Kang Karto dan Daeng Kahar
Bagaimana
seandainya tanggal 19 Mei 1998 pagi itu Jakarta
menjadi jamur api raksasa? Umpamanya di 16 pom
bensin di titik-titik strategis Jakarta dipasangi
bom yang akan diledakkan atau tidak tergantung
kepada gejala perilaku Pak Harto di Istana, yang
sedang berunding dengan sembilan orang, antara
lain Nurkhalis Madjid, Yusril, Gus Dur dan
tokoh-tokoh lain yang diminta Pak Harto untuk
hadir atas kesepakatan dengan Cak Nur.
Bagaimana kalau berbagai titik tertentu pada
posisi jalan tol juga sudah dipasangi bom. Belum
lagi umpamanya gedung Graha Purna Yudha yang
peletakan bomnya diperhitungkan sedemikian rupa
sehingga begitu ia roboh maka jalan Gatot Subroto
akan terpotong dan mungkin gedung Polda Metro
Jaya tertimpa. Bagaimana kalau umpamanya sekitar
6 kg supersalatin dijadikan bahan dasar untuk
penyebaran sumber api dan ledakan itu, umpamanya?
Seandainya pagi hari 19 Mei 1998 pukul 10.00 pagi
itu terjadi komposisi ledakan di Jakarta, tentu
kasihan banyak orang yang menjadi korban, semua
simpul kekuatan ibukota - politik, ekonomi, apa
saja - menjadi lumpuh. Dan satu-satunya yang
memiliki kekuatan dan maintenance untuk
berkuasa adalah organisasi tentara.
Mungkin hari ini Republik Indonesia tidak
berwajah seperti yang sekarang kita alami
bersama. Reformasi pasti gagal dan kita tentu
tidak bisa sebahagia seperti ketika
alhamduluillah kita lantas dipresideni oleh
Habibie, tidak bisa senikmat ketika dipresideni
oleh Gus Dur, serta tidak semakmur dan seadil
sebagaimana ketika sekarang kita dipresideni oleh
Mbak Mega.
Saking senangnya saya pada kepemimpinan reformasi
ini sehingga seandainya dulu saya dimintai oleh
Gus Dur duit 6 trulyun dan sekarang oleh Mbak
Mega uang sebesar 30 trilyunpun - untuk
memungkinkan beliau tetap berkuasa - tentu saya
akan usahakan meskipun pasti saya tidak mampu.
***
Kita kembali ke 19 Mei 1998. Jendral Hartono
sekilas ikut menemui sembilan orang itu. Wiranto
berwajah sangat tegang. Prabowo mondar-mandir tak
menentu - menurut saya - tapi mungkin sangat
tertentu menurut Prabowo sendiri.
Bagi siapapun dan bagi pihak manapun, sipil atau
militer - tidak jelas apa yang mungkin terjadi
sesudah pertemuan Pak Harto untuk merundingkan
kelengserannya itu. Apakah akan ada ledakan lagi
seperti tanggl 12, 13, 14 dan 15 Mei sebelumnya?
Kekuasaan Pak Harto itu mutlak dan tidak
seorangpun manusia Indonesia, termasuk
jendral-jendral, yang waktu itu sanggup
memikirkan atau membayangkan bahwa Indonesia ini
akan berlangsung kehidupannya tanpa Pak Harto.
Jadi tema lengsernya Suharto adalah awan gelap,
shock sangat berat bagi semua yang ikut berkuasa.
Dan seandainya Anda adalah Panglima Angkatan
Bersenjata, Anda harus berpikir keras untuk
mengantisipasi segala kemungkinan. Bukan hanya
memikirkan, tapi juga saat juga mewujudkan.
Negara tidak boleh ada vacuum kepemimpinan satu
detikpun. Lyndon B. Johnson dilantik di pesawat
hanya beberapa menit sesudah John F Kennedy
ditembak. Maka apapun yang terjadi dengan Pak
Hartro pagi itu, Anda sebagai senopati kekuatan
militer negara - harus menyiapkan segala
sesuatunya untuk memastikan kekuasaan negara
tetap tergenggam di tangan. Atau kalau organisasi
militer Anda terpecah menjadi faksi-faksi, makna
semua kelompok itu mau tidak mau pasti juga
menyiapkan hal yang sama meski dalam bentuk yang
berbeda.
Bagaimana seandainya berpuluh kamera sudah siap
menyorot segala sudut tempat yang dipakai
pertemuan Pak Harto dengan 9 orang serta
sekitarnya. Bagaimana seandainya pandangan
seluruh kamera itu dimonitor dari dalam sebuah
Tank, yang misalnya di dalamnya ada seorang
perwira komando dan seorang operator yang
memegang remote sebaran bom-bom yang saya sebut
di atas.
Bagaimana seandainya perwira komando itu terus
berkoordinasi dengan pimpinan yang juga ada di
Istana untuk siap kapan saja meledakkan bom atau
membata lkan ledakan. Kalau Pak Harto mengalami
ketegangan psikologis karena dituntut turun dari
kursi kepresidenannya sehingga beliau gagap atau
membisu, kalau lebih dari dua menit kegagapan
atau kebisuan itu berlangsung - dan itu berarti
otoritas puncak kekuasaan negara menjadi relatif
dan bisa disambar oleh kekuatan-kekuatan tertentu
- maka remote harus segera dipencet untuk
menjamur-apikan Jakarta terutama wilayah yang
mengelilingi Istana.
Kalau Pak Harto pingsan, tentu remote harus lebih
cepat lagi dipencet. Apalagi kalau Pak Harto
sendiri mengindikasikan perintah atau kode untuk
meledakkan....Bagaimana seandainya itu semua
benar-benar terjadi? Atau kapan-kapan dibikin
benar-benar terjadi?
Siapa tidak tegang. Jangan-jangan Pak Harto
ngamuk dalam pertemuan itu. Cak Nur dan
teman-teman sudah merundingkan dengan Pak Amin
Rais dan sepakat Pak Amin tidak ikut menemui Pak
Harto. Sebab Pak Amin hebat dan sering tegas
keras, ibarat macan yang sakti. Kalau macan sakti
menemui Pak Harto, dikawatirkan Pak Harto yang
mulai jadi manusia itu malah berubah menjadi
macannya macan.
Tapi ternyata pertemuan Pak Harto dengan 9 orang
itu tidak ada tegang-tegangnya sama sekali. Makin
lama makin cair, penuh senyum dan akhirnya bahkan
penuh gelak tawa.....Seandainya Anda adalah
perwira koma ndo atau operator bom yang dari
dalam monitor tank menyaksikan situasi rileks di
istana itu - pasti Anda jengkel dan sekaligus
gembira. Jengkel karena situasi siaga puncak
ternyata dihapus oleh gelak tawa. Gembira karena
Jakarta tidak harus menjadi jamur api.
Ah, itu semua hanya seandainya.
Apa yang sesungguhnya terjadi pada peristiwa
reformasi 1998 itu belum terungkap secara jujur
dan memang tidak ada kecenderungan dari pihak
manapun untuk meneliti secara obyektif
fakta-fakta yang sesungguhnya. Bahkan kaum
intelektual di universitas-universitas juga tidak
menunjukkan gejala bahwa mereka merasa perlu
meneliti kenyataan sejarah itu.
Dulu Nambi dan Ronggolawe marah dan memisahkan
diri dari kekuasaan Raden Wijaya di Majapahit
karena setelah kekuasaan ditegakkan - pelaku
perjuangan yang sesungguhnya justru dikhianati.
Demikianlah juga lahirnya Kartosuwiryo atau Kahar
Muzakkar yang naik gunung masuk hutan karena
dikhianati - meskipun kita tidak sepakat pada
metoda pemberontakan yang Daeng Kahar dan Kang
Karto pilih.
Tapi memang 'manusiawi' kalau pejuang-pejuang
sejati disingkirkan oleh teman-temannya sendiri
yang di jaman penjajahan sebenarnya bersikap
hipokrit. Maka reformasi sekarang sebenarnya juga
sudah melahirkan Karto dan Kahar.....***
|