DOSA STRUKTURAL
Posted on
2002/8/13 21:14:55
Dosa struktural dipahami sesudah diketahui dan
dialami bahwa sesudah kehidupan ini dibangun dan
dilaksanakan dengan menggunakan institusi yang
bernama Negara, dengan susunan dan tatanan
unsur-unsur kehidupan bermasyarakat di
bawah negara - yang dialektis dan terkait satu
sama lain, bahkan ada keterkaitan komprehensif
antara Negara dengan Negara, antara masyarakat
dengan masyarakat. Fenomena globalisasi membuat
inter-relasi antara Negara dan masyarakat di
sebagai bidang menjadi hampir tak ada dindingnya
lagi.
Kalau ada suatu Negara dijajah oleh Negara lain
dan itu membuat masyarakat Negara yang dijajah
itu menjadi miskin, tidak percaya diri dan serta
tidak tertata hidupnya; dan kalau dalam Islam
dikenal adagium kaadal faqru an-yakuuna
kufron , kemiskinan itu cenderung
mendorong pelakunya ke perbuata-perbuatan kufur
maka tidakkah logis kalau disimpulkan
bahwa para inisiator dan pelaku penjajahan itu
turut bertanggung jawab atas kekufuran masyarakat
yang dijajah? Bahkan lebih dari itu, tidak
mungkinkah masyarakat penjajah menanggung dosa
lebih besar karena justru merekalah penyebab
utama kekufuran masyarakat yang terjajah?
Kalau dominasi produk budaya tertentu
umpamanya melalui media televisi -- membuat
anak-anak kita rusak mentalnya, tidak terjaga
iman dan jiwa religiousnya, bahkan lantas
memiliki kebiasaan-kebiasaan hidup yang
menjauhkannya dari Allah apakah anak-anak
kita yang paling besar menanggung dosanya,
ataukah produser budaya itu yang akan lebih
dihisab oleh Allah? Dan ini juga berlaku pada
semua sektor kehidupan di mana pemegang
mainstream pelaku destruksi-destruksi moral dan
kemanusiaan. Anak-anak muda yang rusak hidupnya,
yang nyandu narkoba, yang cengengesan karena
tontonan-tontonan memang hanya mendidik mereka
untuk cengengesan, yang kehilangan masa depan,
yang tidak perduli pada kebenaran dan tidak
menomer-satukan Tuhan apakah mereka
berdosa sendirian?
Ini juga bisa terjadi pada skala yang lebih kecil
dalam kehidupan sehari-hari. Orang mencuri ada
sebabnya, orang menjadi rusak ada asal usulnya,
bahkan tidak ada wanita yang bercita-cita menjadi
pelacur dan tidak ada lelaki yang berdegam-degam
hatinya karena punya cita-cita untuk merampok.
Juga banyak kejadian-kejadian kecil sehari-hari
yang kita akrabi yang jika berupa keburukan atau
kejahatan tidak serta merta kita hakimi
sebagai suatu perbuatan yang berdiri sendiri.
Anak-anak mengemis di perempatan jalan, anak-anak
menghisap narkoba, pemuda-pemudi melakukan seks
bebas: bisakah mereka disalahkan sendirian dan
dihukum sendirian. Bukankah ada keterkaitan
struktural antara perbuatan mereka dengan segala
sesuatu, termasuk orang-orang dan system, yang
menjadikan mereka seperti itu. Bukankah sederhana
saja untuk mengarifi itu: kalau ada pejalan kaki
terpeleset kakinya oleh kulit pisang, bisakah
kita yakin bahwa orang yang membuat kulit pisang
itu bebas dari tanggung jawab atas jatuhnya orang
itu?
***
Sesungguhnya hanya para faqih, fuqaha,
para ahli hukum Agama dan saya sama sekali
bukan -- yang memiliki keabsahan untuk berbicara
tentang dosa.
Seandainyapun saya pernah menulis buku lebih dari
60 buah, seandainyapun saya seorang ilmuwan yang
berderajat tinggi di kalangan dunia ilmiah, kalau
saya bukan faqih tidak ada satu
kata dari uraian saya mengenai dosa yang boleh
serta merta dipercaya oleh siapapun. Oleh karena
itu tulisan yang dimintakan kepada saya ini lebih
banyak berupa pertanyaan.
Setiap faqih adalah juga sekaligus seorang
ahli filosofi tentang segala segi kehidupan,
tentang sangkan-paran setiap nilai dan
kenyataan, tentang keterkaitan antara Allah
dengan setetes embun dan seekor semut yang ketika
lahir dan tatkala mati tak diketahui oleh
manusia. Seorang faqih tidak hanya berangkat dari
ushulul fiqh, tapi juga ushulul hayat,
ushulul alamin, ushulul asyya.
Faqih, atau lazim disebut Ulama Fiqih,
mempelajari seluruh kehidupan ini secara bulat,
total tapi juga tartil. Dari petani
menanam jagung hingga astronout pergi ke luar
angkasa. Dari tukang ojek mengantarkan pelacur ke
komplek prostitusi hingga akibat satu kata ucapan
seorang Presiden bagi nasib sekumpulan masyarakat
di lereng bukit yang tak pernah dikenal oleh
pemimpinnya. Dari seorang suami yang tak punya
jalan lain kecuali mencuri untuk membiayai
kelahiran anaknya hingga kultus individu atau
mitologisasi seorang tokoh oleh kalangan tertentu
rakyat yang sebenarnya tidak tahu apa-apa
mengenai pemimpin yang dipuji da dijunjungnya
secara fanatik.
Para Fuqaha mendatangi, meneliti, menilai,
mempertimbangkan keadaan masyarakat Blandong yang
menjadi buruh pencurian kayu-kayu hutan, hingga
parpol yang berwajah Islam tapi berperilaku
seakan-akan tak pernah mengenal Islam. Para ahli
fiqih menghayati para pelacur berharga beberapa
ratus rupiah dan penjudi lewat tengah malam
sampai pagi di kampung liar barat stasiun, juga
mendalami berapa masing-masing kelompok penjudi
harus bayar upeti tiap malam kepada aparat
keamanan.
Para ahli hukum Islam mendalami kenyataan
sejumlah pemuda yang menjadi perampok karena
kampung mereka direndam air untuk pembangunan.
Mengamati dan menimbang - nimbang apakah diridhai
Allah seseorang yang naik haji lebih dari sepuluh
kali sementara sangat banyak saudara-saudaranya
sesama Muslim dan sesama manusia yang sangat
miskin dan membutuhkan uluran tangan kasih
sayangnya. Kalau seseorang berangkat ke Masjid
untuk bersembahyang Jumat lantas di tengah
jalan ada orang ditabrak mobil: mana yang lebih
disayang Allah terus pergi ke Masjid
mengacuhkan saudaranya yang kecelakaan, ataukah
menolongnya, membawanya ke Rumah Sakit sehingga
ia berkorban tidak shalat Jumat.
Para fuqaha bukan hanya menafsirkan kejadian,
mengambil istimbat ia juga memiliki akal
yang jeli, logika yang cerdas, juga kearifan.
Mereka memiliki kesanggupan untuk menentukan
hukum seseorang yang akan berwudlu untuk shalat
Ashar, menimba air di sumur Masjid, tapi
dijumpainya ratusan semut mengambang di air
timbanya ; lantas dengan jari-jarinya ia
mengambil semut itu satu persatu dari air timba
diletakkan di tanah sedemikian rupa
sehingga ketika ia selesai menolong semut yang
teakhir: terdengar adzan maghrib.
Seorang faqih membutuhkan lebih dari wacana hukum
teknis untuk mengambil keputusan tentang apa
ketentuan hukum Islam atas orang tersebut.
Manakah yang lebih mashlahat di hadapan
Allah, menolong semut ataukah bersembahyang
pada momentum yang berbenturan itu.
Bagaimana kalau seseorang berkata demikian:
Aku bersedia mendapatkan dosa karena tidak
shalat, asalkan karena itu makhluk Allah itu bisa
kutolong. Bagaimana kalau Rabiah
Al-Adawiyah bersedia memenuhi neraka dengan
badannya sehingga tak ada orang lain yang bisa
dimasukkan ke dalamnya. Tentu ini bersifat
simbolik, tetapi pasti filsafat hukum sanggup
mengambil kearifan dari pernyataan Rabiah itu.
Kalau suatu hari kita bertamu ke rumah seorang
pejabat dan disuguhi segelas air, kemudian kita
bertanya-tanya: uang untuk membeli segelas air
ini uang korupsi atau bukan, pabrik air mineral
ini modalnya hasil KKN atau bukan, pejabat yang
kita tamui ini jumlah gajinya logis atau tidak
terhadap besar dan mewah rumahnya, mahal mobil
dan mebelnya dst ahli fiqh yang bisa
mengambil keputusan apakah meminum segelas air
dari hasil seandainya korupsi ini
halalkah, haramkah, makruhkah?
Kalau kita shalat di Masjid yang dibangun dengan
uang yang dihasilkan dari meminta para pengendara
di jalan selama beberapa tahun, seberapa halalkah
shalat kita itu? Sebab uang yang masuk ke dalam
kotak amal untuk membangun masjid ini mungkin
dari pedagang biasa, mungkin dari pencuri dan
perampok, mungkin dari koruptor, mungkin dari
orang yang beragama bukan Islam, mungkin ada yang
memberi uang dengan niat tidak baik, dengan hati
jengkel atau menghina tradisi mengemis Kaum
Muslimin?
Bagaimana kalau Masjid yang kita tempati shalat
itu memang sepenuhnya dibangun dari subsidi
yayasan nasional yang asal usul biayanya secara
struktural tidak bisa dijamin kehalalannya?
Bagaimana kalau karpetnya dibeli dari perusahaan
besar yang secara struktural membunuh usaha-usaha
tikar pandan rakyat kecil? Apakah membeli produk
dari perusahaan yang mematikan usaha banyak orang
secara struktural berarti mendukung kedhaliman
struktural pula?
***
Dosa itu konsep Agama: sekularisme dan atheisme
hanya mengenal kesalahan, yang
berskala horisontal. Sementara dosa
berskala horisontal sekaligus vertikal. Kalau
digambar, horisontal-vertikal itu berbentuk
salib.
Salib itu suatu tahap pencapaian ilmu dan
pengetahuan tentang kebenaran. Kalau Anda
mendirikan sebatang kayu di atas tanah, kayu itu
akan gampang jatuh kecuali Anda tancapkan.
Tancapan kayu adalah garis bawah salib. Kalau
Anda ingin berdirinya kayu itu lebih kokoh,
letakkan dua kayu lain di bagian kanan dan kiri
kayu yang berdiri, tempelkan, disambung dengan
paku, sehingga mengukuhkan tegaknya kayu yang
berdiri di atas tanah.
Ilmu Salib memberi hikmah bahwa segala mekanisme
sosial yang dilangsungkan hanya dengan kesadaran
horisontal, tidak memiliki kekokohan sejarah,
lambat atau cepat akan oleng dan ambruk.
Kesadaran dan kepekaan dan terhadap dosa adalah
tancapan ke bawah kayu salib: ia memberi bekal
kepada manusia untuk menyelamatkan kehidupannya
dari ancaman keambrukan. Kayu yang tegak ke atas
sesungguhnya secara intelektual dan spiritual
mengarah tak terbatas ke atas seorang
Muslim ketika bersujud mengucapkan Subhana
robbiyal ala wabihamdih : maha
suci Allah yang Maha Tinggi. Panjang kayu salib
ke bawah paling jauh sebatas bulatan bumi, namun
yang ke atas jaraknya tak terukur kecuali dengan
kerinduan rohani.
Kalau memakai perspektif lain: kayu yang
memanjang ke kanan dan ke kiri adalah lambang
persaudaraan basyariyah, cinta kasih
sosial atau hablun minannas. Kayu vertikal
ke bawah adalah kematangan kultural setiap
manusia yang bergaul, sedang kayu yang ke atas
adalah kadar dan kesabaran manusia dalam
melakukan thariqat yang dipandu oleh syariat,
mencapai tahap demi tahap marifat
sesuai dengan pencapaian demi pencapaian haqiqat-nya.
Gambar salib itu menggambarkan struktur dasar
bangunan hidup manusia di bawah sunnah Allah.
Dalam perspektif kebersamaan, kayu kiri kanan itu
tak terbatas jumlahnya karena kiri kanan berada
dalam skala lingkaran. Bahkan
kemudian skalanya bulatan: kumpulan
lingkaran-lingkaran tak terhingga. Jadi, salib
menjadi kabah, kemudian di-thariqat-i
oleh manusia dengan aktivitas thawaf
menciptakan bulatan inna lillahi wainna ilaihi
rojiun. Thowaf adalah puncak ilmu
Islam.
Tetapi sebagai wacana dasar, salib sangat
menjelaskan dialektika horisontal-vertikal setiap
kejadian dan perilaku manusia. Kalau Anda mencuri
sebatang jarum dari rumah tetangga, yang
berposisi di-dholim-i bukan hanya tetangga
Anda melainkan juga Allah. Dengan kata lain, Anda
tidak hanya melakukan kesalahan kepada tetangga,
tetapi juga berdosa kepada Allah.
Saya ingin memberi satu contoh kongkret. Di
tengah riuhnya hari-hari awal reformasi, saya
bersepakat dengan Pak Harto mantan Presiden RI
untuk membawa beliau ke Masjid DPR di Senayan,
melakukan Ikrar Husnul Khatimah di
hadapan Allah di rumahNya. Sebelumnya saya
katakana kepada beliau: Pak Harto omong apa
saja sekarang ini tidak akan dipercaya oleh
siapapun. Tinggal satu yang menyediakan pintu,
yakni Allah. Pak Harto pergi ke Masjid, mengaji,
berwirid, kemudian mengemukakan ikrar untuk akhir
yang baik.
Ikrar yang akan beliau bacakan memuat empat (4)
point. Pertama, berikrar kepada Allah
tidak akan berusaha untuk menjadi presiden lagi. Kedua,
berikrar kepada Allah tidak akan melakukan apapun
yang ada hubungannya dengan pencalonan presiden
siapapun. Ketiga, berikrar kepada Allah
bersedia diadili oleh Pengadilan Negara untuk
mempertanggung - jawabkan kesalahan-kesalahannya.
Keempat, berikrar kepada Allah bersedia
mengembalikan harta di tangannya yang milik
rakyat kepada rakyat.
Akan tetapi niatan taubah nasuha ini di media
massa hari-hari itu dipahami dari sisi yang
berbeda. Seorang pengamat politik mengatakan
bahwa saya adalah mesin politiknya Suharto, yang
dengan rekayasa acara Ikrar Husnul Khatimah ini
berusaha menghindarkan Suharto dari pengadilan
Negara.
Pandangan seperti itu muncul dari cara berpikir
politik yang atheistik dan sekularistik. Tuhan
tidak ada, sehingga tidak ada pula logika
horisontal vertikal. Agama dan Masjid dipandang
sebagai hasil kebudayaan manusia, tidak
membedakan antara religiousitas dan religi, tidak
bisa menyerap perbedaan dan jarak antara Agama
sebagai informasi nilai langsung dari Tuhan
dengan perilaku manusia yang berusaha mencerap
dan melaksanakan informasi nilai itu.
Kalau Pak Harto berkata kepada Allah: Ya
Allah, hamba mohon ampun atas segala dosa-dosa
hamba
, menurut logika Islam, Allah
menjawab: Bereskan dulu urusanmu dengan
sesama makhlukKu terutama dengan rakyat
Indonesia. Kalau sudah beres dan orang-orang yang
engkau salahi telah memaafkanmu, maka baru Aku
ampuni engkau
. Bahasa jelasnya:
supaya Pak Harto memiliki kemungkinan untuk
diampuni oleh Allah, beliau harus bersedia
diadili oleh hukum Negara dlsb. Semakin cepat Pak
Harto diadili, semakin cepat pula pintu ampunan
Allah dibukakan.
Dan oleh karena wacana horisontal-vertikal itu
tidak hidup di alam pikiran perpolitikan kita,
bahkan rencana acara Ikrar itu malah menambah
mudlarat bagi khalayak ramai akhirnya
tanggal 21 Pebruari 1999 pagi hari itu saya
menelpon Pak Harto agar beliau tak usah datang ke
Masjid DPR. Kepada wartawan saya katakan bahwa
acara saya batalkan, biarkan Pak Harto kontak
langsung di rumahnya kepada Tuhan, dan kepada
Republik Indonesia saya persilahkan segera
mengadili mantan Presiden 32 tahun ini. Kalau
wacana horisontal-vertikal ini diremehkan,
silahkan mengalami krisis tanpa cita-cita untuk
akan pernah bisa disembuhkan.
Tentu saja fokus cerita ini bukanlah Suharto,
melainkan bahwa satu kesalahan keputusan dalam
satu menit, melalui struktur waktu ia bisa
mengakibatkan keburukan-keburukan yang besar dan
berkepanjangan. Sebuah dosa dilakukan oleh Bapak,
oleh Kepala, oleh Presiden, oleh pemimpin
reformasi, atau siapapun -- pada suatu detik,
melalui susunan perjalanan waktu ia bisa
membuahkan kemudlaratan yang serius. Krisis total
yang dialami oleh Bangsa Indonesia bisa jadi
bersumber dari hanya kejadian dua tiga hari di
awal-awal euforia reformasi.
Kaum Fuqaha memiliki kredibilitas ilmu dan
kearifan untuk tidak menghukumi sesuatu hal dalam
suatu penggalan. Hampir setiap kejadian tidak
berdiri sendiri, ia memiliki struktur hubungan
secara ruang maupun secara waktu.
Kaum Fuqaha terus menerus meneliti dan merangkum
seluruh kejadian sejarah, melihat dan menemukan
mana kemashlahatan dan mana kemudharatan.
Dua dimensi itu bersifat nilai. Para ahli fiqih
menterjemahkan nilai itu menjadi norman-norma :
Yang sangat mashlahat mereka sebut wajib.
Yang lumayan mashlahat disebut sunnah.
Yang tidak ada masalah disebut halal. Yang
agak musharat disebut makruh. Yang sangat
mudharat disebut haram. Betapa luas dan
kompleksnya tugas para Fuqaha, sehingga afdhal
kita mendoakan semoga Allah meninggikan derajat
beliau-beliau di dunia dan di akhirat.*****
Jogja 8 Agustus 2002.
|