MENU ARTIKEL



Personal Photos

Halaman Utama

DIMENSI-DIMENSI KEPERAWANAN

Posted on 2002/8/21 15:56:48
Jogja sedang asyik mempergunjingkan hasil penelitian sebuah lembaga swadaya masyarakat yang menemukan bahwa 97% lebih mahasiswi Jogja sudah tidak perawan lagi. Sayang sekali penelitian itu tanggung dan setengah-setengah, kurang total, kurang merdeka dan kurang liberal. Tidak diteruskan dengan menggali fakta lebih detil: misalnya yang dimaksud tidak perawan itu bagaimana.
Kan relatif. Gadis menjadi tak perawan bisa karena getol olahraga, bisa karena diperkosa, atau gemar dolanan sendiri sampai robek. Bisa juga disantet. Lha wong memasukkan keranjang atau keris atau knalpot motor ke dalam perut saja bisa, apalagi sekedar merobek selaput keperawanan.

Fakta yang lebih detil itu misalnya jangan hanya bertanya masih perawan atau tidak. Tanya juga pada umur berapa kehilangan keperawanannya. Siapa yang memperawaninya. Temannya, pacarnya, guru atau dosennya atau bapaknya sendiri. Atau mungkin mentimun, krai atau pisang.
Sejak hilang perawan sampai saat penelitian dilakukan, si responden sudah berapa kali melakukan hubungan seks. Di mana saja tempatnya, di kamar kos, di losmen, di ruang kuliah, di kantor dosen, di lembah kampus, di atas motor, di pinggir sungai atau siapa tahu di atas pohon.
Melakukan hubungan seks hanya dengan pacarnya yang dicintainya dan dicita-citakan akan menjadi suaminya kelak. Ataukah memang selalu dengan pacarnya tetapi karena ketidak-cocokan sehingga ganti-ganti setahun sekali atau sebulan sekali atau seminggu sekali atau tiga hari sekali.

Sangat penting juga demi memahami tingkat kemajuan budaya masyarakat kita, ditanyakan kepada para responden: mereka melakukan hubungan seks itu hanya dengan satu lelaki dalam satu periode kemudian satu lelaki lain pada periode berikutnya. Ataukah malam ini dengan lelaki satu, besok siang dengan lelaki lain dan malam kedua dengan giliran berikutnya.
Jangan tanggung-tanggung. Ini era globalisasi. Ini jaman kemajuan. Semua orang ditantang untuk mewujudkan bentuk dan kreativitas kemerdekaannya masing-masing.
Mungkin para peneliti itu terlalu lugu sehingga tidak mengeksplorasi fenomena-fenomena kultur seks bebas seluas mungkin. Mereka mungkin agak ortodoks sehingga hanya mampu membayangkan hubungan seks itu hanya satu lelaki dengan satu perempuan. Para peneliti harus menguak jagat ini setuntas-tuntasnya, tidak boleh terlena oleh korservatisme kultur. Kan bisa berhubungan seks antara dua lelaki dengan dua perempuan, atau dua perempuan dengan satu lelaki, atau antara dua perempuan dengan dua lelaki, atau sepuluh pasangan sekaligus bergilir dalam suatu perang ‘brubuh’ seperti di jaman Perang Bubat atau Romawi.

Kemerdekaan seks juga tidak boleh dibatasi hanya oleh konvensi-konvensi kuno. Yang disebut lobang tidak hanya satu macam, melainkan ada berbagai probabilitas penetrasi ke berbagai jenis lobang. Positioning dalam mendayagunakan kenikmatan lobang-lobang itu juga melahirkan kreativitas koreografis yang luar biasa dan tak ada habis-habisnya. Seks menawarkan sejuta macam posisi. Para peneliti harus peka terhadap ini semua.
Jumlah responden yang kabarnya sebanyak 100 orang dan itu mewakili seluruh penduduk Jogja, sebenarnya juga terlalu banyak. Sesungguhnya cukup sepuluh mahasiswa saja, yang kebetulan berada di diskotik.*****