DAERAH ISTIMEWA
SURABAYA
Posted
on 2002/8/1 18:11:03
Sebagai penduduk Jogjakarta saya sangat senang
menyaksikan daerah istimewa ini sibuk
menimbang-nimbang RUU Keistimewaan DI Jogjakarta.
Fokus dari diskusi segala lapisan di Jogja itu
adalah bunyi rancangan pasal 17 : Gubernur dan
Wakil Gubernur adalah Sultan Jogjakarta dan
Adipati Pakualaman.
Jadi seandainyapun umpamanya kelak Tuhan
mentakdirkan seluruh kerabat Keraton Jogja dan
Pakualaman mengalami nasib seperti para priyagung
kerajaan Islam di Pontianak yang musnah dibunuh
oleh Jepang - naudzu billahi min dzalik -
dengan sebab yang mungkin berbeda: entah ada
gempa bumi raksasa sehingga menelan keraton dan
seluruh penghuninya - maka tetap Gubernur dan
Wagub DIJ harus adalah Sri Sultan dan Adipati
Pakualaman.
Dua kali saya diundang mengikuti diskusi
membahasan RUU ini, dan pada kesempatan pertama
saya nyatakan cinta saya kepada Sri Sultan dan
Paduka Pakualam : Kenapa kita menghalangi karier
Raja dan Adipati kita dengan mewajibkan beliau
berdua menjadi Gubernur dan Wagub sepanjang
hidup? Bagaimana kalau rakyat Indonesia meminta
beliau berdua menjadi Presiden dan Wapres? Bahkan
bagaimana kalau organisasi negara-negara seluruh
dunia kapan-kapan memohon beliau untuk menjadi
Sekjen PBB?
Sesungguhnya perdebatan masalah Sultan otomatis
Gubernur dan Pakualam pasti Wagub adalah
kontraversi antara konsep Kerajaan dengan konsep
Negara. Kita bisa panjang lebar mencari buruknya
Kerajaan dan mendaftari baiknya Negara, atau
sebaliknya. Kita bisa seminggu penuh nglembur
mencatati kacaunya feodalisme dan hebatnya
demokrasi, atau sebaliknya.
Kalau Negara, yang apalagi bernama Republik
Demokratik, seperti Jerman Timur, atau semua
negara-negara komunis di jaman kejayaan Uni
Sovyet - ya mending hidup liar di hutan
belantara. Kalau kita menjadi warganegara pemuka
demokrasi Amerika Serikat mungkin cukup enak,
tapi kalau kita adalah penduduk negara-negara
dunia ketiga yang samina wa athona
kepada beliau, ya belum tentu enak. Yang mungkin
agak lumayan adalah kalau Indonesia dijadikan
salah satu Negara Bagian dari the United States -
sebagai rakyat Amerika kita pasti mendapatkan
keadilan dan kesejahteraan, beda dengan kalau
Indonesia menjadi bonekanya Amerika Serikat.
Biar menjadi penduduk kerajaan tapi kalau Rajanya
Baginda Sulaiman As, atau sekurang-kurangnya
Khalifah Umar bin Abdul Aziz atau Raden Patah
atau Sultan Agung - tak apalah tidak usah kenal
demokrasi. Wong Republik Indonesia sudah setengah
abad lebih menerapkan dirinya sebagai negara
demokrasi, hasilnya ya mbembet dan makin mbembet
gini kok. Katanya ada reformasi ternyata gathel :
mudah-mudahan siapa saja yang mengkhianati hati
rakyat kecil dianugerahi Allah sakit gudhalen.
Kalau kita kembalikan kepada Sri Sultan wajib
menjadi Gubernur DIJ, di kesempatan forum lain
sempat saya berpikir : Kalau saya jadi Sultan,
saya tidak akan mau diundang - undangkan untuk
permanen menjadi Gubernur. Rasanya tidak jantan.
Saya kan Sultan, pengayom rakyat, pemimpin
sejati, tahtaku untuk rakyat, aku selalu
bercermin di kalbu rakyat, sayyidin
panotogomo
..jadi meskipun setiap lima tahun
sekali aku harus bertanding bersaing menjadi
Gubernur, insyaallah aku akan selalu menang
karena rakyat Jogja tidak punya pemimpin sejati
yang lain.
Salah satu keistimewaan Jogja adalah meskipun
kraton memiliki peran dan hak sejarah yang sangat
kongkret sejak dahulu kala, tetapi tidak akan
takut memasuki alam demokratisasi, berkompetisi
secara fair. Justru kalau Sultan dan Pakualam
tidak dipastikan menjadi Gubernur dan Wagub, maka
beliau berdua akan secara dinamis membuktikan
kemampuan kepemimpinannya kepada seluruh rakyat
Jogja. Kalau ditakdirkan pasti jadi
Gubernur dan Wagub, malah bisa terlena dan
tertidur, kehilangan obyektivitas, gampang
terjebak dalam situasi trend to be corrupt -
meskipun tidak dalam arti uang dan harta.
Kalau kraton dilegalisasikan sebagai otomatis
memiliki otoritas birokrasi, maka wajah Sultan
dan Pakualam bukan wajah kewibawaan, melainkan
wajah kekuasaan dan kecurangan. Tapi ya silahkan
kalau memang mau permanen jadi Gubernur dan
Wagub, sepanjang beliau berdua melihat bahwa
kelak akan bisa mengubah kembali wajah kekuasaan
menjadi wajah kewibawaan.
Para penyusun draft akademik RUU ini bisa
menggunakan jargon Sri Sultan yang (maaf,
beberapa tahun yang lalu saya bikinkan) berbunyi
Bercermin di Kalbu Rakyat. Artinya
Pak Affan Gaffar bisa bertanya kepada dirinya
sendiri apakah perannya dalam proses penyusunan
RUU Keistimewaan DIJ ini adalah peran
intelektual, ataukah peran politisi, ataukah
peran pedagang, atau mungkin peran abdi dalem.
Hanya Pak Affan dan beliau-beliau yang bisa
menjawab.
Soal keistimewaan DIJ, di forum itu saya
menganjurkan agar tak usah mencari-cari dan
mengurai-uraikan apa keistimewaan DIY, sebab RUU
ini bukan sedang memperjuangkan status DIJ untuk
dijadikan daerah istimewa. Jogja sudah istimewa,
pegang saja itu tanpa banyak alasan. Kalau
dicari-cari alasan dari masa silam seperti
beberapa diuraikan dalam RUU, nanti Surabaya juga
punya alasan menjadi Daerah Istimewa Surabaya.
Alasannya nasionalisme Indonesia kan lahir dari
Sumpah Palapa Gajah Mada Mojopahit. Belum lagi
kedahsyatan perang arek-arek Suroboyo melawan
sekutu yang membuat hari itu dijadikan Hari
Pahlawan.
Bahkan nanti Cirebon, Ternate, Mandar (mantan
Maradia Kerajaan Mandar adalah teman karib
HB-IX yang sama-sama berjuang di jaman pergerakan
menuju kemerdekaan RI), juga daerah-daerah lain
di Indonesia. Semua memiliki keistimewaannya
sendiri-sendiri.
Keistimewaan Jogja harus merupakan kata kerja,
bukan kata benda dari masa silam. Bahwa Jogja
adalah Ibukota Kebudayaan Indonesia yang memiliki
dimensi-dimensi khas yang tak dimiliki daerah
lain. Bahwa Jogja adalah perintis laboratorium
pluralisme keIndonesiaan sebelum daerah-daerah
lain mengekornya. Bahwa Jogja adalah kawah
candradimuka bagi para kreator kebudayaan dan
sudah terbukti dinamika kebudayaan modern
Indonesia sangat banyak dipengaruhi oleh dinamika
kreativitas di Jogjakarta.
Kalau Surabaya jadi DIS mungkin rajanya
Ngarsodalem Imam Utomo, Ngarsodalem Farid,
Ngarsodalem Saipul, atau Ngarsodalem
Lonthong
..*****
|