Di Kantor Kaum Sudra
Di
kantor(-kantoran) HAMAS (Himpunan
Masyarakat Sudra), saya sedang menulis catatan :
".... Yuswane (usia) Kanjeng Nabi
Muhammad iku suwidak (60) tahun, punjul
tigang (plus 3) tahun. Hidup 10 th di
Madinah, 53 th di Mekah. Wafat siang-siang hari
Senin 8 Juni 632 M. Hari itu juga dimandikan dan
dikafani oleh keluarga beliau, Bani Hasyim.
Tengah malam menjelang Rabu dimakamkan oleh
keluarga yang memandikannya: Abbas, Ali, Fadhl,
Shalih, Qutsam - m ungkin juga hadir Usamah bin
Zaid. Bu Aisyah yang malam itu nginap di rumah
Hafshah, berkata: "Kami tidak mengetahui
penguburan Rasul sampai kami mendengar
suara-suara gesekan di tengah malam
Rabu...."
Tiba-tiba telpon berdering. Tidak pakai ba-bi-bu,
begitu tahu saya yang menerima, langsung si
penelpon langsung bercerita : "Cak, saya
blai slamet. Saya naik motor, dicegat beberapa
orang bawa pedang, ditanya "Abang po
ijo?!". Untung jawaban saya sesuai
dengan warna pencegat saya. Kalau terbalik, saya
sudah mati. Jadi kalau yang nyegat ijo, jawablah
ijo. Kalau yang nyegat merah, jawablah merah.
Kalau tidak tahu, tanya dulu kepada para
pencegat: "Njenengan niki abang nopo
ijo? Menawi nJenengan ijo, kulo nggih ijo. Menawi
nJengengan abang, kulo nggih abang....Gitu
aja".
Allohu Akbar. Memang mestinya di Jogja terjadi
kerusuhan sosial beberapa waktu yang lalu.
Mestinya ada perang brubuh, ribuan pasukan sudah
siap memusat dari berbagai penjuru. Tapi
alhamdulillah tidak jadi. Mereka yang mobilnya
dibakar, rumah-rumahnya d iserbu, yang mati -
akhirnya diberi hidayah Allah untuk tidak
membalas dendam, justru di tengah pasukannya yang
sudah menyatakan siap perang.
Sekarang adalah saat-saat kaum preman diadu satu
sama lain. Di Jakarta teman-teman Madura harap
berhati-hati, sobat-sobat dari Medan, Bugis,
Betawi dll. harap mendinginkan hati dan
memelihara kejernihan pikirannya untuk tidak
gampang kena "yuwaswisu fi
shudurinnas".
Semua itu menuju kemungkinan deMegaisasi
sekitar Agustus nanti. Yang di Jogja itu. Untuk
itu harus dilakukan delegitimasi pemerintahan
Mega. Kalau yang di Jogja itu sukses maka
khalayak bisa dibikin berpikir "Wah, anak
buahnya Presiden pedang-pedangan musuh anak
buahnya Wapres..". Lantas tinggal meneruskan
destabilisasi di satu dua darah lain, dan
puncaknya nanti Jakarta.
Tapi kalau ternyata sulutan di Jogja itu agak
gagal, daerah lain tetap harus menyusun pagar -
pagar bersama minimal selama beberapa bulan ke
depan. Silahkan berdebat apakah yang baik itu
Megawati terus atau berhenti, dan kita tetap
boleh berbeda pendapat. Yang mutlak harus
disepakati adalah bahwa kita tidak menjalankan
pemikiran apapun melalui anarkisme dan
kriminalitas, yang hanya akan memamerkan kepada
dunia kebodohan kolektif kita dengan cara
memenggal kepala saudara-saudara kita sendiri
sesama rakyat.
Proses pembusukan sosial mungkin memang kita
butuhkan bersama, agar sesudah kita semua jadi
sampah - akan berkembang menjadi rabuk sejarah.
Tapi jangan mau berkeringat kecuali untuk mencari
nafkah halal bagi anak istri serta untuk
memperjuangkan kebenaran yang benar - benar kita
pahami sebagai kebenaran. Adapun yang perang biar
yang di atas saja. Kita yang di bawah mestinya
keplok-keplok saja. Biarkan Akbar Tanjung dan
Golkar mengamuk mempertahankan diri dan ofensif
di sayap sapit urangnya, asalkan wong cilik
Golkar jangan mau dibodohi untuk mengorbankan
nyawa buat bendoro-bendoronya.
Wong cilik bersatu dong. Ya NU ya Muhammadiyah ya
PPP ya PKB ya PBB ya PDIP ya apapun saja. Kalau
makmumnya dewasa dan tegas, siapapun Imamnya akan
patuh menjalankan nilai amanatnya. Kalau kita
makmum-makmum ini pathing blangkrah
seperti sekarang, biar Imamnya setengah Wali juga
akan hancur di tengah jalan.
Kalau ada yang bilang Gus Dur sedang bengkerengan
dengan Pak Hasyim, bahkan juga dengan Gus Iim,
Gus Wahid, Saiful dll. cobalah berhusnudh-dhon
bahwa itu taktik untuk supaya mereka disangka
lemah. Kan nggak mungkin Ulama-ulama kita
bertengkar. Namanya juga ulama. Kan mustahil
pemimpin-pemimpin kita bermusuhan satu sama lain
- sebab mereka adalah manusia berwatak pemimpin,
bukan bermental penguasa.
***
Sudahlah,
saya mau meneruskan catatan. Tapi tiba-tiba ada
menelpon lagi dan bertanya : "Siapa presiden
Indonesia sesudah Megawati?". Seolah-olah
saya ini staf khususnya Allah swt, yang tahu
persis apa yang akan terjadi.
Maka saya mengelak dan membawanya ke pembicaraan
yang merelatifkan tema pertanyaannya. "Saya
berharap presiden yang mendatang ini bukan
pilihan rakyat, sebab rakyat kita ini sedang
berada di puncak ketidakmampuan untuk memilih.
Kita ini sedang pekok-pekoknya sekarang. Kita
tidak mampu membedakan yang baik dengan yang
buruk. Kita nggak tahu mana uang halal mana uang
haram. Kita anggap nyanyi dan selawatan itu sama
saja. Kita tidak ngerti mana tokoh mana bukan.
Siapa yang perlu dibanggakan dan siapa yang
sebenarnya membuat kita merasa malu dan jijik
sendiri. Mana positif mana negatif. Milih
konsumsi sehari-hari saja kacau kriteria dan
pertimbangannya. Kita tidak paham mana Tuhan mana
tuhan dan mana tuhan-tuhanan. Bahkan kitai ini
sudah bebal sedemikian rupa sehingga tidak peka
lagi mana sungguhan mana pura-pura, mana yang
serius mana bombongan, mana rahmat mana istidroj.
Kapan dipuji kapan di-lulu....."
Pembicaraan kami jadi panjang lebar.
"Kalau saya bilang wah kamu hebat betul, dia
percaya bahwa dia hebat betul. Kalau Nabi
Muhammad mengatakan "maksiatku lebih banyak
dari ibadahku", orang percaya bahwa Nabi
Muhammad itu lebih banyak berbuat maksiat
dibanding beribadah. Kalau saya bilang mbok saya
diikutkan jadi figuran Ketoprak Humor, orang
percaya bahwa saya benar-benar ngiler jadi
figuran. Kalau saya bilang saya ini kafir, orang
yakin saya ini kafir. Kalau saya tulis saya ini
kroninya Suharto, orang menyimpulkan saya ini
kroninya Suharto. Orang tidak paham lagi
sindiran, sanepo, sinisme, sarkasme..."
"Kita ini bangsa yang sudah aus otaknya.
Kita tidak mampu melakukan identifikasi
intelektual mana kesombongan, mana kerendahan
hati, mana kebaikan mana kekufuran. Bahkan ada
seorang Lurah yang sekarang berangkat naik haji
dan ditunggu penduduk desanya untuk diadil i ,
gara-gara uang naik hajinya adalah jatah sembako
orang sedesa yang dijual. Ini lurah yang
sepekok-pekoknya lurah. Uang korupsi kok untuk
naik haji. Mestinya ia pakai untuk kawin lagi,
membikinkan rumah untuk gundiknya, atau paling
tidak untuk melacur, berfoya-foya atau apa saja
yang menyenangkan. Kufur kok tanggung-tanggung.
Dia pikir kalau uang sembako rakyat dipakai naik
haji, maka pahala hajinya bisa menutupi dosa
korupsinya. Beginilah bangsa kita. Mau kafir ndak
berani, mau Islam setengah-setengah. Mending
iblis, jantan dengan kekufurannya, dibanding kita
yang munafik. Munafik itu sepuluh kali lipat
lebih bahaya dari kafir. Iblis jujur berkata
bahwa ia takut kepada Allah, sementara beribu
perilaku kita sangat sedikit mencerminkan bahwa
kita takut kepa daNya"
"Jadi meskipun rakyat Indonesia memilih
presiden lagi sesudah Megawati, belum tentu akan
mengatasi keadaan."
"Jadi gimana dong Cak?"
"Saya berdoa mudah-mudahan nanti Allah yang
memilih, meskipun ndak apa-apa kemudian rakyat
yang melantik"
"Apa alasan Allah memilihkan pemimpin bagi
bangsa Indonesia yang kondisinya seperti
itu?"
"Justru kami ini berada di puncak kelemahan.
Bodoh itu bisa menghasilkan kejahatan, tetapi
yang utama bodoh adalah kelemahan. Dan mustahil
Allah tidak menolong hambaNya yang lemah. Innama
tunshoruna wa turhamuna wa turzaquna
bidlu'afaikum. Sesungguhnya Allah akan
merahmati, memberi kemenangan dan rejeki masa
depan bagi bangsa Indonesia, tidak karena Allah
memandang orang-orang besar dan kaum elite,
melainkan karena Allah sayang kepada orang-orang
lemah..."
***
Tiba-tiba ada
tamu utusan dari rumah saya. "Ibu dari tadi
telpon, sibuk terus", katanya, "Hari
ini harus bayar kredit pinjaman di BPR, tapi
alhamdulillah Mas Fikri dan Mas Imam sudah
berhasil disuruh menggadaikan kalungnya
Ibu......"*****
|