MENYONGSONG HAMPA POLITIK
Kehampaan
politik itu artinya begini: Dunia politik gegap
gempita dan murah meriah, tetapi hakikat makna
politik diingkari.
Umat manusia bikin negara supaya kumpulan
masyarakat diwilayah itu bisa termanage
keperluannya. Politik adalah metode manajerial
untuk mengurusi kesejahtaraan rakyat dalam suatu
negara. Adapun yang dialami bangsa indonesia
selama ini adalah negara seolah-olah ada padahal
kerjanya merepotkan rakyat.
Diantara yang mengurus negara sangat banyak
penjahatnya, dari level paling atas sampai pamong
desa.
Aktivitas politik seolah-olah sangat memberi
harapan kepada nasib rakyat, terutama ketika
sampai pada wacana demokrasi dan reformasi. Tapi,
yang dialami rakyat adalah manipulasi atau
pemalsuan istilah sehingga kenyataannya nasib
rakyat semakin buruk.
Untunglah, krisis pemerintah tidak sama dengan
krisis negara dan krisis negara tidak sama
persisnya dengan krisis rakyat. Pemerintah
berusaha terus hidup melalui utang-utang dalam
keadaan bangkrut dari tahap ketahap, tapi itu
tidak berarti seluruh negara mengalami hal yang
sama, karena negara terdiri 'kraton-kraton'
sendiri yang dalam satu dua hal berposisi
dependen terhadap pemerintah.
Juga rakyat, yang hidup tidak hanya dibawah
pemerintah atau didalam negara, melainkan punya
hubungan dengan alam yang lebih luas dan Robbul
'alamin -Maha Pengasuh dari segala alam,
banyak alam, tidak hanya satu alam, atau apalagi
satu negara. Jadi, asalkan rakyat sebagai
manusia-manusia memelihara kontak dan
integralitasnya sengan alam-alam, mereka bisa
memperkecil timpaan efek yang ditimbulkan oleh
pemerintah atau negara .
***
Itulah salah
satu sumber logika dari ungkapan 2002:tahun tanpa
presiden. langsung saja di gugat orang karena
menulis seperti itu:"Apa maksudnya itu? koq
tahun 2002 tanpa presiden?" Gugup-gugup saya
coba menguraikannya. Ada puluhan arti dan
interpretasi, apalagi segala sesuatu dinegeri ini
bisa dan biasa dilawakkan. Tapi, saya ambil dua
makna saja. Pertama, tanpa presiden itu kalimat
lainnya adalah sama saja bagi nasib rakyat kecil
ada presiden atau tidak ada. Wacana berpikir dan
tindakan pemerintah republik Indonesia sampai
hari ini masih melanggar prinsip dasar demokrasi,
ialah meletakkan rakyat sebagai subyek utama
pekerjaan pembangunan.
Kepentingan rakyat masih belum diperlukan sebagai
saran untuk pengabdian. Rakyat tidak dijajah
secara militer sebagaimana jaman belanda, juga
tidak dijajah dengan otoritarianisme politik
sebagaimana jaman orla, orba, dan seterusnya.
Sebab, penjaj ahan sekarang melalui tiga wilayah.
Satu, sistem moniter pemerintah kita adalah
perusahaan miskin dan krisis yang terpaksa utang
terus untuk membiayai kewajiban ekonomi dasar
plus pembiayaan hedonisme para birokrat.
Segmen-segmen urban perkotaan, para pen g huni
lalu lintas moneter, dan kabupaten-kabupaten
miskin terkena dampaknya. apalagi, utang raksasa
para konglomerat ditunda pembayarannya dari dua
tahun boleh sepuluh tahun. Tapi, untungnya,
banyak rakyat yang perusahaan sendiri-sendiri
terutama kabupaten - kabupaten kaya raya yang
bupatinya tak takut pada gubernur, menteri, dan
presiden. Dua, pembodohan intelektual. Dulu kita
dijajah eksekutif. Sekarang legislatif yang
mestinya membela kita, malah secara lebih parah
meneruskan habitat eksekutif orba. Ada satu yang konangan
lantas dipecat, padahal mestinya semua atau
sangat banyak yang dipecat. Dan, kita
tenang-tenang saja karena media massa tidak
pernah punya kepentingan untuk mendidik kita.
Tiga, penghancuaran kebudayaan. Ini butuh uraian
khusus, kapan-kapan . Alhasil, ganti presiden
siapa saja tidak ada bedanya bagi rakyat bawah.
Ada presiden atau tidak, bisa jadi malah lebih
bagus tanpa presiden. Jadi, kita bersaing seperti
dijaman umat manusia masih otonom dan mandiri
dari negara, yang maunya menolong kesejahteraan
tapi prakteknya malah menjadi alat penjajah yang
dihalalkan.
***
Kesalahan utama
tidak pada presiden, pemerintah atau negara
melainkan pada kita sendiri yang belum sanggup
menjadi rakyat dan bandel tidak mau belajar untuk
itu. Kalau makmum cengengesan pasti pilih imam
sembarangan. Imam kentut malah dipuji-puji.
Bahkan karena ogah-ogah sholat kita main gaple
sendiri. Dan imamnya malah senang, karena
makmumnya main gaple, dia juga bebas dari
kesetiaannya, konsistensi, dan tangung jawab
sebagai imam. Adapun interpretasi kedua soal
tahun 2002 tanpa persiden adalah karena para
elite politik kita selalu bergejolak. Ada
keinginan melengserkan Mega, syukur dalam enam
bulan ini. Sejumlah pergolakan akan terjadi untuk
melakukan delegetimasi terhadap kekuasan Mega.
Poros-poros kekuatan luar negeri bermain, karena
memang senantiasa merekalah yang paling aktif
bermain dengan pemain-pemainnya yang juga tinggal
dinegeri kita ini.
Ada tanda-tanda rekonsialisasi antar sejumlah
kekuasaan yang dimulai dengan menampakkan
kekompakan kultural. Pada umumnya
kekuatan-kekuatan politik akan lihat-lihat angin
untuk memilih bergabung ke yang mana. Ada juga
joki yang sudah memutuskan menunggang salah satu
kuda tetapi kudanya belum dilepaskan kelapangan,
joki kita sudah loncat dari tembok.
Pokoknya macam-macam. Lha anda dan saya
konsentrasi saja cari nafkah untuk keluarga,
sambil jangan pernah menjauh dari Yang Maha
Empunya Nafkah supaya kita dilibatkan dalam
mekanisme min haitsu layahtasib.
Dengan catatan, dalam konteks politik negara
kita masih menjadi pelanduk-pelanduk. Setan-setan
dan jin menyapa kita: 'Wahai kita para masyarakat
pelanduk, apa khabar? prestrasimu sejauh ini
adalah goyang ndangdut, joget sampai habis,
nonton show terus tawuran, ngisep
sabu-sabu, nonton vcd porno, bikin
tayangan-tayangan cengengesan....***
(emha, dikutip dari JawaPos)
|