27/08/2003
BOM TERUS BERJOGETBom meledak lagi. Kemudian
meledak lagi. Masih meledak lagi. Terus meledak lagi. Dan
tetap meledak lagi. Jiwa-jiwa melayang, meninggalkan
badan hangus pupus menjadi debu hitam. Kaki terpatah dari
pangkalnya. Badan tercecer-cecer. Api, yang diagungkan
oleh budaya manusia sehingga digelari 'Si Jago Merah',
makhluk yang hakekatnya belum benar-benar dipahami oleh
ilmu, bahkan oleh fisika -- menggambar duka, mempetakan
keperihan di sekujur badan para korban yang tergeletak di
rumah-rumah sakit.
Di Marriot itu, bagai
ledakan gunung. Bola api kiamat kecil. Asap membubung,
menyebar, menyebar, menyesakkan napas, sampai masuk
mengotori darah, terselip di sela-sela antara daging
dengan tulang. Gumpalan kegelapan menebal bersemayam di
lubuk nurani setiap orang, dan ia belum akan menipis
sesudah seratus tahun. Kepala kita terpilin dan akal
pikiran kita terbatuk-batuk, muntah, memuntahkan
ketidakmengertian.
Nyawa-nyawa pergi kebingungan. Yang ditinggalkan,
meraung-raung. Airmata mengucur menciprat-ciprat.
Kemanusiaan dihina. Demokrasi ditampar. Cinta ditikam.
Akal sehat dicabik-cabik. Dan Indonesia Raya terjerembab
lagi.
Kita marah, kita mengutuk. Rasanya hati kita ingin
melompati hukum. Kalau pelaku pemboman itu ada di depan
kita sekarang, rasanya hanya dengan langsung membunuhnya
maka baru sepadan untuk kekeruhan jiwa yang ditimbulkan
oleh ulahnya. Dalam sebuah acara dialog tentang bom
Marriot, seorang pemirsa menelpon dengan emosi tinggi:
"Pak Polisi, kalau pelakunya tertangkap, langsung
dimatikan saya, tak usah pengadilan sagala..."
Tentu saja kesehatan akal hukum kita tidak menyetujui
emosi itu, tetapi rasanya memang demikian juga kata-kata
yang muncul dari kedalaman kalbu kita.
***
Kita. Siapakah
sebenarnya "kita"? Siapa sajakah kita? Kalau
yang mengutuk pemboman adalah kita, lantas pastikah yang
melakukan pemboman bukan kita? Melainkan mereka?
Bagaimana menjamin keadilan proses hukum untuk
mengidentifikasi mereka di tengah-tengah kita?
Apa landasan siapapun untuk percaya bahwa - saya,
misalnya -- tidak termasuk di antara mereka yang terlibat
dalam pemboman? Siapa yang bisa menghalangi dalang
pemboman untuk juga mengumumkan kutukan atas terjadinya
pemboman? Tulisan ini bisa saya gunakan untuk
mengkamuflase keterlibatan saya di dalamnya , sebagaimana
seorang pembunuh datang melayat dengan menangis ke
pemakaman orang yang dibunuhnya.
Jadi di mana garis batas "kita" sesungguhnya?
Kita seluruh bangsa Indonesia? Kita umat manusia sedunia?
Kita kelas-kelas? Segmen dan strata? Kita politik kiri
dan kanan? Kita pusat dan pinggiran, dalam perspektif
yang manapun? Kita gajah atau kita pelanduk? Bisakah kita
menghitung jumlah muatan di dalam kita?
Kita Amerika Serikat atau kita Irak? Kita Tony Blair atau
kita BBC? Kita Howard atau kita Syafii Maarif dan Hasyim
Muzadi? Kita Manimaren dan Sukhoi atau kita seberangnya?
Kita koalisi kekuatan sekuler 2004 atau kita kumpulan
parpol Agama? Kita TNI atau kita Polri? Kita TNI ini atau
TNI itu? Kita Polri sini atau Polri sana? Kita kemapanan
proyek atau kita ke jujuran politik?
Peta apa yang terkandung dalam frame kita? Apa
yang menjadi sumber pemetaan di antara kita? Kepentingan
golongan-golongan dalam kehidupan bernegara? Ke-aku-an
antar kaum pemeluk Agama? Satuan-satuan pamrih yang
bertentangan di dalam percatu ran kekuasaan yang sedang
dan akan berlangsung? Atau konstelasi politik mondial
yang dibentuk oleh dendam-dendam sejarah pada skala
panjang?
Apakah kita ini satu pihak? Ataukah kita begitu ragamnya,
sehingga - ketahuan atau tidak - ternyata sesungguhnya
pelaku pemboman, inisiatornya, sponsornya, dalangnya,
adalah bagian dari kita? Kalau para penegak hukum
menyatakan bahwa "A" bersalah, lembaga apakah
yang berkewenangan dan berkekuatan nyata untuk mengontrol
kemungkinan "A" tak bersalah serta membuka
pintu hukum yang lebih luas dan mendalam menuju
kemungkinan bersalahnya "B", "C",
bahkan kemungkinan bersalahnya sebagian di antara
pemroses hukum sendiri?
Sedangkan di pesantren saya dulu, dalam peta hidup yang
amat sederhana: seorang anggota keamanan mencuri dendeng
dan abon dari almari seorang santri yang performance
kekayaannya menyolok di antara santri-santri yang lain.
Dendeng dan abon itu kemudian ia bagi-bagikan dengan
menyelipkannya sedikit-sedikit di almari-almari 'kaum
plorelar' santri lainnya. Besoknya ia kumpulkan seluruh
santri untuk mendeteksi siapa pencurinya, kemudian
mengadakan baca Yasin bersama. Dan sampai hari ini sang
pencuri tak pernah ketahuan.
Apalagi di era yang segala sesuatunya sebegini sophisticated
dan complicated -- alias: sebegini gampang
menyembunyikan kejahatan. Di dalam sistem hukum yang
lemah, yang tidak mandiri dari konteks-konteks politik -
adalah pekerjaan mudah untuk menyembunyikan kejahatan di
balik topeng wajah yang di-cat dengan warna indah
kemuliaan dan kebenaran.
***
Pelaku pemberantasan
narkoba justru sangat strategis untuk menjadi bandar
narkoba. Pengontrol judi justru amat berpeluang
memperoleh hasil terbanyak dari omset setiap perjudian.
Sekedar di sebuah desa para penduduknya tak punya peluang
untuk tahu apa yang dilakukan oleh Lurah dan Cariknya di
dalam jaringan sindikasi kejahatan sistemik lokal yang
menjahati rakyatnya. Para makmum jamaah di masjid tidak
mengerti apa yang dilakukan oleh Imamnya di luar masjid.
Ummat tidak sidikitpun cukup tahu kualitas dan integritas
kepribadian Ulamanya.
Para pemilih terus memilih meskipun tidak pernah punya
pengetahuan tentang siapa sesungguhnya yang mereka pilih.
Serta tak pernah ada inisiatif pemberdayaan dari pihak
manapun untuk mengubah ketidaktahuan itu. Bahkan proses
transparansi reformasi dengan segala omong besarnya
tentang penegakan hukum tidak bisa dijumpai padanya satu
lubang sekecil apapun untuk menelusuri siapa pembunuh
Udin wartawan "Bernas" Yogya sekian tahun yang
lalu.
Pun jangan lupa: Marsinah yang legendaris. Maka atas
dasar wacana apa seseorang atau 210 juta orang hendak
mempercayai atau tak mempercayai bahwa Amrozi dan
teman-temannya adalah pelaku pemboman Bali yang
menggegerkan dunia? "Dimona Micro Nuclear",
inisial bom hantu pembunuh ratusan orang yang para pakar
bom membungkam mulutnya sesudah melakukan penelitian di
lapangan?
Beberapa hari sesudah meledaknya bom Bali itu dua malam
saya begadang di lokasinya, dekat lubang tanah di pusat
ledakannya, mengobrol dengan para Pecalang - dan sudah
mulai tercium "bau Amrozi". Alangkah dahsyatnya
kekuatan Ummat Islam di dunia ini! Sekedar sebuah
pesantren kecil tak terkenal di pinggiran Lamongan
sanggup menghasilkan juru bom yang kualitasnya hanya bisa
ditandingi oleh kader-kader CIA, Mossad, atau jaringan
profesional internasional para "penggemar
senjata" yang malang melintang
"mengentuti" bumi namun keberadaannya melebihi
siluman turunan setan manapun.
Anda mungkin seorang profesor bom, dan asalkan ada korek
api di saku Anda maka bisa Anda ciptakan ledakan besar di
mana saja. Untuk mengambil alih kekuasaan Indonesia di
ibukota: Anda bisa pasang bom di 18 pom bensin, 16 titik
jalan tol, serta satu bom terbesar lagi di - umpamanya
gedung Graha Purna Yudha, yang kalau roboh, silahkan
hitung peta keterkuncian lingkungan di seputarnya.
Jika remote-control dari semua bom itu Anda
pencet, maka Jakarta dan Indonesia akan berposisi seperti
karateka yang Anda piting lehernya. Tapi yang Anda
lakukan itu tidak bisa menandingi kedahsyatan apa yang
mampu dilakukan oleh Amrozi cum-suis. Bisa Anda
bayangkan bahwa sejumlah pesantren tentu memiliki
laboratorium dan sarana prasarana terorisme yang membuat
kaum mujahidin Afganistan, Bosnia dan Palestina
hanya kelas kacangan.
Itu baru Amrozi dan Lamongan. Belum Jombang:
jangan-jangan di antara sekian ribu murid Gus Dur di
pesantren Denanyar, Tebuireng, Rejoso atau Tambakberas -
tak sedikit yang melakukan hal yang sama yang dilakukan
Amrozi; namun pasti kelas kemampuannya berlipat-lipat.
Cukup Jawa Timur saja sudah membuat Amerika Serikat keder
habis.
Belum lagi tragedi 11 September yang mengubah sejarah
dunia itu. Para pelakunya pasti orang yang sangat paham
Al-Qur'an. Yang konon merancang hari-H penghancuran
gedung itu berdasarkan Surah At-Taubah, surah ke-9, yang
jumlah kata-katanya 2001. Yang sengaja mencari gedung
yang bertingkat 109, di juz ke-11, karena pada ayat
ke-109 itu Tuhan berfirman tentang dua macam gedung:
gedung yang didirikan atas dasar takwa serta gedung yang
didirikan di sisi jurang, yang runtuh bersama orang-orang
yang terperosok ke dalam api neraka. Yang di ayat 109 itu
pula jurang yang memperosokkan disebut "Jurf
Harr". Jerf Harr St.
Bagaimana mungkin kita tahu apa sebenarnya 11-9-2001 itu?
Siapa nama pilot pesawat penabrak itu? Di mana mereka
berlatih sehingga pilot F -16 pun terkagum-kagum padanya?
Osama ben Ladenkah banditnya? Di mana ia sekarang?
Alangkah hebatnya beliau sehingga tak tersentuh oleh
tangan AS yang sudah menyentuh bulan dan planet Mars?
Apakah ia Si Buta dari Gua Hantu?
***
Akan tetapi sekurangnya
ada tiga hal yang mendekati pasti dan kita semua tahu
agak persis.
Pertama, tidak ada tragedi sengeri apapun, tidak
ada bencana sedahsyat apapun, tidak ada gempa bumi dan
gunung meletus - tidak juga bom Bali dan Marriot - yang
sanggup mengetuk hati para pemimpin bangsa Indonesia
untuk saling menyapa dan berkumpul. Baik yang presiden,
yang mantan presiden, yang calon presiden, yang politisi,
yang begawan, yang militer, yang resi, yang pemuka agama,
yang ilmuwan, atau siapa saja, juga yang bukan
siapa-siapa :
"Yuk kita orang-orang tua duduk melingkar. Keadaan
bangsa dan negara kita sudah sedemikian parahnya. Kali
ini, hingga nanti waktu yang layak -- sudah tak ada
kepantasan lagi untuk terus bersibuk mempertentangkan
kepentingan antar kelompok kita. Sudah terlalu memalukan
untuk suntuk mempersaingkan ambisi kita. Sudah terlalu
hina untuk terus berkonsentrasi pada
keuntungan-keuntungan sepihak. Hari ini juga kita harus
berunding, melakukan rekapitulasi nasional, memulai
kembali satu perjalanan kebangsaan. Musuh kita bersama
tak kurang-kurang kuatnya, yang dari luar maupun di dalam
diri kita semua..."
Kedua, juga tak ada bom atau gunung meletus yang
mampu membuat kita bersikap mawas terhadap diri sendiri.
Bom demi bom itu adalah kenyataan yang sangat
menghancurkan. Dan terhadap kenyataan itu kita selalu
melayaninya dengan tiga jenis sikap, yang pada hakekatnya
pasti akan memperpanjang, memperlebar dan mempersubur
potensi pemboman-pemboman lagi.
Yakni dengan prasangka, hingga ke taraf fitnah
subyektif, dan sangat krasan berkepanjangan dalam
atmosfir itu. Kemudian dengan sikap anti-dielaktika:
peristiwa pemboman selalu dilihat sebagai satu penggalan
kasus yang berdiri sendiri. Pemboman dilihat hanya
sebagai sebab, dan sama sekali tidak sebagai akibat.
Padahal bom hanya sa tu titik dalam suatu peta berangkai:
ia bisa terkait dengan soal hegemoni politik,
perlindungan lahan dagang, dendam terhadap ketidak-adilan
dan macam-macam lagi. Orang sakit korengan hanya sibuk
cari zalf pengoles koreng dan tidak berpikir
tentang mengubah pola makanan atau cara hidup yang lebih
menyeluruh. Jadi, tinggal tunggu koreng berikutnya dan
berikutnya.
Kemudian ketiga, sikap keterjajahan.
Sebagaimana diambil dan direbut kembalinya Timor Timur,
cara perekonomian nasional memaknai perlunya hutang,
disinformasi dan kecurangan melihat masalah Ambon dan
Poso, serta berbagai kuman nasional kita - penanganan
soal bom-bom selama ini tidak akan pernah bisa meyakinkan
siapapun secara tuntas bahwa ia tidak terkait dengan
intervensi dan transaksi dengan pihak non-Indonesia.
Atas semua itu ada terpikir oleh saya untuk memberi saran
kepada Kapolri Dai Bakhtiar: Kalau memang jelas itu semua
pokal JI, kalau memang sudah menjadi pandangan baku bahwa
toh sumber segala malapetaka ini adalah bahwa Islam itu
agama terorisme -- kenapa tidak mengupayakan proses
menuju perundang-undangan untuk tegas menyatakan bahwa
Islam adalah agama terlarang di bumi Nusantara.
Dan akhirnya, last but not least: berapa kalipun
bom meledak, kita terus berjoget. Icon kebudayaan
mutakhir kita adalah joget. Itu entertainment bagi yang
menyukainya, di lain sisi ia merupakan suatu jenis
kekerasan psikologis bagi yang hatinya tak sanggup....
|