MENU ARTIKEL



Personal Photos

Halaman Utama

Cintaku kepada Aa’

Posted on 2002/9/25 6:58:15
Kalau Pesantren Al-Zaytun yang masyhur dan tokoh LSM macam Adi Sasono kabarnya amat mengaguminya, saya tidak tahu apa-apa, belum pernah datang ke sana dan hanya mendengar berita slentang-slenting. Tokoh utamanya yang besar tinggi gagah - AS Panji Gumilang - mungkin di awal tahun 60an sering saya lihat di daerah Madiun Selatan. AS tentu bukan Amerika Serikat, melainkan - katanya - Abdul Salam.
Hanya itu pengetahuan saya. Selebihnya kagum pada kemegahan fisik pesantrennya. Takjub pada strategi lembunya, taktik kolam ikannya, juga masjidnya yang nanti termewah se Asia Tenggara. Apakah Al-Zaytun itu display dari salah satu jenis kebangkitan Islam, atau icon dari jawaban peradaban Islam terhadap klaim ketertinggalan Islam, atau apa, saya belum tahu. Sebagaimana ada tiga titik Islam - Patani, Wonosobo dan Mindanao - yang merupakan Islamic strategic defence atas disain internasional pemusnahan nilai-nilai Islam dari muka bumi. Semua itu di otak saya masih wallahu a’lam.
Yang saya agak tahu adalah peradaban sandal-sandal di Pesantren Darut Tauhid-nya Aa’ Gym alias KH Abdullah Gymnastiar. Kebesaran kaum santri di Gerlong Hilir Bandung ini dimulai dari disiplin menata sandal di depan masjid atau ketika memasuki majlis apapun di pesantren ini. Kebangkitan Islam dimulai dari istiqamah kebersihan fisik. Karena kalau Masjid dimitoskan sebagai tempat sandal hilang dan pencuri sandal dipukuli ramai-ramai, lupakanlah Islamic Revivalism.
Membersihkan diri dan lingkungan sendiri dulu, baru pantas ikut berpikir membersihkan lingkungannya. Seluruh perikehidupan Aa’ sendiri adalah potret total dari an-nadhofatu minal iman: kebersihan itu sebagian dari iman. Penampilannya klimis - di ruangan tertentu ada foto-foto beliau di masa silam nongkrong gagah di atas motor berat dengan jaket koboinya - wajahnya cakep dan mulus, giginya manis, vocalnya lembut diselingi notasi-notasi nashit : anak-anak muda Bandung terpesona, kaum remaja kota penuh paradigma budaya itu terkesima oleh estetika dakwah Aa’.
Kiai muda ganteng harapan ummat dan bangsa. Sesudah ummat Islam dan bangsa Indonesia dikecewakan bertubi-tubi oleh pemimpin-pemimpinnya - maka Aa’ adalah semburat matahari di cakrawala timur, di ujung kegelapan malam yang berkepanjangan.
Ia membangun apa saja yang dibutuhkan oleh pembangunan kembali kepercayaan diri Kaum Muslimin, dengan izin Allah. Pesantren yang indah dan cerdas. Koperasi dan workshop managemen qalbu. Radionya menyiarkan semangat hidup, kegembiraan dan kedamaian. Bahkan pasukan Aa’ menelusuri jalanan-jalanan kota Bandung sebagai Pasukan Kuning. Tempat-tempat perjudian dan bandar-bandarnya diserbu dengan sikap hikmah dan komunikasi yang demokratis (bil-hikmah wal mau’idhatil hasanah).
Saudara saya 15 orang dan usia Aa’ kira-kira sepantaran dengan adik ke-5 saya, namun prestasi keduniaannya cemerlang dan investasi keakhiratannya nyata di depan mata siapapun. Betapa tidak sebanding dengan ketidak-menentuan hidup saya sendiri: di dunia dikepung hardikan dan kecurigaan, sementara celengan akhirat saya juga tidak begitu jelas. Pernah dua tiga kali saya diminta berceramah di depan santri-santri Aa’, namun itu hanya menunjukkan bahwa tidak ada pada saya sesuatu yang pantas untuk saya sumbangkan, sehingga kemudian saya mengerti bahwa sayalah yang butuh belajar. Maka kali berikutnya saya datang dengan teman-teman dari Jogja dan Jakarta untuk sekilas-sekilas belajar di Darut Tauhid.
Aa’ dan para santrinya mampu melakukan banyak kebaikan yang saya tidak sanggup melakukannya. Sementara saya masih begitu banyak melakukan ketidak-baikan yang mereka beristiqamah menghindarinya. Namun kekotoran dan kegagalan tidak mengurangi hak saya untuk mencintai, merindukan dan melambai-lambaikan tangan kepada Aa’.
Beliau pernah bertanya kepada saya mengenai sejumlah kalangan di Bandung yang bermaksud mencalonkannya menjadi Walikota. Ini mengingatkan saya pada RUU Keistimewaan DIY yang sedang dikerjakan sambil menjajagi pendapat rakyat Jogja : apakah sebaiknya Gubernur DIY dipilih secara demokratis ataukah itu disepakati sebagai hak Sri Sultan. Dalam suatu diskusi di teve local, kebanyakan rakyat asli Jogja yang menelpon umumnya menghendaki Sri Sultan menjadi Gubernur permanen, tetapi saya guyoni: “Saya juga setuju kalau Sri Sultan jadi Gubernur terus. Cuma apa ini tidak berarti kita menghalangi karier beliau. Bagaimana kalau suatu waktu Sri Sultan harus jadi Presiden RI?”
Mereka menjawab - “Kan ada Wagub Pakualam yang bisa menggantikan”
“Kalau Pakualam jadi Wapres gimana?”, guyon saya lagi.
Maka terhadap Aa’ saya bangga orang Bandung menokohkannya dan berpikir agar beliau menjadi Walikota. Saya bilang eman-eman dong.
Apakah ulama, pastor, tokoh agama, intelektual - jangan sampai menjadi tokoh birokrasi negara, dan kalau Aa’ menjadi Walikota lantas disimpulkan ia kehilangan idealisme? Kalau begitu cara berpikirnya, maka silahkan maling-maling saja yang memimpin negara.
Tapi ternyata ketika ada gagasan Aa’ menjadi Walikota, entah kenapa hati saya sedih. Juga ketika saya mendengar kabar bahwa Aa’ bergabung dengan Partai Amanat Nasional. Saya tidak punya kesimpulan apa-apa, cuma ada yang berdesir di lubuk hati saya.*****