JABAL
MUSA : 2750 TRAP CURAM MENUJU TANGIS
Posted on 2003/4/16
17:31:49
Kalau tidak karena ada Nabi Musa di puncak sana, tak
maulah capek-capek naik ke Gunung Katerina alias Jabal
Musa. Dari pos berhentinya bis menuju awal pendakian
gunung yang pertama saja mending jalan kaki
Jombang-Surabaya. Setelah itu harus mendaki jalan naik
rata-rata 30 derajat, berkelok-kelok, melintir-melintir
seperti menelusuri badan ular raksasa yang amat sangat
panjang ular raksasa yang meliliti dua gunung.
Jalanan sangat kering, debu dan batu-batu. Mungkin ada
satu dua helai rumput berwarna coklat kering, tapi jangan
bayangkan ada warna hijau, jangan berharap ada satu
tanaman atau apalagi pepohonan yang rimbun sebagaimana
gunung-gunung di tanah air.
Udara sangat dingin, angin berhembus menusuk-nusuk
tulang. Semakin ke atas semakin deras angin menyerbu.
Semakin ke atas semakin mendekati titik beku
sekitar 2 atau 3 derajat Celcius. Siapakah rombongan gila
yang mendaki gunung Musa di musim dingin ini? Apakah
mereka pendaki-pendaki gunung yang berpengalaman? Kenapa
tidak menunggu musim panas, agar badan tidak membeku?
Apakah mereka berpakaian rangkap 18? Apakah mereka
menyangka angin Firaun tidak mampu menembus 18 lapisan
kain tebal? Padahal baru beberapa hari yang lalu mereka
kepanasan di Cengkareng?
Di ujung ekor sang ular di leher gunung yang kedua,
tiba-tiba, sesudah ada lorong panjang yang membelah
batu-batu raksasa terdapat jalanan yang menurun.
Semua warga Kiai Kanjeng bersorak-sorak! Sesudah
pendakian sangat panjang yang sangat melelahkan dan
mencopot dengkul kini jalanan sudah menurun,
berarti inilah puncaknya!
Mereka menghentikan langkah, duduk di batu-batu
sekenanya, atau menyandarkan punggung, Yudi bahkan
langsung melingkar, tidur, dan mengorok. Di beberapa
bagian jalanan, ketika rombongan beristirahat Yudi
punya keahlian sendiri: ada beberapa menit istirahat ia
gunakan untuk mengorok. Luar biasa bahagia hidupnya.
Tapi ternyata rombongan itu GR. Di ujung jalanan yang
sedikit menurun itu tampak samar-samar ada jalanan
batu-batu sangat curam yang menaik sampai ke langit...
Rombongan masih harus mendaki gunung ketiga, gunung yang
sebenarnya. Kaki mereka yang rasanya bukan hanya sangat
pegal-pegal tapi juga rasanya sudah tidak ada kaki
masih harus mendaki trap-trap batu curam 60 derajat ke
atas sebanyak 2750 trap. Mampus mampuslah mampus.
Almampusu malmampusu wama adroka malmampus...ini
benar-benar kal-ihnil manfuuuusss....
Kalau sesudah mendaki dua gunung lantas di 2750 trap ini
Anda sanggup menapak naik langsung sampai 20 langkah
tanpa berhenti, berarti Anda belum punya penyakit dalam
dan kaki Anda masih bisa dipakai untuk pertandingan
sepakbola. Kalau Anda keberatan perut, jantung tidak
fresh, atau ada suatu penyakit dalam tubuh
berhentilah sebelum naik trap, cari onta dan suruh dia
mengantarkan Anda turun ke bumi.
Kalau 10 langkah berhenti 10 langkah berhenti masih bisa,
cobalah mendaki sampai tuntas. Saya dirahmati Allah
karena berjalan bersama Ustadz Jamal dari Departemen
Kebudayaan Mesir, yang badannya besar dan agak gemuk
sehingga sangat kecapekan dan sangat lamban mendaki.
Bersama kami juga ada Ustadz Muhammad Nur Shamad,
Atdikbud KBRI yang juga selemah saya. Tidak tega saya
meninggalkannya. Nanti pasti saya akan kalah duluan
sampainya ke puncak dan saya punya alasan :
"Aduh saya tidak tega sama Ustadz Jamal....".
Padahal saya bersyukur mendaki bersamanya, karena kalau
beberapa langkah beliau berhenti, saya juga bersyukur
punya alasan yang indah untuk berhenti. Seakan-akan saya
toleran kepadanya, padahal saya memang benar-benar capek.
Mbak Via bahkan termasuk juara pertama bersama Bobiet,
Cak Fuad dan Irfan. Para juara ini menempuh perjalanan
sekitar 4,5 jam, sempat shalat subuh di puncak, sementara
lainnya ada yang 5 jam ada yang 5,5 jam.
Ananto, Bayu dan Jijit tidak ikut mendaki karena dalam
keadaan sakit. Nia, Yuli dan Roh, juga mengambil
keputusan yang arif: tidur di penginapan, sebab kalau
sampai putri-putri ini ikut naik, lantas resikonya harus
digotong pulang dari atas gunung siapa yang akan
kuat menuruni gunung seram dan medan sangat berat itu
dengan menggendong orang lain?
Yang mengagumkan adalah bahwa SP Joko dan Islamiyanto
sanggup menuntaskan perjuangan sampai puncak.
Seabagaimana Yudi, Islami juga banyak menyempatkan diri
untuk tidur di pos-pos peristirahatan. Sp Joko ternyata
diberi tenaga oleh Allah melalui calon anaknya:
"Hari ini adalah HPL kelahiran anak saya, sehingga
saya berniat tirakat sampai tuntas demi anak
saya...."
Rahmat sempat naik onta di gunung pertama dan kedua.
Semula ia memang berniat tidak berangkat, tapi setengah
saya paksa untuk pergi dari penginapan. Di leher gunung
kedua ia juga sudah memutuskan untuk tidak meneruskan,
tapi saya paksa dan saya pelototi. Akhirnya ia sukses
sampai ke puncak, dan bahkan turunnya berlari menuruni
tiga gunung.
Nevi merasa jari-jarinya lenyap karena berani-beraninya
tidak pakai sarung tangan. Joko Kamto berwirid sepanjang
pendakian "YaaHu YaaHu Yaahu..." dan
tercapai. Giyanto dan Ardani terbiasa hidup keras di
desanya. Yoyok dan semua teman lainnya tidak pernah
kehabisan alasan untuk ndagel dan mengejek diri mereka
sendiri sehingga lulus dengan penuh kegembiraan.
Pakde suntuk khusyu menghayati sesuatu di dalam dirinya
dan hanya ia yang tahu kenapa untuk menaklukkan sesuatu
itu ia mendaki tiga gunung tanpa memakai sepatu atau
sendal melainkan hanya pakai kaos kaki. Dan, tentu saja,
Pakde, gelandang kesebelasan MAS ini lulus dengan mulus.
Bobiet menjadi salah satu juara karena sejak di Jogja dia
sudah mematerikan niat bulat istiqamah total bahwa ke
manapun KiaiKanjeng pergi ia mewajibkan dirinya untuk
berdiri di depan dan tidak akan membiarkan dirinya
berputus asa oleh apapun juga.
Cak Fuad punya metode sendiri. Ia sangat stabil berjalan
naik dan berjalan turun. Konstan, tidak ada keluhan,
tidak tersendat-sendat. Rupanya diam-diam ia
mempraktekkan bahwa ketika naik 2750 trap curam itu kalau
berjalan miring ternyata lebih ringan dan tidak sangat
kelelahan. Di puncak Jabal Musa Cak Fuad mewawancarai
penjual wedangan....Bagaimana orang ini kok jualan teh
kopi di puncak gunung? Kita membawa badan kosongan saja
mau mati rasanya, lha dia membawa semua peralatan
warungnya ke sini bagaimana caranya?
"Bapak ini bukan hanya seorang penjual minuman. Dia
mengerti sejarah, hapal ayat-ayat dan memiliki logika
berpikir yang tidak kalah dibanding profesor-profesor
ilmu Agama di Indonesia. Dua minggu dia jualan di atas,
dua minggu ia bersama keluarganya di bawah sana..."
Yang Cak Fuad tidak mengerti adalah Mbak Via itu mendaki
demikian beratnya, bawa kamera, dan sepanjang pendakian
terus omong bercerita-cerita dan melucu. Padahal omong
satu kalimat saja irama napas akan terganggu karena
sepanjang 5 jam itu kami semua dalam keadaan
tersengal-sengal.
Dan ketika kami maiyahan di Musholla, setapak di atas
tempat Nabi Musa AS bertapa melakukan uzlah 40 hari
Mbak Via untuk pertama kalinya berbicara agak
panjang. Sambil menangis mengguguk-guguk, dan memang
semua yang berbicara pagi itu di puncak Jabal Musa, tak
seorangpun yang tak menangis. Mbak Via menyatakan rasa
syukur kepada Allah bahwa delapan tahun terakhir dalam
hidupnya ini Allah menganugerahkan pengalaman,
nilai-nilai, kebahagiaan dan segala sesuatu yang luar
biasa nikmatnya yang tak mungkin ia dapatkan jika
ia menjadi artis di Jakarta.
Memang demikian pulalah yang diperoleh oleh Kiai
Kanjeng....pengalaman-pengalaman sosial, spiritual,
kultural, yang luar biasa, yang sangat luas skalanya,
yang sangat multi-dimensional. Tidak sebagaimana layaknya
grup musik. Jangankan ketika di Indonesia: maiyahan dan
main musik di pinggir hutan bersama blandong-blandong, di
Dolly tempat pelacuran terbesar se Asia Tenggara, di
hotel-hotel mewah, di gedung-gedung tinggi, di kalangan
jetset, di desa-desa terpencil, di kampung-kampung kumuh
di mana tempat sampah disulat menjadi panggung, di tambak
ikan, di perahu antar pulau, di pesawat, di
gunung-gunung, bersama pejabat dan tukang becak, bersama
pengusaha dan preman-preman.....
Bahkan selama di Mesir KiaiKanjeng berjumpa dengan
penonton umum di Cairo, pelajar-pelajar dari TK sampai
universitas di Ismailia, para VIP di Alexandria,
mengiringi penyanyi-penyanyi di AlFayoum, outdoor bersama
Ibu-Ibu di Tanta, segala macam segmen masyarakat. KK
maiyahan di perahu sungai Nil, di sisi piramid-piramid
dan spinx, di Istana Faruq, di pasar, di jalanan-jalanan,
jangankan lagi di Masjid maqam Imam Syafii, Imam Badawi,
Imam Busyiri, Imam Husein....
Di puncak Musa itu rasanya seperti Mi'raj. Kalau mendaki
Semeru atau Merapi, ada siapa di atas sana? Di sinilah
Musa mengambil jarak dari kaumnya yang bikin pusing, yang
ia titipkan pada Harun, tapi kemudian dikhianati oleh
Samiri. Di sisi tembok batu itulah Musa bersemedi. Allah
membentaknya dengan meledakkan gunung sampai beliau
pingsan tampak benar bekas ledakan itu:
gunung-gunung anakan, yang bentuk dan teksture
bebatuannya seperti cair, karena dulunya adalah lava-lava
atau seperti bulatan-bulatan lendir raksasa...
Kemudian Musa turun dari puncak ini, kemudian berjalan
sekitar 1300 km mencari Khidlir.....
Ketika sekitar pukul 9 pagi, usai maiyahan, kami turun
--- ya Rabb, tampak betapa jauhnya kami di atas.
Memandang ke bawah, gigir-gigir batu, trap-trap jauh jauh
jauh ke bawah, dan ini baru satu gunung. Tentu saja kami
melangkah turun dengan penuh kegembiraan, tapi siapapun
yang punya kecerdasan segera tahu bahwa perjalanan turun
ini juga bukan perjuangan yang ringan.
Turun dari trap ke trap, kemudian masih melingkar-lingkar
meliuk-liuk di dua gunung berikutnya. Dan ketika sudah
menyelesaikan tiga gunung, ternyata ularnya masih sangat
panjang dan tampak dari kejauhan. Ya Allah, kaki kami
harus melangkah sekian ribu kali lagi menuju ke planet
Mars nun jauh di sana itu.....
Dan ketika kami menoleh ke atas, kami hampir pingsan:
Bagaimana mungkin kita tadi sampai di atas sana?
Memandang ketinggian gunung pertama saja sudah
awang-awangen, padahal Jabal Musa yang bertrap-trap itu
tak kelihatan dari kerendahan di balik gunung yang
pertama. Ya Allah, kalau kami mendaki di siang hari, dan
sambil berjalan tampak betapa tinggi dan jauh yang harus
kami tempuh....demi Allah kami akan dipenuhi oleh rasa
putus asa. Ya Allah, jika tadi malam mata kami bisa
melihat ke atas sana, tak mungkin kami sanggup
menempuhnya...kami hanya akan titip salam untuk Nabi
Musa.
Ya Allah kami bisa sampai di puncak Gunung Kalimullah-Mu
hanya dengan dua dorongan. Pertama, kerinduan untuk duduk
di tempat uzlahnya Musa AS. Kedua, ketidak-tahuan bahwa
ternyata tempatnya begitu jauh dan medannya begitu berat.
Ya Allah kami bisa bertahan untuk meneruskan mendaki,
pertama karena semangat spiritual. Kedua, karena
alhamdulillah ada warung-warung minuman di sejumlah pos,
ada rokok dan banyak teman. Itupun jalanan yang kami
tempuh sudah ditata rapi. Sedangkan Musa-Mu naik mencari
jalan sendiri, tanpa warung, tanpa rokok, hanya berbekal
iman dan kerinduan kepadaMu.....(CN)
|