KEKASIHKU ORANG GILA
Posted on
2002/8/3 10:58:13
Tadi malam Allah menganugerahi saya rejeki yang
luar biasa, yang membuat aliran darah saya
menghangat, hati penuh kegembiraan dan
kebanggaan, dan seandainya ketika itu saya sakit
saya yakin langsung menjadi sembuh.
Di Taman Ismail Marzuki Jakarta setiap orang
kenal orang yang mengantarkan rejeki Allah ini.
Seorang pemuda berusia sekitar 35 tahun, kumuh,
berpenampilan gelandangan, tidur di sembarang
tempat di komplek itu, sorot matanya menusuk ke
dalam nurani. Setiap orang mengenalnya sebagai
orang yang tidak lengkap, agak miring, minimal
setiap orang normal cenderung tidak menganggapnya
sebagai manusia sesama orang normal.
Dulu tatkala sebulan sekali saya beracara
Kenduri Cinta di parkiran TIM,
beliaunya ini selalu hadir. Di akhir acara selalu
menemui saya dan dengan sangat menakutkan ia
mencium tangan saya. Saya meletakkannya di tempat
yang khusus di lubuk hati saya. Kemudian acara
bulanan saya di Jakarta itu tidak menetap lagi di
TIM melainkan keliling ke kampung-kampung
Jakarta.
Ya Allah, beliau ini tiba-tiba menelpon
saya
Saya tidak pernah membayangkan bahwa ia
kenal telpon. Tentu ia ternyata tahu wartel juga.
Ya Allah, dia bercerita tentang demo di DPR dan
situasi mutakhir di Jakarta. Ya Allah aku bangga
menerima telpon dari seseorang yang setiap orang
tidak menganggapnya sebagai sesama manusia dalam
kehidupan yang wajar.
Tentu saja tidak bisa saya berkata begini:
Saya ditelpon oleh Menteri, oleh Presiden,
oleh Sekjen PBB, tidak punya perasaan apa-apa dan
tidak bangga sedikitpun. Tetapi saya ditelpon
oleh beliau ini, ya Allah, hati saya
berbinar-binar penuh kegembiraan dan
kebanggaan. Tidak bisa, wong memang tidak
ada Menteri yang gila untuk repot-repot menelpon
saya. Apalagi Presiden dan Sekjen PBB.
Kalimat seperti itu pernah juga muncul di hati
saya ketika saya kenal kekasih gila yang lain.
Kalau Anda pergi ke Jogja, jalanlah ke perempatan
dekat jembatan rel kereta di sebelah barat kantor
Samsat. Sekitar siang atau sore, insyaallah Anda
akan berjumpa dengan kekasih Allah: pemuda kurus,
hitam, menari-nari, melemparkan wajah penuh
kegembiraan, melambaikan tangan kepada siapa saja
yang lewat. Adakah orang bisa berpikir bahwa ada
orang yang sehat jiwanya menari-nari di
perempatan jalan?
Tetapi apakah kekasihku itu benar tidak sehat
jiwanya? Apakah ia pernah korupsi? Apakah ia
pernah menyakiti hati orang? Apakah ia pernah
mencuri, mencopet atau menjambret? Bukankah
berjam-jam ia berjoget-joget di jalan dengan
penuh suka cita itu sesungguhnya berkata kepada
orang-orang yang lewat yang kebetulan punya akal
pikiran: Kenapa engkau cemberut,
uring-uringan dan berwajah duka? Kau punya mobil
kan? Punya rumah kan? Lihatlah aku, tak punya
apa-apa, tak punya rumah, tak punya pekerjaan,
tak pernah sekolah, tak tahu apa-apa mengenai
negara dan masyarakat, tak mendapat gaji, tidak
akan kawin seumur hidup, tak punya harapan dan
karier apa-apa di muka bumi ini tetapi aku
selalu bergembira
Pada suatu sore di sebuah sanggar beliau muncul
dan bersalaman dengan setiap orang yang ada di
situ termasuk saya. Pimpinan sanggar bertanya
kepadanya: Kamu salaman-salaman begitu apa
tahu dengan siapa kamu salaman?
Beliau tertawa nyengir, mendekat dan memegang
sebelah tangan saya dan menjawab dengan suara
kecil lirih lucu: Cak Nunnn
. --
Ya Allah, bangganya saya dikenal oleh beliau.
Siapa yang ngasih tahu dia tentang saya? Koran?
Saya sudah beberapa tahun tidak laku di Koran,
bahkan Koran lokalpun sudah tidak kenal saya.
Ya Allah, syukur kepadaMu akhir-akhir ini Engkau
pertemukan aku dengan kekasih-kekasih sejati.
Yang tidak menyalami tanganku dengan kepentingan.
Yang tidak cemburu dan dengki kepadaku. Yang
tidak menuduh-nuduh aku atas dasar kabar burung
dan obrolan warung. Yang tidak meminta apa-apa
dariku, bahkan memberiku ilmu dan hikmah yang
tidak aku peroleh dari kaum cerdik pandai, dari
para penguasa dan kaum penyebar isyu. Yang tidak
mengancamku. Yang tidak mencurigaiku berdasarkan
keperluan subyektifnya. Yang tidak menyantet atau
menenungku demi melindungi ambisinya. Yang tidak
bersaing denganku kecuali dalam mencari
ridhallah.
Dulu waktu ulang tahun Kartolo dengan Kiai
Kanjeng datang kekasihMu, Ibu-ibu setengah baya,
pakai kaos oblong dan rok pendek, beteriak-teriak
sehingga Satpam dan Polisi akan mengusirnya. Aku
loncat turun dari panggung, kurebut Ibu-ibu ini
dari Polisi, saya gandeng naik panggung, duduk di
samping kiri saya, saya bisiki dan alhamdulillah
ia bersedia duduk manis di situ sampai acara usai
lewat tengah malam.
Di Alun-alun Magetan itu, begitu kami naik
panggung, Ibu-Ibu tua mendahului berdiri dan
berpidato teriak-teriak. Saya datangi, saya
nyatakan cinta, saya bimbing duduk di samping
saya. Ia patuh manis sampai akhir acara, meskipun
berulang kali ia mencubit punggung atau paha saya
seakan-akan ia adalah pacar saya yang sebentar
lagi saya nikahi.
Berikutnya di Magetan itu datang lelaki muda
gagah besar, pakai celana pendek, membawa tali
dadung panjang, berjalan sambil menari menyaingi
Sardono W.Kusumo, membelah hadirin menuju
panggung. Terus ada lagi di belakang hadirin:
laki-laki juga, berbaring mengomel dan
kayal-kayal seperti bayi persis seperti
nasib rakyat Indonesia.
Dan itu ya Allah, lelaki kurus pucat, hanya pakai
celana pendek, langsung masuk ke rumah, bersila,
menyembah saya dan berkata: Lapor! Saya
dulu anaknya orang kaya. Saya merantau sekolah di
Jogja. Kemudian orang tua saya bangkrut. Saya
tidak bisa melanjutkan kuliah. Untuk bisa makan
saya akhirnya jualan darah. Tetapi karena darah
yang saya keluarkan tidak sebanding dengan
makanan yang masuk, maka akhirnya saya gila.
Laporan selesai! Kemudian ia
nylonong pergi.
Yang lain datang dan juga langsung masuk rumah.
Bahkan tidur di depan pintu tengah. Saya biarkan
berjam-jam, sampai akhirnya saya bertanya:
Kok tidur di sini sih Mas?. Ia
menjawab dengan tegas: Ini adalah bumi
Tuhan, makhluknya bebas tidur di mana saja!
Menjelang maghrib saya hampiri dia dan saya omong
dengan lembut: Boleh saya menolong Sampeyan
untuk saya carikan bumi Tuhan yang lain yang
bukan ini? ******
|