MASA DEPAN INDONESIA MINUS
JAWA
Saya mengobrol
dengan dua orang yang cemas.. Pertama pengurus
negara, yang kedua pengamat keadaan. Posisi saya
adalah keranjang sampah, karena pengetahuan saya
sendiri nul-puthul tentang perpolitikan negara.
Pertama si pengurus negara mengeluh tentang
kemungkinan akan ramainya perpolitikan Indonesia
pada Juli-Agustus lusa ini.
"Kok begitu", tanya saya.
"Biasa. Orang belum puas untuk berebut
kekuasaan", si pengamat menjawab.
"Siapa saja sih orang itu?", saya
mengejar.
"Hamzah terus sibuk menyanyikan lagu-lagunya
sendiri, tidak dalam satu komposisi dan aransemen
dengan Presidennya. Mereka bukan dua pemimpin
yang berpartner untuk mengabdi kepada kepentingan
rakyat. Mereka berlomba dengan pentasnya
masing-masing, dengan kapasitasnya,
pembiayaannya, akses-aksesnya, serta rahasianya
masing-masing"
"Wah, serem ya", kata saya, "terus
apa hanya dua itu yang perang dingin?"
"Semua tokoh sebenarnya sedang merintis dan
membangun rencana-rencana kekuasannya. Gus Dur
pantang mundur, meskipun sudah ditinggalkan oleh
sangat banyak anak-anak buah yang dulu
mendukungnya. Amin Rais mungkin bisa saja
memandang NU yang sedang dirundung duka oleh
pengalaman politik Gus Dur sebagai calon partner
yang bargaining powernya bisa dia mainkan. Kita
jangan kaget kalau nanti menjumpai tandem Amin
Rais - Hasyim Muzadi, misalnya..."
"O ya?", saya kaget,
"Pak Hasyim itu pemimpin yang sudah digodog
oleh dilemma-dilemma NU di jaman Gus Dur
berkuasa. Sekarang Anda tahu beliau dimarahi Gus
Dur dan dianggap menentang. Tapi itu membuat
beliau semakin matang. Bagaimanapun citra NU
harus direhabilitir, dan tokoh macam Pak Hasyim
potensial untuk itu".
"Tapi alhamdulillah deh", saya
menyahut, "Itu artinya rakyat Indonesia
tidak pernah kehabisan pemimpin. Keadaan kita ini
masih kacau balau, tetapi kita jadi optimis
karena toh banyak calon pemimpin yang siap
menolong kita semua. Omong-omong kalau Pak
Bambang Susilo Yudoyono bagaiamana? Termasuk yang
akan bertanding nggak?"
"Beliau itu orang pandai sih, jadi sudah
menclok di pemahaman banyak orang, Artinya susah
mendapat dukungan yang luas. Di kalangan TNI
sendiri kalau tidak salah berkembang pendapat
bahwa SBY itu bukan leader, beliau cocok menjadi
pelaksana kantor, tapi bukan kapasitas beliau
untuk memegang otoritas puncak atau mengambil
keputusan-keputusan besar"
"O begitu tho?", saya semakin
terkagum-kagum.
"Ya, tetapi sesungguhnya kita sedang
menunggu hadirnya pemimpin yang sungguh-sungguh
nasionalistik dan membuktikan nasionalismenya
dalam berbagai tindakan politik, eksistensi
kenegaraan, perekonomian dan kebudayaan. Kita ini
tidur terus kesadarannya, bertengkar antar
golongan tak habis-habis. Padahal negara kita ini
masa depannya akan dijadikan hanya 8 propinsi
besar. Bagi kekuatan internasional yang ingin
memeliharan hegemoninya atas Indonesia, yang
mereka anggap penting hanya Irian Jaya, Sulawesi,
Kalimantan dan Sumatra. Pulau Jawa tidak usah
dipotensialisasikan ke masa depan. Toh Jawa sudah
tinggal kerak, dan mayoritas penduduk Islam kan
di Pulau Jawa ini. Jadi kalau bisa di masa datang
Jawa biar hancur saja, sehingga substansi
keindonesiaan seperti yang sekarang menjadi
hancur. Kalau Jawa dan mayoritas penduduk Islam
sudah dibikin invalid, maka kelak akan ada
Indonesia Baru yang kondusif dengan scenario
adikuasa..."
Saya tidak ingat terusnya kata-kata beliau,
karena ternyata tak sengaja saya tertidur.****
|