Bu Mega dan Bu Mugi
Di pagi
dan siang hari yang sangat cerah. Di lembah
antara gunung Sumbing dan Sindoro, dikampung
perkebunan tembakau yang banyak penduduknya
beternak babi, kumpul 20-an ribu rakyat kecil
dari berbagai penjuru untuk mendengarkan
pengajian dan tembang-tembang pepujian langit.
Ketika Pak Kiai datang semacam tarian Jaran
Kepang menyambutnya, beberapa orang menyongsong,
mengambil Pak Kiai, dan memanggulnya
tinggi-tinggi berjalan jauh sampai ke panggung.
Dan, diawal pengajiannya, Pak Kiai langsung
merespon hal itu:"Kalau Panjenengan
sedoyo naik haji sholat menghadap Ka'bah atau
berebut mencium Hajar Aswad -saya tanya- apakah
yang yang panjenengan sembah itu Ka'bah dan watu
item?"
Tentu saja ummat menjawab:"Bukaaaan!"
Pak Kiai melanjutkan:"Yang Panjenengan
sembah adalah Allah, melalui simbolisasi Ka'bah
dan batu hitam. Kalau nitanya menyembah batu,
dilereng gunung ini ada jutaan batu, silakan bawa
pulang, monggo dipun krikiti....Kalau
kita memakai cara berpikir materialistik, maka
kalau kentut, wudlunya bukan membasuh muka
melainkan dubur. Juga kalau sedherek-sedherek
Pasukan Isro'il tadi memanggul saya, saya yakin,
yang dia panggul bukanlah saya, melainkan
kebenaran Allah. Artinya Panjenengan
boleh menghormati saya hanya sepanjang saya
berada dalam kebenaran Allah. Kalau saya ingkar
terhadap Allah, Panjenengan wajib
menjatuhkan saya, mencampakkan saya, bahkan
membuang saya ke jumbleng....Sebab,
kalau tidak, maka lambat atau cepat, Allah akan
menghancurkan kita bersama-sama."
Salah seorang petani tembakau naik podium dan
mengimbau kepada Pak Kiai:"Pak, tolong Panjenengan
kan deket sama pemerintah diatas sana. Kalau PP
No. 81 diterapkan betul, apa tidak kasihan sama
petani-petani tembakau? Tolong katakan kepada Bu
Mega dan menteri yang mengurusi hal ini."
Pak Kiai bertanya sebelum menjawab:"Para
petani tembakau di daerah wonosobo ini waktu
Pemilu nyoblos apa?"
"PDIP!" Ummat menjawab serentak.
"Tentu PDIP," kata Pak Kiai,
"maka Bu Mega menjadi presiden. Kalau Bu
Mega diganti Bu Mugi, pasti PDIP kalah. Jadi
sekarang pemerintahan kita hakikatnya adalah
pemerintahan PDIP."
Sebenarnya PP No. 81 itu produk pemerintahan
Habibie. Dan, pengurus paguyuban petani tembakau
menyatakan bahwa yang menjadi masalah utama bukan
PP yang itu, melainkan kenyataan tidak kompaknya
para petani tembakau. Tetapi, bukan itu point
yang ingin diungkap oleh Pak Kiai dari pertanyaan
itu sehingga beliau melanjutkan:"Jadi, PP
No. 81 itu merugikan petani tembakau, sedherek-sedherek
?"
"Yaaaaa....."
"Jadi, pemerintah PDIP merugikan
petani-petani PDIP?"
Hadirin tidak menjawab. Sebagian
tolah-toleh,sebagian tersenyum kecut, sebagian
lain tertawa lebar.
"Sekali lagi saya bertanya: Jadi, pemerintah
PDIP merugikan petani PDIP...?"
Tetap tidak ada jawaban. Pak Kiai melanjutkan:
"Siapa saya ini sehingga diamanati soal ini?
Apakah saya wakil rakyat? Apakah saya staf
mentri? Apakah saya keponakannya Bu Mega?
Pak Kiai kemudian menguraikan bahwa kebanyakan
rakyat kita tidak memiliki daya analisis dan
tidak mampu menggunakan logika. Kita ini tidak
tahu apa hubungan antara mencoblos di Pemilu dan
nasib sehari-hari kita. Kita tidak bisa
membedakan antara posisi sebagai warga negara dan
warga parpol. Kita mendukung Gus Dur karena Gus
Dur itu jimat kita. Mega itu jimat
kita. Amien Rais itu jimat kita. Kita
tidak punya pengetahuan sama sekali tentang
hubungan antara proses-proses bernegara dan
manajemen pemerintahan dengan periuk nasi kita
didapur rumah. Pokoknya kalau jimat
disentuh, kita sikaaat !
Kita tidak tahu dan tidak tahu bahwa kita tidak
tahu. Ditambah tidak mau tahu, plus malas untuk
mencari tahu, dan ada bonusnya lagi: gaya kita
ini koyok tau-tauo saja. Kata Imam
Ghazaly, itu jahil murokkab. Rumusnya: fatrukhum.
Tinggalkan orang-orang macam kita ini. Kita ini
pantas ditinggalkan oleh Allah dan oleh para
pemimpin sejati yang sebenarnya kita miliki
diantara kita.
Pak Kiai melanjutkan pertanyaan:" Menurut
tata cara, pertanyaan dan imbauan Panjenengan ini
seharusnya disampaikan melalui wakil-wakil rakyat
di kabupaten ini. Atau, bukankah hari ini PDIP
berulang tahun besar-besaran di Alun-Alun
Wonosobo dengan mengundang Didi Kempot segala? Panjenengan
segeralah kesana, sampaikan keluhan soal nasib
petani tembakau itu!"
Pak Tani menjawab:" Saya tadi dari sana,
tapi hujan sangat-sangat deras sehingga saya lari
kesini......"
Pak Kiai menyahut: "Ya sudah, ndak apa-apa.
Ummat yang kumpul disini kebanyakan juga PDIP
kok. Jadi, itung-itung pengajian kita ini juga
ikut merayakan ultah PDIP...."*** (emha
ainun nadjib, JawaPos )
|