MENU ARTIKEL



Personal Photos

Halaman Utama

Berpendar-pendarnya Matahari Islam

Posted on 2002/12/16 3:50:35
Saya sedang menikmati pemandangan indah matahari terbit kebangkitan Islam di Indonesia.
Di awal abad 20an, seorang Kiai mengantarkan santri-santrinya yang akan berangkat haji. Tak hanya mengantar ke pelabuhan, tapi juga menyempatkan masuk kapal untuk memberi bekal perjalanan.
Ketika Sang Kiai lewat di dek bawah, dilihatnya seorang Ibu sedang dondom, menambal baju dengan benang dan jarum, sambil melantunkan wirid-wirid. Pak Kiai adalah ahli wirid, Ulama mumpuni dan seorang mursyid thariqat. Ia ngerti persis ABC-nya wiridan. Maka ia mendekat ke Ibu itu dan berkata: “Bu, kalimat apa yang Ibu wiridkan itu? Tidak jelas bunyi kata-katanya, apalagi artinya. Mohon Ibu tidak bermain-main dengan wirid”.
Si Ibu, tentu saja, lantas terhenti wiridnya, meneruskan dondom dengan wajah ketakutan dan salah tingkah. Kemudian Sang Kiai berlalu, dan setelah menyalami ummat dan santri-santrinya, ia turun ke pelabuhan. Tatkala kapal bergerak, Pak Kiai melambai-lambaikan tangan di ujung pelabuhan. Tiba-tiba tampak olehnya seseorang terjun dari kapal, berlari di atas air, menuju tempat di mana Sang Kiai berdiri.
Ternyata si Ibu yang wiridannya salah itu. Terkesiap wajah Pak Kiai dan menggigil badannya menyaksikan irama kaki si Ibu berlari pelan ke arahnya. Sebelum Pak Kiai sempat melahirkan apa-apa dalam pikirannya, si Ibu telah sampai di hadapannya, bersimpuh dan berkata: “Pak Kiai! Pak Kiai! Tolong ajarkan kepadaku bagaimana bunyi wirid yang benar…”
Pak Kiai jatuh pingsan. Dan nanti sesudah siuman, ganti ia bersimpuh di kaki si Ibu dan melamar agar ia diterima menjadi muridnya.
Siapakah menurut engkau, hari-hari ini, di era mutakhir ini – identifikasi siapakah Pak Kiai itu? Dan si Ibu itu? Perlambang atau amtsal apa dondom itu? Kenapa Ibu, bukan Bapak atau pemuda?
Aku tidak akan serta merta menyusuli pertanyaan-pertanyaan itu dengan jawaban, karena saya tidak akan pernah menuduh engkau tidak cerdas dan tidak peka.

***
Sebagian kecil dari Kaum Muslimin berprihatin dan sedih hatinya atas persangkaan dihancurkankannya citra Ulama dan Kiai, dirusaknya nama baik dunia pesantren oleh kasus-kasus terorisme belakangan ini. Atas nasib Amrozi dan Imam Samodra. Atas seolah terpecahnya kepemimpinan Islam. Berserak-serak dan tercerai-berainya kekuatan Ummat Islam. Atas mitos dan prasangka tentang krisis moral, krisis akhlak, krisis bermacam-macam yang akhirnya disebut krisis total, dlsb.
Tuhan memberi tiga kunci persepsi untuk memahami sesuatu dalam sejarah.
Pertama, sangat gambling, tak perlu ditafsirkan, tinggal diterapkan. Tentu ini bukan terjemahan harfiah firmanNya: “Engkau bergembira oleh suatu keadaan yang sebenarnya membahayakanmu, dan engkau membenci sesuatu hal yang sesungguhnya baik bagimu”. Apa yang kau sangka pengikisan nilai Islam ternyata pembangkitan nilai Islam. Sebaliknya apa yang kau pikir mengibarkan nilai Islam nanti terbukti justru merusaknya. Apa yang kau kira deislamisasi sesungguhnya memiliki rahasia islamisasi. Sebaliknya apa yang kau yakini sebagai islamisasi nanti akan kau jumpai sebagai proses pensirnaan Islam.

***
Kedua, “Jika datang pelaku kefasikan mengabarkan sesuatu, hendaklah engkau ber-tabayun, agar engkau tidak merugikan suatu kaum dan kelak engkau akan menyesal sendiri”. Kabar atau berita itu bisa celetukan teman di kantor. Bisa obrolan dan warung. Bisa berita Koran, teve atau media massa lainnya. Bisa selebaran gelap di bawah lubang pintu depan rumah kita. Bisa buku-buku, jurnal, artikel. Bisa juga pengajian, ceramah dan halaqah. Bisa juga dari dunia cyberspace, SMS atau chatting. Juga bisa hasil bersemadi di Sungai Kenongo atau Gunung Lawu. Atau bahan-bahan kuliah (pelajaran-pelajaran universitas yang universal yang kelak menghasilkan Sarjana Universitas) atau juz’iyah (bahan-bahan pelajaran fakultas yang fakultatif spesialistis yang kelak memproduk Sarjana Fakultas), atau apapun saja.
Tabayun kira-kira maksudnya cek & ricek. Relatif tak ada yang perlu dicemaskan. Buku-buku gampang mencari sasaran tabayunnya. Setiap berita di media massa sudah berulangkali mengalami proses cek & ricek. Sumber berita, misalnya Polri, adalah juga institusi resmi yang jelas alamat dan petugasnya, gampang dimintai cek & ricek. Kalau Ummat Islam masih frustrasi tentang apa yang dilakukan oleh Polri, tentu karena malas melakukan tabayun di kantor polisi.
Berita-berita koran, teve dan media apapun, narasumbernya jelas, bisa dikejar ke tempat yang tidak susah dicari. Jadi kalau Polri menangkap Amrozi dan Samodra sebagai tersangka pemboman Legian, percayalah. Polri itu institusi yang kita biayai sangat mahal, jadi eman-eman kalau tidak kita percaya. Kenapa kita malah ribut dengan tahayul tentang Dimona Micro Nuclear, jenis bom yang tak akan bisa didapatkan oleh kelompok Islam manapun dan yang ledakannya melahirkan akibat-akibat yang bahkan tak terbayangkan oleh banyak ahli bom.
Bahkan Anda jangan ragu mempercayai jika suatu hari Amrozi memberikan pengakuan bahwa sesungguhnya dia jualah yang meledakkan gunung Papandayan.

***

Kunci ketiga sangat padat: “Allah memberimu rejeki melalui jalan yang tak kau duga-duga”.
Nashrudin Hoja dalam perjalanannya mampir di sebuah masjid untuk sholat dluhur. Keledainya diikatkan di pagar depan masjid. Sesudah shalat ternyata keledainya hilang. Ia bertanya ke petugas masjid dan dijawab: “Memang tadi ada laki-laki membawa keledai itu tapi kami tidak tahu bahwa itu adalah milik Tuan”.
Nashrudin mafhum, kemudian ia berwudlu lagi, masuk masjid dan melakukan sujud lama sekali. Orang-orang di masjid bertanya-tanya apakah Nashrudin sedang melakukan serangan rohaniyah, hizib misalnya, supaya pencuri keledainya dilaknat Allah, patah kakinya, atau sekurang-kurangnya sakit gatal-gatal seluruh tubuhnya. Maka seusai Nashrudin bersujud kemudian keluar dari masjid, mereka bertanya: “Apa yang Tuan lakukan tadi? Apakah Tuan melaknat pencuri keledai Tuan?”
Nashrudin menjawab: “Saya tadi itu melakukan sujud syukur. Sungguh saya berterima kasih kepada Allah bahwa hanya keledai saya yang hilang, sedangkan diri saya ini tidak ikut dicuri orang…”
Ini bukan hanya bermakna kritik kepada hilangnya kepribadian manusia dicuri oleh kekuatan nafsu kekuasaan, keserakahan kapitalistik, ditelan ideologi dan bukan dia me-manage ideologi pilihannya, dehumanisasi oleh industri, depersonalisasi oleh komunalisme, lenyapnya kemanusiaan oleh kepandaian atau oleh kebodohan. Tak hanya itu. Kisah Nashrudin ini juga bermakna sufistik, misalnya bahwa rejeki itu tidak hanya berbentuk memperoleh atau mendapatkan, tapi bisa juga berbentuk kehilangan. Keuntungan tidak selalu berarti memiliki, tapi bisa juga pada saat tidak memiliki. Kemenangan tidak hanya berarti menang dalam perebutan dan kenduri, tapi kemenangan malah mungkin terjadi pada seseorang yang berpuasa dari perebutan, pesta pora dan kerakusan.
***
Jadi apa yang perlu dicemaskan dari keadaan Ummat Islam di Indonesia? Kalau engkau dikalahkan di dunia, toh engkau menang di akhirat. Dunia cuma sekejap, akhirat abadi. Apa keberatanmu?
Kalau namamu dicoreng kehinaan di bumi, engkau memperoleh kemuliaan di langit. Bumi hanya mikro kosmos, sedangkan langit makro kosmos. Apa alasanmu untuk tidak bersyukur?
Semakin namamu dihancurkan, ditangkap, dihukum di dunia, semakin popular dan tinggi indah kursimu di sorga. Nikmat Allah yang mana yang masih engkau dustakan?
Allah menagih jihadmu, dan tidak mempertanyakan kemenangan duniawimu. Allah menantikan syahidmu, dan membayar penderitaan duniamu dengan pendaran-pendaran cahaya wajahNya sendiri yang abadi menggiurkanmu.
Katakanlah kita mulai kehilangan Buya Hamka, kita masih punya Quraisy Syihab. Kita kehilangan Muhammad Natsir, toh ada Yusril Ihza Mahendra. Mulai kehilangan Cak Nurkhalis Madjid, kita masih punya Ulil Abshar Abdalla. Umpamanya kehilangan Ustadz Zainudin MZ, kita punya yang lebih dimensional: Aa’ Gym. Kalaupun akhirnya nanti Gus Dur udzur, kita punya Saifullah Yusuf.
Kita punya “Ibu-ibu dondom” sangat banyak. Pemikiran-pemikirannya mungkin menggelisahkan dan menjengkelkan Ulama-ulama tua, tapi lambat laun orang-orang tua akan harus belajar kepada anak-anaknya. Ibu dondom itu letaknya di pinggir, tak terlalu dianggap ada kekentalan Islamnya, tapi nanti akan ternyata ia sanggup berlari di atas air, paradigma dan ijtihad keilmuannya ternyata memang fenomenologis – hanya saja kita orang-orang tua terlambat memahaminya.
Kita punya banyak Nashrudin-Nashrudin. Kecenderungan sikapnya seolah bertentangan dengan tradisi konvensional kaum tua. Padahal sungguh kritik mereka sangat menohok. Setelah Kaum Muslimin “kehilangan keledai”, Nashrudin-Nashrudin ini seakan tidak menunjukkan sikap militan untuk mengutuk si pencuri. Mereka malah kelihatan seperti melakukan sujud syukur atas tertangkapnya Ustadz Baasyir, Amrozi dan Samodra. Bahkan terdengar seakan memuji-muji pihak yang dianggap musuh dan justru kaannahum mengutuk saudara-saudaranya sendiri seagama.
Itu semata-mata karena model kritisisme Nashrudin memang mempersyaratkan kecerdasan pikiran tingkat tinggi, kepekaan dan kejernihan hati yang sungguh-sungguh – untuk mampu menangkapnya. Itulah sebabnya “yang kau anggap baik ternyata berbahaya, yang kau anggap buruk malah sebenarnya baik”. Islam Liberal malah dicurigai, sementara Islam Sensual justru dibiarkan saja merajalela di mana-mana dari kampus-kampus hingga mal-mal.

***