MENU ARTIKEL



Personal Photos

Halaman Utama

JIHAD VS JIHAD

Posted on 2002/11/2 0:30:30
Ada sepuluh tokoh sejarah dari Jombang yang di masa hidupnya menjadi penghuni panggung utama sejarah Indonesia.. Hadlratus Syeikh Hasyim Asy’ari pendiri organisasi keagamaan terbesar senusantara sampai hari ini: Nahdlatul Ulama. Cak Durasim, seniman besar yang kesenian pasemon-nya melawan Jepang menjadi benih dari kesenian ludruk yang hidup sampai hari ini. Ludruk kemudian mengalami penyempitan kapitalistik dan menjadi Srimulat, sementara Cak Durasim menjadi syahid karena perlawanan politiknya terhadap kolonialisme dan imperialisme kekuatan asing.
Kemudian beliaunya KH Wahid Hasyim, yang karena kelembutan sikapnya maka lawan-lawan politiknyapun segan dan cinta kepadanya.. Kemudian Asmuni bin Asfandi, termasuk penghuni utama hati dan kenangan hidup kita. Dan bapak beliau, Pak Asfandi, adalah pendiri Gambus Misri. Ludruk lahir dari komunitas abangan, gambus misri lahir dari komunitas santri. Ludruk pakai musik dan gamelan Jawa Timur, gambus misri pakai musik melayu setengah Arab. Ludruk mengambil lakon-lakon tradisional Jawa, gambus misri ambil tema-tema dari sejarah Islam. Ludruk hidup sampai sekarang, gambus misri harus terus menerus repot dengan budaya Islam fiqh, sampai akhirnya mati. Tetapi itu tidak mengurangi nilai dan kemuliaan ijtihad Pak Asfandi.
Lantas Gus Dur, KH Abdurahman Wahid, yang banyak ummatnya menyebut “la roiba fihi” – tak ada keraguan sedikitpun tentangnya. Yang orang Mesir sangat mencintainya, sehingga kejatuhan Gus Dur dari kursi kepresidenan dikaitkan dengan gagalnya kesebelasan Mesir pra Piala Dunia memenangkan pertarungan melawan Aljazair. Skore 1-1. Ini membuat nama Gus Dur jadi kacau. Kalau skore 1-0, maka angka hanya Wahid. Kalau 1-1 jadinya Wahid-Wahid. Saking jengkelnya orang Mesir terhadap kejatuhan Gus Dur, sehingga kalau di warung mereka selalu meneriakkan nama Gus Dur keras-keras: “Gahwah wahid! Syay wahid! Thaam wahid!!!….”
Terus Cak Nur. Nurkhalis Madjid. Dunia pemerhati peta pemikiran dunia sebelah mana tak kenal dia. Seorang pelopor pembaharuan pemikiran Islam Indonesia. Waktu usianya belasan tahun di pesantren Gontor ia sudah casciscus bahasa Inggris Arab Jerman Jepang. Sedemikian pandainya Cak Nur, sehingga batuk dan dehemnyapun ilmiah, bahkan setiap helai rambutnyapun bisa memantulkan cahaya ilmu.
***
Apakah Anda ingat Gombloh? Country singer perokok lokomotif sambung menyambung namun suaranya bisa melengking bagai Robert Plant atau qari’ Abdul Bashit bin Muhammad Abdus Shomad. Lagunya “Indonesia Merah Darahku” sering kita perlakukan seolah-olah ia lagu wajib nasional. Manusia sangat merdeka. Pecinta rakyat kecil dan membaur dalam kehidupan mereka. Pernah honornya dibelikan ratusan BH dibagi-bagi di perkampungan prostitusi. Bayangkan Gombloh naik becak dengan tumpukan keranjang BH, dia sibuk melemparkan BH itu satu persatu ke setiap rumah prostitusi.
Dan Wardah Hafidh, putri seorang tokoh Masyumi, perempuan lembut berwajah imut-imut dengan ekspresi seorang gadis pemalu, siswi Muallimat Muhammadiyah, jagoan bahasa Inggris IKIP Malang dan tamatan Ballstate University, Muncie City, Indianapolis, USA. Aktivis Urban Poor yang sering bikin geger Jakarta dan membuat Sutiyoso pusing kepala. Kekalahan Wardah dari Sutiyoso hanya pada jumlah uangnya. Pemberontak dari skala yang terkecil sampai yang terus lebih besar. Kakak dari seorang aktivis yang keteguhan prinsipnya membentur kemapanan rezim sehingga ia tampak sebagai orang yang bikin ribut di sebuah kantong kepolisian Bandung -- sehingga akhirnya dieksekusi di era Suharto.
***
Then, tsumma al’asyirah, yang kesepuluh: tak lain tak bukan dialah Ustadz Abu Bakar Baasyir, arek Mojoagung, Jombang ujung timur, tetangganya Mojolegi, Mojosongo, Mojongapit dst dalam lingkaran kenangan Mojopahit. Keturunan Arab: Mojopahit adalah negara multi-etnik, bahkan ketika Demak menggantikan kekuasaannya: gubernur terakhir Majapahit adalah Nyoo Lay Waa – yang mati sial ditawur dibunuh rakyatnya sendiri karena dianggap gagal mengembalikan kejayaan Majapahit.
Beliau dilahirkan di lingkar wilayah sensitivitas sejarah, penuh kenangan tentang pertentangan dan perbenturan. Bahkan di jaman Belanda: dari Mojoagung inilah akhirnya Kawedanan Jombang menjadi Kabupaten, melalui peperangan yang tidak ringan. Ustadz Abu tamatan Pondok Modern Gontor Ponorogo. Bikin pesantren di Ngruki Solo yang kurikulumnya, filosofi, rangka keilmuan dan penyikapan zamannya disebut “Gontor Plus”. Mendidik santri-santrinya untuk tidak sekedar menjadi ‘alim (mengetahui ilmu-ilmu Agama). Pun tidak sekedar menjadi ‘arif (pelajaran mendalami ‘irfan, pengetahuan keakhiratan yang tahapan-tahapannya disebut ma’rifat. Santri-santri Ngruki juga dididik untuk menjadi mujahid (pejuang), yang cita-citanya adalah jihad menuju derajat tertinggi pencapaian dan kebahagiaan, yakni “almautu fi sabilillah” , mati di jalan Allah.
Oleh karena itu, dari sudut tauhid, tasauf dan prinsip ubudiyah murni – yang tepat untuk kita ucapkan kepada Ustadz Abu adalah “Congratulation!”. “Mabruuk!”. “Barakallah”. “Yarhamukallah”. Selamat bahwa beliau telah sukses menapak hampir ke puncak kemuliaan hidup di pandangan Allah. Seorang yang berada bersama beliau dalam keributan penangkapan di RSU Muhammadiyah Solo menceritakan ketika itu Ustadz ingin sekali ditembak oleh Polisi, supaya syahid fisabilillah.
Soal penafsiran atas nilai-nilai Islam, pilihan-pilihan modus perjuangan yang berbeda-beda, radikal atau moderat, konservatif atau liberal – sangat dimerdekakan oleh Islam – dan itu soal lain. Yang juga baik menjadi pelajaran bersama adalah bahwa jalan lurus dan kaku yang diterapkan oleh Ustadz Abu, telah tidak saja membuatnya masyhurun fis-sama (terkenal di langit), tapi juga masyhurun fil-ardl (terkenal di bumi).
***
Bagi Ustadz Abu, hanya ada tiga titik: Allah, dia dan Amerika Serikat yang selalu disebutnya “kafir”. Pernah saya usulkan beliau dimohon meluangkan waktu sehari saja, saya minta “Abu Nawas” – seorang setengah ompong berambut putih berkumis berjenggot tebal putih, sangat menggiurkan untuk nongol di layar teve – untuk bersama Ustadz Abu mendatangi Amin Rais di MPR, Akbar Tanjung di DPR, Megawati di Istana, juga sejumlah menteri. Ustadz Abu diam saja, biar si Abu Nawas yang omong menuntut pertanggungjawaban kenegaraan pihak-pihak tersebut atas warganegaranya yang dimusuhi tetagga.. Supaya fokusnya bukan hanya Ustadz Abu, tetapi melebar menjadi multifokus, Menjadi wacana pendidikan politik, membangunkan kesadaran tentang martabat bangsa dan negara. Ini bukan hanya soal Ustadz Abu, ini adalah soal semua Ummat Islam dan Bangsa Indonesia.
Abu Nawas saya pilih karena dia memang tidak punya sungkan, tidak perdulian, bisa omong apa saja seenaknya. Ia pakai topi pejuang Afganistan, pakai gamis Arab yang dibuka bagian depannya, sehingga tampak kaosnya yang bertuliskan “CIA”. Malam sesudah pekerjaan-pekerjaan panjang itu saya sarankan ia menginap di salah satu hotel mewah, duduk-duduk di kafe dan minum bir atau wishky seperti kebiasaannya. Lumayan orang akan berpikir: “Lho, kok Al-Qaeda minum wishky?”
Akan tetapi hal itu tidak terjadi karena Ustadz Abu sudah sangat khusyu dan mendalam konsentrasi prinsipnya. Thariqat atau strategi perjuangannyapun sudah tertanam di lubuk hatinya. Beliau tidak bisa menerima “huruf” lain karena jiwanya sudah dipenuhi oleh huruf-huruf Al Qur’an yang ditafsirkannya menjadi sebagaimana yang kini disaksikan oleh seluruh dunia. Ustadz Abu tidak akan mundur. “Kalau saya dibunuh, berarti saya syahid. Kalau saya dipenjara, berarti saya cuti. Dan kalau saya dibuang diasingkan, berarti saya tamasya”.
Bahkan seorang pecinta Ustadz yang selalu berada di sekitar perjalanan beliau pernah menabrak apakah saya bersedia membuka pintu rumah saya untuk Ustadz Abu kalau beliau dikejar-kejar oleh penguasa. Saya bilang tafadhdhol. Silahkan. Kebetulan hari berikutnya ada isyu merebak bahwa pasukan Islam melakukan sweeping kepada turis Amerika dan warga kulit putih lain. Seorang yang lain menelpon saya apakah pintu rumah saya terbuka untuk menampung teman-teman Amerika yang akan di-sweeping, saya bilang “with all my pleasure” . Silahkan. Saya membayangkan jika itu terjadi pada hari yang sama, mungkin ada baiknya saya belikan kartu domino atau remi, agar Ustadz dan teman-teman Amerika bergurau menghiasi persaudaraan sebagai sesama manusia.
Tetapi itu juga tidak terjadi, karena penampung ustadz Abu hanya Allah, sementara sweeping itu juga hanya isyu.
***
Ada jihad, ada ijtihad, dan ada mujahadah. Jihad pengertiannya sangat luas dan umum. Tukang becak yang menggenjot pedal becaknya dengan landasan niat yang tepat dalam konteks nafkah anak istri, serta perwujudan rasa syukur dan tanggung jawab kepada Allah yang menganugerahinya sepasang kaki dan tangan yang kokoh – adalah mujahid (pelaku atau subyek dari jihad). Pekerjaan apa saja, dari mencangkul sawah sampai menjalankan tugas sebagai Presiden, adalah jihad – sepanjang dikonsep dalam pertalian yang suci dan mulia dengan dunia dan Tuhan.
Cak Nur secara lebih spesifik kita sebut mujtahid (pelaku atau subyek dari ijtihad), meskipun ijtihad juga salah satu bentuk dari jihad. Ijtihad adalah jihad intelektual, tradisi dan semangat innovasi di bidang pemikiran, eksperimentasi menuju penemuan baru, perjuangan kasyful hijab (menguak rahasia) menuju paradigma-paradigma baru. Adapun mujahadah adalah jihad spiritual: berdoa, berwirid, hizib, mengenangkan terus menerus suatu prinsip.
Apakah ngebom itu jihad? Mungkin. Jumlah tafsir terhadap Islam bisa sebanyak jumlah pemeluknya. Ada tafsir kulit yang dangkal, ada tafsir daging yang empuk, ada tafsir urat syaraf yang lembut, ada tafsir tulang yang keras dan kaku. Ada yang produk tafsir seluruhnya adalah tulang, ada yang seluruh sikapnya adalah daging. Ada juga yang lengkap, dalam konteks ini ia daging, konteks itu ia tulang.
Ada yang menilai orang lain adalah kafir dan menyebutnya kafir, ada yang meskipun jelas orang di depannya pincang kakinya tapi tak dipanggilnya “Hai, Pincang!”. Semua dibuka pintunya oleh Islam. La ikraha fiddin, tak ada paksaan dalam agama, Allah yang menjadi Hakim Sejati. Bahkan semua yang dilakukan oleh AS adalah juga jihad dalam tafsir dan bahasa yang berbeda, dan salah satu hasilnya adalah kedua belah pihak menuduh yang lainnya teroris. Semua pihak terlibat dalam sejarah penafsiran, dengan segala kejujuran dan kecurangannya, dengan hati suci maupun nafsu.
Karakter utama Muhammad sendiri adalah kelembutan. Beliau bukan hanya tidak berkirim surat “Kepada Yth. Raja Kafir” , bahkan juga bersedia menanggalkan gelar “Rasulullah” dengan hanya mencantumkan “Muhammad bin Abdullah” . Ada firman Allah “jadilhum billati hiya ahsan”: perlakukanlah musuhmu dengan sebaik-baiknya. Bahkan iblis setan menyatakan dalam Qur’an sesungguhnya mereka takut kepada Allah, sehingga mereka punya potensi juga untuk memperoleh penghormatan.****