MENU ARTIKEL



Personal Photos

Halaman Utama

Tommy, Tata, Dodi

Di negeri ini sungguh susah menemukan kebenaran. Kita sangka kedele, ternyata tempe. Kita pikir kere, jebul kere banget. Kelihatannya kiai, njekethek nyatanya gali. Kedengarannya berita, lha kok malah bikih kita makin buta.
Kayaknya iman , padahal nafsu. Sepertinya demokrasi solid, padahal culas nomor wahid. Tampaknya hukum, padahal politik. Munculnya seperti kesetiaan, padahal incaran kekuasaan. Paparannya informasi, padahal cuma kepulan asap yang tidak pernah ketahuan sumber apinya. Gegap gempitanya berbunyi reformasi, kenyataannya sistem bunuh diri.
Siapa tidak geram: sebuah pernyataannya Tata mengaku tidak pernah mencintai Tommy, bersumpah tidak pernah bersumpah dengan Tommy, sehingga juga demi Allah tidak pernah punya anak dengan Tommy.

Coba to. Kita lantas harus bagaimana?
Mulai sekarang, sebaiknya hati-hati kalau mendengar kabar apa pun saja. Kalau ada berita ulama digelendeng sersan polisi karena kasus ghasab miliaran rupiah, jangan ditelan begitu saja. Jangan kasih jalan licin kepada upaya-upaya untuk menghancurkan citra kiai dan ulama.
Berabad-abad kita membangun masyarakat muslimin yang salah satu tradisinya adalah takzim kepada ulama. Kita cium punggung tangan mereka. Bahkan, sisa kopinya kita perebutkan dan buangan tulang ayam gorengnya kita emut-emut.
Lha koq
sekarang sekarang seenaknya tradisi peradaban kiai-santri berabad-abad itu mau dihancurkan. Kita harus jaim. Kalau perlu, NU dan Muhammadiyah bikin pernyataan bersama: Nahnu minal jaa-imiin! Jaim itu jaga imej.
Orang lain jangan seenaknya omong. Emangnya kiai itu sejenis gentho atau lentho -makanan yang terbuat dari kedelai- sehingga gampang diplokotho oleh uang. Yang bener aja. Kiai itu zahid, orang yang sudah tidak kepincrut lagi oleh dunia dan segala isinya. Ya dunya ghurri ghoirii laqad thalaqtuka tsalaatsatan! Wahai dunia, kalau kau ingin merayu, carilah orang yang bukan aku, sebab aku telah menceraikanmu talak tiga! Begitu pelajaran Sayyidina Ali bin Abi' Thalib.
Kata para penyair sufi: Dunia sudah habis bagiku. Tak ada yang melezatkanku. Ruang dan waktu hanya menipu. Malam dan siang menjebakku.
Sekarang aku tahu, Engkaulah yang sejati itu...
Kiai itu ciri khasnya lillahi taala. Kekuatan imannya ngedap edapi... Mustahil ada kiai kok kepincut oleh harta benda. Seandainyapun ada ulama yang diumumkan bahwa dia maling, itu pasti semacam acting, yang memang disengaja oleh yang bersangkutan. Tujuannya agar di dunia ini orang menganggapnya buruk, karena dengan demikian di akhirat Allah memuliakan derajatnya.

Ada seorang sufi yang sehari-hari berpakaian necis pakai jas dasi supaya tidak ketahuan bahwa dia sufi. Suatu hari dia bawa tas direktur, mengkilat, masuk mal. Ikut berjejal-jejal naik eskalator. Menjelang sampai di salah satu lantai mal, dia pura-pura terjatuh sehingga tasnya terlempar, terbuka, dan berhamburanlah uang banyak sekali. Semua orang tanpa sadar berebut mengambil lembaran-lembaran uang yang bertaburan itu.
Dan, sang sufi kita berlari ke satpam sambil menangis: Aduh Pak, saya terjatuh, uang saya berhamburan direbut banyak orang. Bagaimana nasib saya ini...
Tapi ketika satpam berlari mengurus kejadian itu-atau mungkin berlari karena ingin juga dapat bagian -Sufi kita menghilang. Dia memang sengaja pura-pura menyesal uangnya hilang, supaya disangka orang biasa, padahal dia sengaja beramal, cuma jangan sampai ketahuan bahwa dia beramal.
Dia tidak mau menjadi pahlawan dermawan yang membagi-bagi uang sambil mengundang wartawan. Dia ingin di bumi ini dianggap buruk, supaya dia termasyhur di langit sebagai kekasih Allah yang mulia.
Jadi, sekali lagi, Anda jangan ikut-ikut mengancurkan citra kiai dan ulama dengan keboduhan mempercayai berita-berita yang belum tentu benar. Bahkan, kalau orang ribut sampai sekarang kenapa Gus Dur menemui Tommy di Hotel Borobudur sehingga dianggap melecehkan harga diri kenegaraan kita -wong presiden kok menemui maling di hotel- apa Anda tidak punya pengetahuan tentang Gus Mik almarhum?
Gus Mik berada di Lamongan ngasih pengajian, tapi pada saat yang sama malam itu beliau berombongan andhok di warung jahe telor Blauran. Di zaman 10 Nopember 1945 Pak Kiai ikut bertempur melawan sekutu di Surabaya sekaligus memimpin istighotsah di Jombang. Ente kayak nggak tahu aje. Berarti yang ketemu Tommy di Hotel Borobudur itu bukan Gus Dur, melainkan seseorang yang lain yang diserupakan oleh Gus Dur.
Kalau Anda benar-benar orang Islam, kenapa heran menjumpai hal semacam itu? Bukankah Nabi Isa AS juga di- selamur -kan sehingga orang menyangka dia disalib? Bukankah tatkala Ismail AS disembelih, yang kena pedang Ibrahim AS adalah kambing?

Hanya saya yang sial, sudah kadhung ketahuan bukan orang baik dalam kenyataan yang memang tidak baik. Sebagaimana banyak orang bilang, terutama di Jogja, saya ini orang bayarannya Pak Harto sejak dulu. Padang Bulan di lima tempat bagaimana bisa berlangsung sampai hampir sembilan tahun kalau tidak disupport biaya oleh Pak Harto.
Bersama Novia dan anak-anak kami tinggal di kompleks Cendana, sehingga kalau dijogja orang ketemu saya selalu bertanya,"Sedang apa di Jogja, Mas? Lagi ada shootiing ya Mbak Via?" Ketemu 10 orang, 9 orang tanya begitu di Jogja.
Sekarang ini sedang koyok bedhes ketulup kethap-kethip menunggu-nunggu didatangi polisi untuk ditangkap. Sebabnya jelas, saya kroninya Soeharto, orangnya Cendana. Saya, Kiai Kanjeng dll. terima uang dari Pak Harto, terkadang dari Tutut dan Tommy. Belum lagi yang dari Bambang Tri Hatmojo, Moerdiono, Harmoko, dll. Saya dikenal sebagai orang yang sejak zaman Orba dulu mbebek dan disogok oleh penguasa.
Itu sebabnya, saya tidak laku di media massa. Orang tahu kok saya bisa bikin kegiatan macam-macam rutin di banyak tempat, bikin gedung-gedung sekolahan, usaha penerbit dan percetakan, bikin studio musik, bisa punya rumah, mobil macem-macem, menyekolahkan anak ke Canada, dll. Kalau bukan uang dari Soeharto, mana mungkin bisa. Mustahil uang pribadi.
Tapi saya tidak takut sama polisi atau kejaksaan. Sudah kepalang jadi maling dan pengemis. Saya siap di- cross interogasi dengan Tomy Koeswoyo, dengan Chintomy Atmanegara, ataupun dengan "Tomiiii sayaaaaa bundaaaar..."
Juga karena setidaknya saya punya Dodi. Dia broker yang andal. Jangan dipelesetkan, yang saya maksud bukan Dodi Dores, Dodi Lotion, atau Dodiguard. Ini Dodi beneran, salah seorang sahabat sejati saya. Saya sedang mengontak dia terus untuk siap-siap menghadapi perkara. Susahnya dia jauh di Ametika Serikat. Namanya Dodi Kuskrido, anak Batu Malang menantunya Arief Budiman. Kalau mentok, nanti saya tinggal telepon Cendana untuk minta tiket ke Amerika.
Meskipun saya ini kroninya Soeharto, saya seorang pemberani seperti Wiranto dan bukan pengecut seperti Akbar Tandjung. Di awal reformasi Wiranto menolak dipanggil Soeharto. Dia menjawab, "Wong nama saya Wiranto kok dipanggil Soeharto." Beda sama Akbar, jelas namanya Akbar Tandjung kok mau dipanggil Kejagung. Wong Kartolo saja ndak mau dipanggil Basman!
Setidaknya saya akan datangi Tata meskipun dia bukan istrinya Tommy. Soalnya bernama Tata Dado.***