Refleksi Menjelang
Jatuhnya Gus Dur
Sebagai presiden
Gus Dur pengin dicatat oleh dunia sebagai seorang
presiden yang menerapkan demokrasi total,
sehingga apa-apa boleh, orang bikin apa saja
boleh. Kebebasan pers dibuka lebar-lebar, boleh
nulis apa saja dan tidak bakalan ada pembredelan
termasuk soal dibubarkannya Deppen dalam kabinet
pemerintahan Gus Dur. Bahkan sekalipun dalam
beberapa hal, justru media massa sering
memelintir berita yang banyak merugikan Gus Dur.
Dan Gus Dur tetap membiarkan saja, sambil sekali
waktu ia juga pergunakan media massa itu untuk
menghantam lawan-lawannya.
Di bidang politik Gus Dur mencoba memberikan
ruang bagi penguatan politik dalam konteks civil
society. Gus Dur memilih bahwa kesadaran politik
harus muncul , berkembang dan dikelola oleh
masyarakat sendiri, untuk secara sadar mampu
bersikap secara praktis dengan meniadakan segala
macam bentuk tekanan, intimidasi dan
penyeragaman-penyeragaman sikap nasional
sebagaimana lazim terjadi dalam masa orde baru.
Oran g boleh bicara apa saja tanpa ada yang
melarang. Penguatan sistem itu tidak terjadi
bukan saja di level masyarakat bawah tetapi juga
sampai pada tingkatan elit, melalui semakin
menguatnya fungsi legislatif DPR/MPR, fungsi
eksekutif, dan fungsi yudikatif dengan semakin
beraninya untuk secara tuntas memberantas KKN
yang dilakukan para mantan pejabat Orde baru,
konglomerat nakal dan birokrat korup lainnya.
Itulah yang dilakukan Gus Dur di awal dia menjadi
presiden.
Tampaknya Gus Dur menerapkan pola demokrasi ini
hanya sebagai "wacana", karena di dunia
teknis, birokratis tidak ada "sabdo pandito
ratu", artinya semua sistem birokrasi dan
manajemen pemerintahan itu ada aturan-aturan dan
ketentuannya, jadi tidak bisa begitu saja asal
merubah dan mengelolanya. Gus Dur sangat memakai
pola "Gus" dalam managemen
pemerintahannya. Akibatnya jadi carut-marut,
karena ternyata Gus Dur selama ini ada di dunia
budaya. Ia selalu main di dunia budaya politik,
sebagai contoh soal pernyataan "gitu aja,
kok repot". Meskipun dalam muktamar PKB yang
seharusnya ketuanya adalah Alwi Shihab, tetapi
Gus Dur langsung saja ngomong yang jadi ketua
harus Mathori Abdul Jalil. AS. Hikam bisa saja
jadi Menristek tapi itu menyakitkan para
teknokrat, ilmuwan dan semua orang ahli di bidang
itu, karena dia itu orang dari sastra Arab.
Menurut Cak Nun, Indonesia ini kalau mau sembuh
harus dipimpin oleh seorang raja yang baik.
Maksudnya raja yang baik itu begini, pada
sejumlah segmen pekerjaan, bernegara dan
bermasyarakat, itu dibutuhkan bapak yang teges
(tegas), "Ayo kerja bakti, koen tak kampleng
kalau ndak mau!" , "ayo dimasak!"
, "ayo digarap" . Ini yang dimaksud
raja. Tetapi tetap pada saat yang sama dibelajari
tentang demokrasi, lha sekarang ini kita semua
masih SD berdemokrasi langsung tiba-tiba Gus Dur
menerapkan demokrasi, akhirnya yang terjadi
anarkhisme.
Ada orang enak-enak main silat, mendadak disuruh
push up, lha semau saya dong! Push up atau tidak
saya sendiri yang tahu, itu gayanya Gus Dur untuk
memerintah. Pak Harto adalah raja yang ketat,
keras dan dalam beberapa hal mungkin kejam,
mungkin juga "nyolongan". Tapi di luar
dia nyolong itu, dapur diberesi sampai standar
tertentu. Malahan keluarganya atau anak - anaknya
agak "besengut" terus, "bapak ini
kerengnya ndak karu-karuan." Tapi stabil,
mau tidak mau para pembantunya harus tertib,
rajin, dan taat. Tapi sekali lagi ini bukan anti
demokrasi. Sekarang mengajari anak satu, untuk
berdemokrasi itu saja ada tahap-tahapnya.
Sementara kalau kita mau belajar pada orang lain,
atau negara, yang menerapkan sebagaimana sistem
raja di atas tidak ada. Pak Harto itumenerapkan
sistem budaya politik semi sosialis, ekonominya
semi kapitalis sedangkan politiknya semi sosialis
tapi dengan wajah demokrasi,artinya ada MPR-nya,
DPR, walaupun lebih banyak bersifat manu palatif
dan rekayasa, dan semuanya sudah dibuat dan
diatur-atur. TNI dikasih kursi,
menteri-menterinya ditaurh juga di MPR. Sehingga
wajahnya tampak demokrasi tetapi hakekatnya
kerajaan atau sosialis.
|