MENU ARTIKEL



Personal Photos

Halaman Utama

SERANGAN BALIK GOLKAR

Kalau Anda orang Golkar, pasti hati Anda tidak terima dan tidak tega menyaksikan pimpinan Anda duduk di kursi terdakwa untuk tuduhan yang sangat memalukan. Kasus Cuma segitu milyar apa-lah, dibanding trilyunan uang rakyat yang diuapkan oleh bahkan bukan warga murni negara kita sendiri tapi kemudian diputihkan.
Anda tentu juga punya setumpuk argumentasi untuk mempertahankan eksistensi Golkar secara keseluruhan, baik melalui wacana formal politik dan hukum hingga konsep-konsep keagamaan - misalnya Anda bilang "Kan Golkar juga berhak untuk berhusnul khatimah…."
Mungkin Golkar sedang mengalami semacam kepanikan kolektif. Tetapi saya yakin menjelang sidang pertama pengadilan Akbarpun Anda sebagai pengurus Golkar mesti sudah mengadakan rapat-rapat pembelaan atau pertahanan Golkar. Mungkin Anda perlu mereformasi tim hukum Anda, apalagi kalau ternyata ada yang malah diam-diam bermain untuk konsep salah seorang sesepuh musuh Anda, PDIP umpamanya.
Anda mengambil keputusan semua kader Golkar jangan bicara, tutup mulut saja, kecuali sejumlah jubir yang ditugasi untuk itu. Yang lain siap-siap saja dengan doa dan pedang politik untuk sewaktu-waktu diangkat kalau komando sudah diteriakkan melalui frekwensi khusus jaringan Golkar. Pandanglah dengan seksama warna mimik dan gerak bibir - misalnya - Pak Aulia Rahman, Siburian dll.
Berbagai pusat jaringan Golkar di berbagai segmen dan semua level harus "on" terus menerus, tapi di depan orang lain jangan tampakkan gelagat apa-apa. Sediakan juga pembiayaan untuk menggerakkan berbagai partner jaringan di luar Golkar yang memiliki muara nasib yang sama dengan Golkar atau sekurang-kurangnya sedang punya kepentingan yang sama pada momentum ini.
Yang juga sangat-sangat penting adalah merintis, memperdetail dan mematangkan koalisi-koalisi strategis dengan organisasi TNI. Termasuk harus banyak belajar dari jurus-jurus matang kependekaran tentara nasional itu. Beberapa bulan ini segala sesuatunya harus intensif, waspada dan cool - sampai tiba saatnya nanti, kalau bisa antara Juni s/d Agustus 2002 : pukulan balik dilakukan sebaik-baiknya.
Golkar terancam akan benar-benar terkubur. Nasi sudah menjadi bubur. Masalahnya sekarang harus mampu mengupayakan jualan bubur ayam komplit yang bagaimana bisa lebih laku dari nasi goreng nasi rawon atau berbagai jualan nasi reformasi dewasa ini.
Saya juga heran kenapa tidak dulu-dulu kaum reformis membubarkan Golkar. Pernah saya ceritakan ketika Edy Sudrajat saingan sama Akbar Tanjung untuk jadi ketua Golkar, saya disuruh ikut berpendapat siapa yang sebaiknya jadi. Saya menjawab, di depan puluhan ribu khalayah di Pesantren Al-Asy'ari Bojonegoro tahun 1999 : Saya memilih yang ketiga, yaitu Golkar bubar.
Golkar sendiri mestinya membubarkan diri dulu-dulu. Tapi sebelumnya melakukan konsolidasi internal: "Kita bubar, tapi sudah kami siapkan partai baru yang tak ada bau Orba, dan kita semua akan ngumpul lagi di sana. Tinggal bagaimana parfum dan polesan di wajah parpol baru itu kita atur".
Tapi toh Golkar sudah ikut Pemilu, masih raksasa dan ikut menaikkan Gus Dur jadi presiden. Kaum reformis nggak pernah jelas sikapnya. Kalau memang sudah jadi pahlawan, kenapa tanggung-tanggung: pada minggu ketiga Mei 1998 itu mestinya paket sejarah kita adalah Suharto turun, MPR/DPR bubar, Golkar dikubur, tangkapi semua penindas dan koruptor. Tapi nyatanya tenang-tenang saja. Malah sekarang junior Orba yang diadili: Akbar Tanjung. Lha Harmoko, Ginanjar dll itu bagaimana?
Ternyata karena semua ingin punya kesempatan seperti Suharto, Golkar dan Orba. Kita membenci Suharto bukan karena kita pahlawan kebenaran, melainkan karena dengki kenapa bukan saya yang punya kekuasaan dan uang seperti Pak Harto. Minggu kedua April 1998 saya menyebarkan selebaran "Suharto Harus Turun", tak ada satupun koran memuat - dan baru sekarang saya sadar bahwa waktu itu korannya Koran Orde Baru semua. Seandainya korannya koran reformasi seperti sekarang, tentu lain.
Ketika bersama Cak Nurkhalish Madjid saya ngoret-oret konsep Komite Reformasi untuk menjadi MPRS Mei 1998 itu, dengan 45 anggota yang mayoritas reformis dipimpin Gus Dur dan Megawati - ada tiga nama yang ditolak: Suharto, Wiranto dan Akbar Tanjung.
Saya pikir itu karena reformasi benar-benar ingin membersihkan diri dari segala bau Orba, ternyata tidak. Yang terjadi adalah haus giliran berkuasa dan mengeruk uang. Kebanyakan koruptor tetap aman dan rajin naik haji sampai sekarang. Akbar kena sial, padahal - maaf - hidung beliau dikenal sebagai hidung hoki. Bukan korupsinya itu letak soalnya, karena yang disidangkan itu kasus teru. Hanya saja Akbar ketiban cicak. Mudah-mudahan nanti banyak yang ketiban tekek (tokek).****