PANTAT
INUL WAJAH KITA SEMUA
Posted on 2003/5/9
19:40:51
Pak Haji dan Ananda Inul
Di wilayah kerajaan dangdut, Inul adalah warganya sang
Raja Dangdut, atau mungkin lebih intim kalau kita sebut
anaknya Rhoma Irama. Ia berada dalam asuhan, ayoman dan
perlindungan bapaknya. Kalau si anak benar, bapak
mensupportnya. Kalau anak salah, bapak mengingatkannya.
Kalau anak jaya, bapak bergembira. Kalau anak terpuruk,
bapak menolongnya.
Kalau bapak beranggapan bahwa anak melakukan kesalahan,
tidak tiba-tiba bapak dan seluruh keluarganya mendatangi
Pak RT dan memanggil para tetangga untuk mengumumkan
bahwa anak itu durhaka sehingga dputuskan untuk tidak
diakui sebagai anak lagi.
Apalagi ternyata anak-anak lain sebenarnya juga melakukan
hal sama dengan Inul. Penyanyi-penyanyi dangdut yang
lain, baik yang tampil di teve, dan apalagi yang di luar
itu -- sejak Inul terkenal, setengah mati mencari
pola-pola joget yang diperkirakan bisa bersaing melawan
Inul, yang produknya sama sekali tidak kalah sensual
dibanding Inul.
Kosmos dangdut berguncang oleh kehadiran Inul. Konstelasi
pentas dangdut berubah total oleh adanya Inul. Inul
menjadi bintang gemintang dan yang lainnya menjadi
figuran. Keindahan musikalitas dangdut menjadi sekunder
karena yang primer adalah fenomena budaya ngebor yang
dilansir oleh Inul. Ngebor menantang lahirnya ngecor,
ngezor, ngelor, ngedor...atau apapun.
Ngebor adalah Avant Garde Budaya
Dangdut
Sesungguhnya apa yang dilakukan Inul adalah angka 9 dari
1,2,3...6,7,8 yang sebelumnya secara bertahap dicapai
oleh dinamika musik dan budaya dangdut. Joget ngebor Inul
adalah garda depan dari perkembangan panjang budaya joget
dangdut. Ia bukan anak jadah. Ia anak yang normal,
relevan, dan bahkan setia dan kreatif terhadap aspirasi
budaya joget dangdut. Kalau Anda perhatikan atmosfer
pentas dangdut, orang yang cerdas bahkan berani
memastikan bahwa yang semacam Inul itu akan pasti lahir,
lambat atau cepat.
Tidak ada yang aneh dengan Inul, karena budaya joget yang
berkembang dalam kultur dangdut memang sangat akomodatif
terhadap jenis kultur semacam ini. Dan mohon maaf Pak
Haji sejak awal kebangkitan dangdut memang tidak
antisipatif terhadap fenomena ini. Pak Haji secara tidak
sengaja ikut memupuknya, sehingga mengherankan kalau
seakan-akan sesudah hadirnya Inul beliau baru tahu
tentang budaya goyang aurat dalam pentas dangdut. Sudah
lama Pak Haji terlibat dalam atmosfer goyang semacam itu
dan tidak tampak merasa risih olehnya.
Awal tahun 80an saya pernah menulis tentang pentas
dangdut yang diawali dengan tuturan ayat Qur'an atau
hadist Nabi kemudian musik berbunyi dan penyanyinya
menggoyang aurat, depan maupun belakang. Inul bahkan
hanya mengolah aurat belakang, tidak terlalu membuat kaum
lelaki pingsan sebagaimana kalau yang digoyang adalah
bagian depan -- yang biasanya dikomposisikan dengan mike
yang disodorkan tepat di depan kemaluan si penyanyi.
Sejak puluhan tahun yll masyarakat terheran-heran oleh
paradoks antara syair dakwah dangdut dengan praktek
budaya joget dangdut. Pak Haji seakan-akan baru hari ini
menjumpai fenomena itu. Dan para pejoget dangdut yang
lain seakan-akan suci dari tradisi budaya joget Inul.
Rekapitulasi Nilai Budaya Dangdut
Maka yang saya bayangkan adalah sang Raja atau si bapak
dangdut memanggil anak garda depan itu. Ia panggil juga
semua anaknya yang lain. Mungkin dinasehatinya, atau
diajak berdiskusi, berunding, bersama-sama memproses
dialog menuju keputusan bersama yang mewakili citra
seluruh keluarga -- kalau memang semua memandang bahwa
atmosfir dunia dangdut harus mengalami perubahan.
Katakanlah mereka berpendapat bahwa perlu ada semacam
rekapitulasi nilai budaya dangdut.
Kalau ternyata si anak bersikap egois, tidak bisa
melakukan moderasi atau persuasi sama sekali, maka bapak
dan seluruh keluarga tidak punya kemungkinan lain kecuali
bersikap memisahkan diri dari si anak.
Saya tidak berada di Indonesia ketika kasus Inul-Rhoma
ini meledak, juga tatkala saya menulis ini. Sehingga saya
tidak tahu persis bagaimana kronologinya. Tidak tahu
apakah sudah terlebih dulu ada proses dialog masyarakat
dangdut dengan Inul, ataukah tiba-tiba saja masyarakat
mendengar sikap Pak Haji Rhoma dan masyarakat dangdut
terhadap Inul. Tiba-tiba saja Rhoma dan masyarakat
dangdut adalah sebuah pihak, dan Inul adalah pihak yang
lain.
Kalau yang terakhir ini yang terjadi, maka kayaknya di
sini letak ketergesaan dan kekurang-arifan Pak Haji. Di
dalam wilayah internal kerajaan dangdut. Inul tidak
memperoleh hak runding, hak islah, hak mempertahankan
pendapat, hak mendapatkan bimbingan.
Fokus Gugatan Bukan Inul
Kekurang-arifan yang lain adalah bahwa Inul dijadikan
fokus jihadnya Pak Haji. "Sesunguhnya Aku
menciptakan manusia dengan kecenderungan untuk
tergesa-gesa", Allah berfirman. Dan Pak Haji sungguh
tergesa-gesa.
Kalau ada makanan beracun, Pak Haji, jangan melotot hanya
pada makanan itu. Kita perhatikan juga warungnya, siapa
yang bikin dan kirim makanan beracun itu, dengan segala
inter-relasi pihak-pihak di sekitarnya. Bahkan kita
perhatikan apa isi pikiran si empunya warung, apa
ideologi pembikin makanan, mereka punya apa saja dan tak
punya apa saja -- entah modal, alat-alat produksi, skala
pasar, otoritas politik dan apa saja yang nanti akan
bergoyang kalau kita banting-banting itu makanan beracun.
Bahkan, Pak Haji, kalau ada sepiring nasi beracun, apakah
nasi itu harus kita buang beserta piringnya sekalian,
ataukah kita cari cara untuk membersihkan piring dan nasi
dari racun, sehingga yang kita musuhi dan buang hanyalah
racunnya?
Maka sekali lagi, kalau ada makanan beracun, jangan
sampai konsentrasi terhadap racun kalah besar dibanding
perhatian terhadap makanannya. Yang harus didiskusikan
oleh Raja dan masyarakat dangdut bukan Inul, melainkan
fenomena jogetnya. Bukan figurnya, melainkan keseniannya.
Bukan orangnya, melainkan kriteria nilainya.
Konvensi Dangdut
Kalau memang urusannya adalah moral, kalau memang
keberatan Pak Haji adalah pornografi dan sensualitas,
maka Inul bukan satu-satunya terdakwa, karena penjoget
dangdut lainnya ada yang lebih dahsyat dibanding Inul.
Jadi gugatan itu kalau perlu tidak menyebut nama Inul
atau siapapun, melainkan memaparkan kriteria-kriteria
tentang batas moral pentas dangdut, serta kesepakatan
masyarakat dangdut bahwa mereka hanya akan begini dan
tidak akan begitu. Kesepakatan apapun yang lahir, adalah
hak mereka yang dijamin demokrasi.
Kriteria dan kesepakatan itu mengikat diri mereka sendiri
dan siapa saja yang terlibat dalam konvensi itu.
Itupun demokrasi juga menjamin hak setiap orang untuk
surut atau mengundurkan diri dari kesepakatan itu,
misalnya karena ada resiko bahwa kalau kesepakatan moral
itu dilaksanakan, maka televisi tidak menemukan apapun
lagi yang layak tayang dari musik dangdut. Sehingga untuk
menghindari kelaparan massal, dihalalkan pelanggaran
moral yang telah disepakati sendiri.
Hak Untuk Menjilat Ludah Sendiri
Kalau saya pemain gitar, saya berhak menentukan saya
bersedia mengiringi siapa bernyanyi dan tidak bersedia
mengiringi siapa bernyanyi. Itu hak asasi manusia saya
yang dijamin oleh demokrasi. Hak untuk memetik gitar atau
tidak membunyikan gitar bagi suara seseorang yang saya
tentukan, hanya bisa dibatalkan oleh nilai lain yang
lebih tinggi: misalnya tasammuh atau toleransi, mahabbah
atau cinta.
Demikian juga kalau saya menciptakan lagu, memasak
makanan, bikin kursi atau membangun rumah. Demokrasi
menjamin hak saya untuk menentukan siapa yang boleh dan
tidak boleh menyanyikan lagu saya, memakan masakan saya,
duduk di kursi saya dan memasuki rumah saya.
Tak ada yang salah pada keputusan semacam ini. Juga hak
saya kalau pagi hari besoknya saya mengubah keputusan
itu. Umpamanya karena pilihan yang terlanjur saya ambil
itu membuat order dan job saya jadi surut drastis.
Hak setiap manusia untuk mengatakan merah pada sore hari
dan hijau pagi harinya. Demokrasi menjamin hak seseorang
untuk mencla-mencle, untuk plintat-plintut,
untuk menjilat ludah sendiri. Demokrasi menjamin dan
melindungi hak kita untuk bersikap hipokrit dan munafik.
Sejak Umur 10 Th Inul Bergoyang
Sejak umur 10 tahun, di sekitar pertengahan tahun 80an,
dari daerah Japanan, Jawa Timur, Inul sudah mulai show
dan sudah dikenal banyak orang keistimewaannya dalam
menggoyang badan dengan fokus pantatnya.
Kalangan-kalangan masyarakat kelas bawah di berbagai
wilayah di Jawa Timur sudah tidak 'pangling' dengan
goyang Inul.
Dan semua aktivitasnya itu relatif tidak mendapat
halangan apa-apa. Karena setting budaya dan infrastruktur
alam pikiran masyarakat kita pada dasarnya tidak pernah
memiliki kesungguh-sungguhan atau konsistensi substansial
untuk menyikapi gejala apapun; kemaksiatan, pencurian,
korupsi, perjudian, pelacuran atau apapun saja --
meskipun secara teoritis itu bertentangan dengan
nilai-nilai agama yang mereka anut.
Ketidaksungguhan itu maksudnya begini: ya menyembah Allah
tapi juga mengingkariNya. Ya mencintaiNya, tapi juga
menyakiti hatiNya. Shalat juga, tapi beli togel juga.
Puasa Ramadhan juga, tapi minum arak rajin juga. Naik
haji juga, tapi puncak ibadah di Makkah itu tidak dijamin
pasti menghalanginya melakukan pencurian, kecurangan,
menyakiti orang lain, berselingkuh, merendahkan orang
kecil, mengkoordinir pencurian kayu hutan, menyantet
kompetitornya dalam memperebutkan jabatan, melakukan
penindasan dan kedholiman, dan berbagai macam perilaku
yang membuat Allah sakit hati.
Jangan Korupsi, Kecuali Saya Kecipratan
Kita adalah masyarakat yang melarang siapapun melakukan
korupsi, kecuali kita ikut kecipratan. Kita tidak ikhlas
ada KKN, kalau kita tidak dillibatkan di dalamnya.
Korupsi tidak haram asalkan yang melakukan adalah
keluarga kita sendiri, Bapak kita, tokoh parpol kita atau
Ulama panutan kita. Meniduri pembantu rumah tangga itu
dholim dan dosa besar, tapi kalau yang melakukan adalah
tokoh kita sendiri maka wajib kita tutupi, kalau perlu
anak hasil perzinahan itu kita upayakan penangananan dan
penampungannya.
Bagi kita, yang dimaksud tokoh adalah orang yang kita
dorong, kita perjuangkan dan kita bela untuk menjadi
pemimpin nasional, karena kalau berhasil maka kita semua
akan mendapatkan akses-akses dari beliau, bisa dapat
proyek, bisa makelaran jabatan, atau sekalian ditempatkan
menjadi pejabat ini itu.
Calon presiden adalah orang yang kalau dia menjadi
presiden kita harapkan memberi keuntungan kepada kita.
Sekurang-kurangnya memberi keuntungan kepada golongan
kita, ormas orpol kita, kelompok kita: kalau terpaksanya
tidak bisa maksimal ya yang penting bisa memberi
keuntungan bagi kita pribadi dan keluarga kita.
Calon presiden itu boleh pelawak, boleh malaikat, boleh
orang dungu, boleh setan, boleh siapa saja, asalkan
menguntungkan kita. Yang dimaksud kita, tidak harus kita
bangsa Indonesia, bahkan tak harus kita segolongan, yang
penting kita sendiri ini, seorang sajapun, mendapat
keuntungan. Dan yang dimaksud keuntungan, sederhana saja:
uang sebanyak-banyaknya.
Dengan atmosfir nilai semacam itu, fenomena Inul tidak
a-historis dan bukan sesuatu yang istimewa.
Perampok dan Pengemis
Kalau ada rezim korup, kita akan memperjuangkan satu di
antara tiga kemungkinan. Pertama, kita tumbangkan rezim
itu agar kita bisa menggantikannya melakukan korupsi.
Atau kedua, kita tekan rezim itu pada level yang kita
mampu, agar supaya mereka tidak egoistik dalam melakukan
pencurian uang negara dan harta rakyat. Mereka harus
berbagi dengan kita, korupsi dalam koordinasi dengan
kita, berkolusi dalam jaringan dengan kita.
Kemungkinan ketiga, kalau kita tidak memiliki '
bargaining power' apa-apa untuk melakukan negosiasi,
maka kita upayakan cara-cara untuk mengemis. Tentu saja
kalau bisa jangan sampai tampak mengemis, kita bisa hiasi
dan tutupi dengan retorika, jargon dan tema-tema yang
indah dan penuh nasionalisme.
Penduduk Indonesia ada dua. Perampok dan pengemis. KTPnya
ganti setiap diperlukan. Kalau sedang berkuasa, merampok.
Kalau tak berkuasa, mengemis, pindah parpol, pindah
koalisi, pindah tema dan komitmen, atas nama dinamika
demokrasi.
Inul tidak termasuk penduduk yang bisa merampok atau
mengemis dalam konteks itu. Ia hanya punya kemampuan
menggoyang pantat, dan ia tidak mengerti hubungan antara
goyang pantat dengan peta nilai apapun -- filosofi,
moral, akhlak, akidah atau apapun -- kecuali logika bahwa
kalau ia mau bergoyang maka ia menerima honor sekian
rupiah.
Dengan atmosfir nilai semacam itu, fenomena Inul bukanlah
sesuatu yang aneh dan mengherankan.
Togel dan Istiqamah
Aa Gym bertanya kepada Inul -- "Apakah Mbak Inul
tidak pernah berpikir bahwa yang Mbak Inul lakukan itu
bisa merusak moral generasi muda bangsa kita?"
Inul menjawab dengan penuh kejujuran :
"Alhamdulillah nggak..."
Nuansa jawabannya seperti seorang pembeli nomer judi undi
yang menjual sepedanya untuk memborong angka 97 (sembilan
tujuh), karena ia mendapat ramalam 79 (tujuh sembilan)
kemudian ia mistik otak-atik menjadi 97 (sembilan tujuh).
Padahal yang kemudian keluar adalah 79 (tujuh sembilan)
persis seperti angka ramalan. Ia sudah terlanjur jual
sepeda....Istrinya marah habis. Seorang sahabatnya
memberi nasehat: "Makanya orang hidup itu harus
istiqamah, jangan plintat-plintut. Kalau sudah 79 ya 79,
jangan dibolak-baik. Iman harus teguh..."
Inul tidak merasa melakukan apapun yang berkaitan dengan
kerusakan moral masyarakat. Sehingga kalau ada pengadilan
moral, Inul ada di urutan sangat belakang. Urutan
terdepan adalah orang yang mengerti moral namun
mengkhianatinya, orang yang memahami hukum tapi
melanggarnya, yang mengerti menjadi wakil rakyat artinya
adalah mewakili kepentingan rakyat namun sibuk dengan
kepentingan diri dan golongannya.
Sama dengan Sumanto, ia sekedar kanibal kelas teri. Ia
beraninya hanya makan mayat, itupun nenek-nenek. Itupun
sesudah si mayat ada di kuburan baru ia mencurinya.
Sumanto tidak berani makan daging rakyat sebagaimana
banyak pengurus negara.
Pantat Inul dan perilaku Sumanto, secara kualitatif,
adalah wajah kita semua.
Membayar Untuk Dipantati
Mohon maaf harus saya kemukakan bahwa Pak Haji Rhoma
perlu memastikan di dalam kesadarannya bahwa beliau hidup
di negara yang politiknya sekular dan perekonomiannya
industri, dan kebudayaan berada di bawah otoritas dua
kekuasaan itu.
Siapapun yang tidak setuju atas kenyataan itu, bisa
memilih satu di antara tiga kemungkinan. Pertama,
melakukan pemberontakan dan mengambil alih kekuasaan.
Kedua, menciptakan lingkaran 'negeri' sendiri untuk
menerapkan prinsip-prinsip nilainya di wilayah-wilayah
nilai yang memungkinkan, tanpa harus menabrak konstitusi
negara. Ketiga, melakukan sejumlah kompromi terbatas
berdasarkan prinsip persuasi dan strategi sejarah
berirama.
Sebagai orang yang hidup dengan pandangan agama, Pak Haji
bisa mengambil wacana sujud shalat untuk menilai Inul.
Tuhan menyuruh muslim bersujud. Dalam sujud pantat kita
letakkan di tataran tertinggi sementara wajah di level
terendah.
Wajah itu lambang eksistensi kita, icon kepribadian kita,
dan display dari identitas kita. Kalau bikin KTP
tidak dengan foto close up pantat melainkan wajah.
Kalau pantat kentut, yang harus dicuci dalam wudlu bukan
pantat melainkan wajah. Karena kalau kita kentut, yang
merasa malu adalah wajah. Kita tidak kentut lantas
menutupi pantat karena merasa malu.
Ritus sujud menjadi semacam metoda cermin untuk menyadari
terus menerus bahwa kalau tidak hati-hati dalam
berperilaku, manusia bisa turun martabatnya dari wajah ke
pantat. Ketika bersujud yang diucapkan oleh orang shalat
adalah "Maha Suci Allah Yang Maha Tingggi".
Jadi jelas sujud itu memuat substansi martabat atau
derajat manusia hidup.
Pak Haji cemas karena sekarang orang bukan hanya tidak
takut martabat kepribadiannya merosot. Orang bahkan
mendambakan pantatnya Inul, dan membayar untuk dipantati
Inul.
Market Dangdut Tanpa Sensualitas
Tetapi itu wacana agama. Itu urusan orang beragama.
Sekularisme dan industrialisme tidak relevan terhadap
martabat, derajat, akhlak dan akidah. Tidak ada agenda di
dalam sekularisme dan industrialisme yang menyangkut itu
semua.
Ini negara sekular, Pak Haji. Jangankan joget Inul:
berzinahpun tak apa-apa. Boleh atau tidak menjadi kafir
tak ada undang-undangnya. Bersikap munafik juga
boleh-boleh saja. Negara ini tidak keberatan kalau kita
mengkhianati Tuhan. Tuhan bukan subyek utama. Tak ada
Tuhanpun negara ini tak keberatan. Dan Pak Haji tak usah
menangis, tinggal mengambil satu di antara tiga
kemungkinan sikap yang tertuang di atas.
Industri tidak berpikir baik atau buruk, akhlaqul
karimah atau sayyiah. Industri tidak ada
kaitannya dengan Tuhan, sorga dan neraka. Industrialisme
bekerja keras dalam skema laku atau tak laku, marketable
atau tidak marketable, rating tinggi atau
rendah. A bad news is a good news. Kalau yang laku
ingus, jual ingus. Kalau yang ramai di pasar adalah Inul,
jual Inul. Dan Pak Haji adalah figur yang juga sangat marketable-industrial
selama ini. Sekarang Pak Haji harus membuktikan
kesaktian bahwa musik Pak Haji akan tetap marketable meskipun
minus joget dan sensualitas.
Pak Haji, ada saat-saat di mana ternyata yang enak adalah
orang yang tidak laku seperti saya.
Ya Allah, reformasi masih gagal, petani makin sengsara,
buruh menderita, krisis nasional tak kunjung berakhir,
pemilu demi pemilu tidak menambah keselamatan bangsa,
berbagai problem besar belum mampu kami atasi -- dan hari
ini aku harus menulis tentang pantat, ya Allah....*****
Telah dimuat di harian Kompas, 4 Mei 2003
|