MENU ARTIKEL



Personal Photos

Halaman Utama

AGAMA KOK DEPARTEMEN

Posted on 2002/9/14 4:00:12
Emha Ainun Nadjib

Kalau kita memegang tongkat kekuasaan, di level manapun, biasanya ada empat hal yang mengejar-ngejar hati kita, mengendalikan perasaan, mempengaruhi perilaku, dan akal pikiran diperbudak oleh desakan emosi itu untuk berkonsentrasi pada empat hal itu.
Pertama, bagaimana supaya tidak kehilangan kekuasaan. Kedua, bagaimana bisa memperpanjang kekuasaan. Dua hal ini melahirkan yang ketiga: bagaimana menghimpun modal sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya – agar kekuasaan bisa dipertahankan – siapa tahu tiba-tiba muncul angin badai yang mengguncangkan kita dari kursi. Juga muncul yang keempat: di samping menumpuk modal, juga harus peka untuk pada setiap momentum kita bisa cari muka kepada rakyat dan semua pihak dalam kehidupan bernegara.
Hal-hal mengenai kehidupan rakyat itu soal gampang dan bisa disepelekan. Sudah terbukti selama sekian periode kekuasaan dan tampaknya kita yakin belum ada perkembangan yang mendasar pada rakyat – sehingga sampai beberapa tahun lagi insyaallah rakyat masih bisa kita kibul-kibulin. Tidak ada infrastruktur apapun pada sosiologi politik kerakyatan kita yang mampu menghalangi proses mempertahankan kebodohan rakyat. Kalau ada satu dua kelompok aktivis berpikir dan berteriak tentang revolusi, anggap itu refrein dari sebuah lagu yang toh akhirnya nyanyian harus kembali kepada bagian lagu yang semula.
Rakyat tidak punya modal apapun untuk melakukan revolusi, kecuali direkayasa untuk menciptakan adegan yang seolah-olah revolusi kemudian dilegitimasi oleh bagaimana media memotretnya. Prestasi puncak kita sebagai rakyat adalah amuck dan kerusuhan. Cobalah Anda melingkar dalam satu kumpulan yang plural, terdiri dari suku apapun, agama dan kelompok apapun, juga tingkat pendidikan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi – masing-masing orang Anda kasih benda-benda yang bisa menghasilkan bunyi kalau dipukul, entah ember, kentongan, kayu atau apapun saja. Selalu, sekali lagi selalu, kalau Anda meminta mereka untuk membunyikan benda-bendas itu: hasilnya adalah kothekan, ritme-ritme pukulan seperti kuda lumping atau jaran kepang yang dikuasai oleh suasana in-trance. Mabuk. Ndadi alias mengamuk.
Kalau seni tradisi Aceh, suasana ndadi-nya sangat solid, tapi rata-rata musik dan tari mereka berakhir dengan black-out. Progresivisme masyarakat Aceh hanya bisa berhenti dalam keadaan mendadak atau semacam dipaksa berhenti. Kesenian Jawa yang ‘bebudaya’ tidak memiliki situasi ndadi yang progresif, terlalu tertata dan tidak revolusioner. Jawa yang progresif hanya yang ‘primitif’, kuda lumping: seakan-akan itu hentakan-hentakan revolusioner, padahal sesungguhnya mengamuk.
Kebaikanpun seringkali diaplikasikan secara ndadi. Menteri Agama kita yang harus menyesuaikan diri dengan ‘habitat Jawa’, ndadi begitu melihat peluang yang baik dan penuh kemuliaan untuk menolong rakyat. Hanya orang ndadiyang tertutup ingatannya tentang tata hukum, pilah-pilah birokrasi dan prosedur. Tradisi ndadi dalam berbuat baik sudah jamak dalam masyarakat kita. Naik haji dianggap pasti baik meskipun memakai uang tidak halal. Semakin banyak naik haji disimpulkan semakin soleh pelakunya meskipun tetangga-tetangganya mlongo dan belum tentu bisa makan. Sehingga diperlukan eksplorasi dan ijtihad fiqih Islam yang mempertimbangkan inter-relasi antara ibadah dengan kondisi-kondisi sosial – sehingga akal sehat akan menemukan posisi hukum naik haji bisa wajib, sunnah, halal, makruh dan haram. Kecuali Islam mengizinkan individualisme dan tidak meniscayakan substansi kejamaahan global.
Alhasil seandainya hukum negara mengharuskan Menag diadili, yang diperlukan adalah saksi ahli bidang psikologi sosial yang mampu menjelaskan tentang fenomena ndadi, yang berarti suatu jenis ketidaksadaran tertentu. Ada kemungkinan beliau lolos dari hukuman. Bahkan siapa tahu hampir semua pemimpin-pemimpin kita ini sebenarnya ndadi semua, sehingga pada hakekatnya mereka tidak salah. Ini alasan yang jitu untuk saling memaklumi. Apalagi Pak Hakimnya dll ternyata juga ndadi.
Kaum sufi mengingatkan: niat baikpun harus dikontrol. Saya berniat baik menggembirakan teman yang lama tak ketemu dengan mentraktirnya makan sate. Langsung saya pesankan 40 tusuk. Plus gulai kambing dan sup. Sesudah itu saya ajak ke restoran pizza dan untuk hidangan penutup saya ajak minum es teler, sehingga dia teler betul. Beberapa bulan terakhir ini saya rajin merampok agar pembangunan Masjid kami segera selesai. Demi siapapun kebaikan hanya terwujud kalau dikawinkan dengan kebenaran. Syukur-syukur dihiasi dengan keindahan.
Pak Taufiq Abdullah bilang “Pak Menag berpikir lokal, dia hanya paham Agama, tidak paham hukum”. Beliau ini agak ndadi juga. Agama cap apa yang mengizinkan ummatnya menggali tanah yang bukan haknya dan mengambil harta yang entah punya siapa. Pak Taufiq keliru menuduh Menag hanya paham Agama padahal sedang lupa, dan tuduhan itu juga berasal dari ketidakpahaman terhadap Agama.
Tetapi negara kita sendiri memang sudah ndadi sejak dari sono-nya, makanya yang perlu diamandemen bukan hanya UUD-45 tapi struktur otak dan metodologi pemahaman kita sendiri. Lha bagaimana wong Agama kok departemen. Kalau memang Agama mau dilegalisasikan dan diformalkan, letaknya merangkum, bukan menjadi bagian. Jadi mending Agama disemayamkan di akal dan hati sajalah. Atau Anda semua monggo-monggo saja kalau mau meninggalkan Agama. Tuhannya kan Allah, bukan Anda atau saya, jadi biar Beliau yang mengurusi akibat dari pilihan kita.
Atau diresmikan saja Indonesia adalah Negara Sekuler: Agama diakui, tapi posisinya harus sekunder. Atau jantan sajalah: Negara Ateis, sekurang-kurangnya Negara Tak Ada Urusan Sama Tuhan. Dari pada berlagak beragama tapi maling-maling juga. Kalau memang beragama, pegang. Kalau tak pegang, buang Agama. Kalau bilang I love you, nikahi. Kalau tidak nikah, jangan bilang cinta dan memeluknya. Rusaknya negara kita ini karena hobi kita pacaran dan ganti-ganti pacar, tidak pernah nikah benar-benar dengan nilai, dengan komitmen, dengan parpol, ormas. Kita hanya setia kepada kemauan kita sendiri, terserah kita juga mau berubah-ubah atau tidak.
Adapun Depag tak usah dibubarkan, cukup direndah-hatikan menjadi Departemen Sarana Peribadatan, misalnya. Yang mencemaskan kalau kasus harta karun ini bukan ndadi, melainkan politik yang sadar. Kita tak akan pernah tahu sebenarnya Bu Mega yang menyuruh atau tidak. Pernyataan sih tidak. Tapi politik itu kan bau kentut: kita hanya mendengar bunyinya dan menghirup baunya, tidak tahu kenapa kok kentut, kenapa yang kentut si A kok bukan B, makan apa kok baunya begitu, kenapa kentutnya kemarin kok tidak besok.
Sejak lama rakyat bingung mendengar Dana Revolusi, Dana Nusantara, sertifikat di Bank Swiss, uang Brazil, lempengan emas dan platinum, di Nusabarong, Bengkulu, Ungaran, Jember, Labuhan, Cipanas, Bekasi, Mbah Kartosuwiryo masih hidup di pantai Cilacap…..*****