbeling, jadi menteri, jadi
anggota DPR, jadi pejabat. Orang tidak rela kalau
saya kaya, punya rumah dan mobil bagus, orang
tidak rela kalau saya sukses, bahkan terkadang
merokokpun saya tidak boleh. Banyak orang lega
hatinya kalau saya jatuh miskin, gagal, dan saya
sangat menyanyangi orang-orang itu, tapi orang
tidak rela kalau saya seniman. Saya mengerjakan
tugas kaum ulama. Saya bikin karya seni, tapi
orang tidak rela kalau saya digolongkan ulama,
saya lakukan pekerjaan intelektual, tapi orang
tidak ikhklas kalau saya dibilang intelektual,
tetapi saya sangat suka dan bahagia pada semua
itu.
Menjadi rakyat biasa saja, saya ini siap, menjadi
orang yang tidak dikenal saja saya ini mau, saya
di cekal, dibenci sana-sini aja saya siap dan
ndak marah, apalagi kalau Cuma sekedar jadi
presiden, "gak potongan aku iki rek" ..
saya ini pantesnya ya jadi modin, carik, atau
paling pol jogoboyo, sebab ada yang lebih tinggi
lagi di atas presiden dan saya siap banget, yakni
jadi pesuruh Allah.
Dari Konser Padhang Mbulan, Di Boulevard UGM
Jogjakarta, 1 juni 2001.(Jns).
|