MENU ARTIKEL



Personal Photos

Halaman Utama

K L U W U N G

Posted on 2002/7/31 12:05:12
Aneh kemarin tiba-tiba saya diundang untuk ikut talkshow di sebuah teve local untuk mendiskusikan soal RUU Pemilu dan Parpol. Sudah sejak empat tahun yang lalu karier saya melorot drastis, dan sejak dua tahun yang lalu Emha Ainun Nadjib sudah menjadi loakan atau barang klithikan. Bahasa lainnya, Emha adalah segumpal batu akik palsu di Room Shop, alias toko Rom-bengan.
Kalau diibaratkan pelacur, dulu pernah mencapai harga sejuta rupiah, kemudian menurun jadi 500, terus 200, terus 50, dan sekarang ditawar 1750 rupiah saja saya sudah bergembira setengah mati. Level saya sekarang seperti orang-orang kecil di Wesel-16 barat stasiun Tugu Jogjakarta: ‘Las Vegas’ kelas cekeremes, perjudian pelacuran dll. buka dari jam 02.00 sampai pagi.
Ini bukan kerendah-hatian: mana paham saya soal RUU. Jadi dalam diskusi tayangan itu di tengah para pakar saya hanya ngasih satu dua komentar yang tidak relevan, sekedar untuk abang-abang lambe. Untungnya para penelpon interaktif agak sama pendapatnya dengan saya. Sama tidak pakarnya, jadi gampang kecewa dan putus asa. Semua penelpon mengatakan bahwa mau diapain saja pemilu ini toh hasilnya sama saja. Rakyat tetap tidak berdaya, tidak dinomersatukan kepentingannya, tidak didengarkan aspirasinya. Bahkan mereka berpendapat lebih baik tidak ada pemerintah, sehingga rakyat tidak harus membayar hutang yang terus ditumpuk dari pemerintahan ke pemerintahan. Negara dianggap telah gagal memenuhi kewajibannya, pemerintah hanya ngrepoti rakyat, tentara menakutkan rakyat, polisi tidak bikin aman rakyat.
Beginilah pendapat orang awam, termasuk saya. Kita tidak tahu bahwa pemilu adalah perangkat utama proses demokrasi. Maka parpol juga tidak boleh dinafikan, karena tanpa parpol tak ada pemilu.
Coba Anda baca RUU tentang parpol Bab V pasal 6: “partai politik berfungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas, agar menjadi warga negara RI yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.” - Bukankah tugas ini memang yang selama ini susah payah dengan segala pengorbanan diselenggarakan oleh pemimpin-pemimpin kita di Parpol? Bahkan mereka bersedia berjuang mensosialisasikan pendidikan politik kebangsaan dan kenegaraan dengan suka rela, gaji sangat sedikit dan fasilitas yang tidak memadai?
Baca berikutnya: “Penciptaan iklim yang kondusif dan program kongkret untuk menyejahterakan masyarakat, perekat persatuan dan kesatuan bangsa, penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara….” - Kurang apa?
Sejak reformasi digulirkan, sejak kesadaran politik meningkat pesat, sejak parpol-parpol bermunculan, bukankah kehidupan social budaya bangsa kita makin rukun? Bukankah kehidupan politik masyarakat kita makin bergairah dan penuh semangat nasionalisme sejati? Bukankah keadaan ekonomi rakyat kita semakin sejahtera, tertata dan adil?
Kalau Anda dan saya masih merasa bahwa keadaan sekarang lebih buruk dibanding jaman Orla dan Orba, itu karena sempitnya pengetahuan kita tentang bagaimana sesungguhnya kehidupan yang layak dalam suatu masyarakat negara. Kalau Anda dan saya hanya mampu menyimpulkan bahwa kelompok perampok-perampok jaman sekarang lebih kluwung dan tak tahu malu dibanding perampok yang dulu-dulu - itu sebenarnya hanya kesan sekilas dan bersifat kulit belaka. Kalau kita mau belajar sungguh-sungguh tentang bagaimana makna demokrasi yang sesungguhnya, insyaallah kita akan mengerti bahwa yang demikian inilah sesungguhnya yang dicita-citakan oleh para perintis kemerdekaan dulu.
Seseorang dalam talkshow itu mengutarakan: “Kita ibaratkan sepakbola saja. Undang-undang Pemilu dan Parpol itu dalam sepakbola adalah ketentuan-ketentuan tentang luas lapangan, letak gawang, kapan offside, dalam keadaan apa kartu kuning atau kartu merah harus dikeluarkan, dst. Sepakbola konstitusi kita terus menerus dikembangkan agar permainan sepakbola lebih dijamin adil, sportif dan fair.
Tetapi memang ada kelemahan dalam aturan sepakbola reformasi sekarang ini. Pertama, para pengurus organisasi sepakbola bisa melakukan KKN kapan saja tanpa diketahui oleh orang lain, para ofisial masing-masing kesebelasan bisa melakukan tawar menawar sedemikian rupa sehingga semua yang terjadi di lapangan sepakbola sebenarnya sudah tertulis dalam scenario yang disepakati. Inilah kelemahannya kalau semua yang bertanding melakukan rekonsiliasi, menyelenggarakan nyang-nyangan, sehingga penonton sebenarnya dikempongi oleh rekayasa itu.
Kelemahan kedua, kalau diibaratkan semua pelaku politik, terutama rakyat pemilih dalam pemilu - adalah pemain sepakbola demokrasi: maka yang menyedihkan adalah kita rakyat Indonesia sungguh-sungguh tidak becus bermain sepakbola. Rakyat tidak punya pemahaman politik, tidak mengerti logika politik, tidak tahu dialektika tanggung jawab antara yang mewakili dengan yang diwakili. Rakyat Indonesia tidak tahu siapa teman sekesebelasannya dan siapa yang musuh. Rakyat Indonesia tidak tahu di mana letak gawang, sehingga meskipun pemilu besok ini akan ada pemilihan langsung Presiden dan Wapres: insyaallah rakyat masih belum tahu siapa yang sesungguhnya pemimpin sejati mereka dan siapa pengkhianat mereka.
Hal ini harus kita teruskan dengan Rabu depan membicarakan tentang kebodohan kolosal dan sihir……***