SERIBUGATE
BANGSA Indonesia
bersyukur bukan main karena sejak reformasi
digulirkan pada awal 1998, hari demi hari kita
semakin memperoleh kehidupan bernegara yang sehat
walafiat. Rakyat semakin pinter dan
tidak gampang diakali.
Masyarakat semakin dewasa dan canggih dalam
memilih segala sesuatu dalam kehidupan mereka.
Lembaga-lembaga kenegaraan semakin cling,kokoh,
dan clean. Eksekutifnya ampuh-ampuh. Mereka
putra-putri terbaik yang dilahirkan oleh bangsa
besar ini . Orang-orang pilihan dan segi
intelektualitas, mentalitas, dan spiritualitas,
juga jangan lupa profesionalitas. Bayangkan,
presidennya saja Megawati Soekarnoputri.
Wakil-wakil rakyatnya jujur-jujur sejak dari yang
tingkat II sampai pusat, hidup mereka sangat
sederhana karena penuh rasa tasammuh
kepada rakyat yang diwakilinya, sangat peka
terhadap halal haramnya uang yang mereka terima.
Mereka kritis dan penuh kontrol positif terhadap
eksekutif, dan pada saat yang samaa sangat akrab,
apresiatif, dan santun kepada rakyat yang
diwakilinya.
Pelaku-pelaku penegakan hukumnyajuga semakin istiqamah,
sampai susah kita menemukan kata-kata untuk
menggambar kannya. Belum lagi pioner-pioner
demokrasi dari kalangan intelektual Yang semakin
hari semakin menggulirkan harapan kepada
bangsanya. jangan pula mencoba menghitung peran
sangat besar lembaga-lembagainfornasi yang sangat
memperluas wawasan kebangsaan dan mondialisme,
mendororng kecerdasan dari hari ke hari,
membangun kebudayaan dan watak mosyarakat modern,
namun tetap adiluhun.
Pokoknya, makin sering membaca koran makin cerah
pikiran kita, makin kritis, makin meningkat daya
analitik mesin otak kita makin mengerti dan
konsisten terhadap kebenaran dan keadilan.
Sebab, di setiap kolom kita dapatkan uswatun
hasanah atau teladan-teladan tentang,
kecemerlangan sejarah semacam itu. Juga makin
banyak nonton teve makin bermutu budaya hidup
kita, makin positif perilaku kita, makin
meningkat moralitas kita, makin kreatif-dinamis
perilaku kita.
Kalau menonton adegan-adegan para wakil rakyat di
Senayan, rasanya berkibar-kibar semangat hidup
kita, Menyaksikan pejabat-pejabat pidato, hilang
keputusasaan kita. Bahkan, sekilas saja memandang
wajah Bu Mega, slemmmm tentremmm hati
ini rasanya.
Maka, lambat atau cepat Pansus Buloggate 11 akan
pasti terbentuk juga. Kalau diurut-urut sejak
zaman awal Orde Baru, bisa jadi, akan ada Pansus
Buloggate sampai ke-20 atau lebih. Belum
lembaga-lembaga duit yang lainnya. Sampai nanti
puncaknya Soeharto akan benar-benar diadili,
apalagi kalau kita menghadiri pengadilan Tommy ia
tampak sehat-sehat saja.
Karena atas semua kekacauan ini, Soeharto-lah
yang salah. Kalaupun tadi malam saya mbegal orang
dituwangan jalan, itu gara-gara Soeharto kalau
mau diurut-urut asal-usulnya. Saya sendiri sudah
kewalahan dan ogah-ogahan kalau menghitung berapa
banyaknya kasus korupsi, berapa banyak jenisnya,
modus operandinya, tekniknya, kelicinannya,
kentara dan tidak kentaranya, dan seterusnya,
sampai-sampai saya sendiri harus siap-siap untuk
suatu hari kena jaringan gate - gate gitu itu.
Kalau kasus-kasus yang diurus masih di wilayah
formal, mungkin saya masih selamat. Tapi kalau
rambahan tangan hukum di negeri ini nanti sanggup
menjangkau daerah-daerah korupsi non formal namun
tetap inklusif secara struktural, maka saya
termasuk orang yang sukar menyelamatkan diri.
Hari-hari ini orang meributkan Akbar Tanjung,
padahal saya pernah punya kedekatan dengan mantan
tokoh HMI ini. Bahkan, saya pernah disuguhi
sesuatu olehnya. Diantar oleh Yusron, adik saya,
pernah saya menemui Akbar di Kantor Pusat Golkar,
untuk memaparkan situasi lapangan dan memberikan
saran agar Golkar tidak usah memaksakan Pak
Habibie jadi presiden lagi. Saya usulkan biarkan
orang tua kita sesepuh kita KH. Abdurahman Wahid
yang menjadi presiden supaya bangsa kita tidak
bentrok.
Saya bilang, " Kalau yang jadi hijau, nanti
yang merah marah. Kalau yang naik merah, nanti
yang hijau ngamuk. Biarlah orang
Jom-Bang saja, ijo-abang saja. Harus Gus Dur yang
pegang setir negara ini meskipun ada PR berupa
pertanyaan apakah Gus Dur bisa nyopir atau
tidak..."
Akbar menerima dan sorenya dia sowan ke Ciganjur.
Malam itu juga saya malah bertemu dengan Pak
Harto dan membicarakan hal .yang sama. Pak Harto
kurang srek sama Gus Dur, tapi toh
tak bisa mengelak. Teman-teman wartawan sebuah
majalah "G" yang ketemu saya di rumah
Pak Harto saya kasih tahu bahwa sudah jelas kita
akan punya presiden baru. Namanya sudah di saku,
cuma saya tidak sebut kepada mereka.
Anda pikir untuk dua pertemuan itu saya tidak
mendapatkan uang? Anda menyalahi tradisi budaya
bangsa kalau berpikir seperti itu. Sebagaimana
Anda pikir selama hampir 10 tahun saya bisa
menyelenggarakan acara-acara massal seperti
Padang Bulan, Mocopat Syafaat, Haflah Shalawat,
dan lain-lain, termasuk yang keliling-keliling
terus-menerus dengan Kiai Kanjeng atau sendirian-
itu semua apa bisa terlaksana kalau saya tidak
mendapatkan limpahan uang dari entah Soeharto
atau anak-anaknya, dari pengusaha-pengusaha
Golkar, dari sejumlah konglomerat? Emangnya,
bagaimana mungkin kami jamaah maiyah Padang Bulan
Kiai Kanjeng dan lain-lain yang tidak punya
pekerjaan tetap dan tidak punya akses pasar itu
bisa survive, bahkan nafkah lancar-
kalau tidak mendapat cipratan uang korupsi?
Anda pasti punya kecerdasan khas budaya Indonesia
untuk membayangkan bahwa mobil yang saya tumpangi
tiap hari, kendaraan Kiai Kanjeng, jalan aspal
hotmix Padang Bulan, kompleks pendidikan dan
usaha Zaituna, dan lain-lain mustahil bisa
dibangun oleh para penganggur.
Jadi, pasti karena mendapat suntikan dana dari
luar. Kalau Cendana absen, pasti dari lembaga
dana luar negeri, atau siapa tahu dari Gerakan
Yahudi Internasional. Yang pasti, saya punya PT
"DM" dari Mbak Tutut dan PT
"CS" dari Tommy. Yang dari Bambang Tri
dan Prabowo, yang dulu ke Padang Bulan di tengah
ramai-rama inya reformasi, nanti kapan-kapan akan
saya jelaskan.
Tapi, lha kok di zaman Orde Baru saya
sangat vokal mengkritik Orba, bahkan tanggal 11
April 1998 menyebarkan "Selebaran Terang
Benderang" yang berbunyi Soeharto Harus
Turun dan TNI Harus Berpihak kepada Rakyat?
Anda jangan gampang dibodohi oleh taktik tikus
klasik seperti itu. Semua orang yang punya akal
mengerti bahwa itu adalah kamuflase untuk
menutupi hubungan saya yang sebenarnya dengan
Soeharto dan rezim Orde Baru. Oleh karena itu,
mau tidak mau, saya harus menyiapkan diri untuk
dilindas oleh arus informasi sekarang ini, saya
harus dibuang oleh berkibar-kibarnya demokrasi
hari-hari ini, oleh cemerlangnya kejujuran
kenegaraan dan kemasyarakatan yang berlangsung
detik demi detik ini.*****
|