MENU ARTIKEL



Personal Photos

Halaman Utama

BANJIR PENUH MAKNA

TIDAK tahu bagaimana di tempat-tempat lain yang kebanjiran. Tetapi, Jakarta, khususnya, menunjukkan daya kreativitas sejarah yang sangat lumayan ketika dan sesudah banjir melanda sebagian penduduknya Orang berjalan kaki tersandung kerikil atau terkena duri saja bisa menggali makna dan nilai dari kerikil dan duri. Orang yang ditimpa sakit bisa memperoleh ilmu dan berkah dari sakitnya. Orang yang hidupnya menderita bisa menggaii kekayaan batin yang tidak bisa didapatkan oleh orang yang kaya dan tidak pernah mengalami penderitaan yang sama.
Orang yang kecopetan belajar dari pengalaman dicopet. Orang yang perusahaannya bangkrut, rumahnya terbakar, atau jenis siksaan dan derita apa pun dalam hidup manusia, membuat orang yang mengalaminya berjumpa dengan pintu ilmu, hikmah, dan kearifan hidup.
Apalagi, pengalaman banjirnya Jakarta.
Dari sudut kemanusiaan dan budaya, penduduk Jakarta yang kebanjiran menjadi menemukan kembali kemanusiaannya.
Tumbuh kembali rasa sosialnya. Muncul kepekaan mereka untuk bekerja sama, berbagi, saling menyayangi, saling berempati. Orang-orang Jakarta yang rumahnya dilindas dan diludaskan oleh serbuan air, yang tercecer-cecer mengungsi sampai ke wilayah-wilayah bawah jalan tol, yang terancam kelaparan dan diserbu penyakit -bagaikan anak-anak sekolah yang mempelajari kembali makna kasih sayang dan hakikat hidup bersama.
Dari sudut etika birokrasi dan politik, di kedalaman lubuk hati Gubernur Sutiyoso muncul kepekaan, rasa pekewuh, dan kesadaran untuk meletakkan jabatan. Bahkan, terpikir olehnya untuk menjual rumahnya yang mewah untuk membiayai pembuatan kemungkinan permukiman-permukiman baru bagi rakyatnya yang menderita dan dikasihinya. Kalau perlu, simpanan uangnya di bank diambil sebagian besar agar pengadaan rumah-rumah penampungan itu lebih memadai.
Serta bermacam-macam kecamuk pikiran lagi. Pergolakan batin itu membuatnya bergelora, bagai dihangatkan oleh api daya juang dan semangat patriotisme yang menemukan bentuk yang lebih konkret. Sedemikian rupa sehingga akhirnya dia terbakar betul. Lama-lama merasa kesakitan oleh itu semua, dan sebagai manusia biasa yang punya kelemahan-kelemahan dalam kepribadiannya, akhirnya Sutiyoso mengadakan perlawanan semampu-mampunya atas segala gejolak pikirannya itu.
Namanya juga gubernur. Banyak bawahan, kolega, dan teman-temannya. Maka perlawanan yang dia lakukan terhadap gejolak batinnya sendiri itu dibantu oleh para koleganya. Itulah sebabnya, sampai hari ini Sutiyoso berhasil menggagalkan dirinya dari gagasan untuk berhenti dari jabatan sebagai gubernur.
Presiden Megawati tak kalah hebat proses belajarnya. Dia secara cerdas dan berpikiran akurat mengumpulkan semua kalangan ahli yang berkaitan dengan tata perkotaari, ahli peta tanah, ahli ekologi, ahli sungai, ahli hujan, ahli banjir, ahli daur ulang sampah, ahli istighotsah penolak banjir, dan segala macam ahli, termasuk pawang-pawang dan dukun-dukun yang diajak mendiskusikan secara komprehensif tema "Menuju Jakarta tanpa Banjir".
Bahkan, diam-diam Megawati sendiri berpikir akan melakukan perombakan eksistensial terhadap yang namanya Jakarta dan ibu kota. Megawati melakukan tafakur alias perenungan yang mendalam. Bahkan, disempatkan shalat istikharah berkali-kali, wiridan, dan bersujud berjam-jam untuk memohon petunjuk Ilahi. Putri Bung Karno ini berniat membuat monumen besar sejarah Indonesia, sebagaimana yang dulu sering dilakukan bapak mendiangnya.
Megawati ingin memecah Jakarta. Atau, tepatnya merekonstruksi kedudukan dan fungsi Jakarta. Berkat kerajinannya membaca, Megawati berpikir bahwa ibu kota politik tidak harus satu wilayah geografis dengan ibu kota ekonomi. Kalau perlu, diperluas dengan meneguhkan adanya ibu kota kebudayaan. Jakarta dibiarkan menjadi ibu kota ekonomi. Kota Sampit atau Grobogan akan dijadikan ibu kota kebudayaan. Yang perlu dirundingkan, disimposiumkan, diseminarkan, dan di-bahtsul-masail-kan adalah mana baiknya ibu kota politik Republik Indonesia.
Mungkin Blitar saja. Konkret. Di situlah kelahiran dan kuburan proklamator kita. Mega akan berkantor di Blitar, juga kementerian-kementerian. Blitar harus dijadikan pusat kendali republik. Kalau presidennya suatu saat kebingungan, bisa langsung ziarah ke kuburan Bung Kamo dan berkonsultasi.
Apalagi, menurut seorang paranormal yang menemui saya kemarin malam, banjir Jakarta itu memang kiriman dari Blitar. Maksudnya tentu tidak secara teknis logis, melainkan secara rekayasa batin. Ini sama sekali tidak mengherankan. Bangsa Indonesia adalah bangsa besar. Jangankan sekadar memindah kan hujan, membikin sesuatu yang ada menjadi tidak ada saja sanggup.
Sedangkan semangat reformasi yang menggebu-gebu selama 45 tahun ini bisa meletakkan tokoh seperti Soeharto, Harmoko, Ginandjar, dan ratusan bahkan ribuan tokoh Orde Baru lainnya sebagai warga negara yang aman-aman saja, tidak disentuh oleh pasal hukum apa pun, sampai sekarang.
Mengirim banjir dari Blitar ke Jakarta, hanyalah pekerjaan seringan petinju melontarkan jab atau seorang penggembala membunyikan cambuk. Apalagi, kata paranormal saya itu, Mbah Ratu Kidul sendiri yang memerintahkan.
"Para pemimpin bangsa ini tetap saja meninggalkan kepentingan dasar rakyatnya," demikian katanya kepada saya, "maka seharusnya akhir Januari dan awal Februari ini jadwalnya adalah banjir darah. Tapi, karena Mbah Ratu Kidul masib bermurah hati kepada kita, kali ini boleh diganti cukup dengan banjir air, tapi harus Jakarta yang paling terkena. Jangan lupa, itu pun kemurahan Mbah Ratu, masih ditambah,dengan menyediakan biaya pertolongan untuk korban banjir. lni, sebentar lagi saya harus berangkat ke Jawa Timur untuk mengirim makanan dan obat-obatan yang omzetnya ratusan juta rupiah..."
"Lantas terusnya bagaimana, Mbah?" saya bertanya.
"Sekarang ini hujan kita hentikan sementara," jawab beliau,
"tapi kalau perilaku elite politik kita tetap saja seperti sekarang, tidak lama lagi Mbah Ratu Kidul akan meminta darah rakyat......
Lho! - Saya kaget. Yang ngaco elite politik kok yang ditagih darahnya adalah rakyat. Itu tidak logis dan sama sekali tidak adil. Tapi, sebelum saya memprotes, paranormal saya itu beranjak dan pamit sambil mendekatkan mulutnya ke telinga saya dan herbisik: "Punya 100 ribu rupiah untuk sangu ke Jawa Timur, Dik .... ?"
Bukan main. Banjir ini sungguh penuh makna. Sesudah dia saya kasih uang, giliran berikutnya adalah teman lain yang mengajak saya berdiskusi tentang Partai Demokrasi Kebangsaan yang mungkin akan didirikan oleh Mas Bambang Susito.
Lantas giliran berikutnya Partai Pemersatu Bangsa yang mungkin akan lahir dari komunitas Darul Arqam...***.(emha ainun nadjib, JawaPos)