03/11/2003 BANGSA GARDA DEPAN Pada seri kedua tulisan tentang "Bangsa Bibit Unggul" ini saya ingin meyakinkan para sidang pembaca bahwa kita bangsa Indonesia ini bukan hanya bangsa bibit unggul, lebih dari itu : dalam konteks evolusi pemikiran, kebudayan dan peradaban kita adalah bangsa garda depan, avant garde nation, yang derap sejarahnya selalu berada beberapa langkah di depan bangsa-bangsa lain di muka bumi. Para pakar dunia di bidang ilmu sosial, ilmu ekonomi, politik dan kebudayaan, sudah terbukti "terjebak" dalam mempersepsikan apa yang sesungguhnya terjadi pada bangsa kita. Penduduk seluruh dunia membayangkan Indonesia adalah kampung-kampung setengah hutan yang kumuh, banyak orang terduduk di tepi jalan karena busung lapar, mayat-mayat bergeletakan, perampok di sana sini, orang berbunuhan karena berbagai macam sebab. Negeri yang penuh duka dan kegelapan. Padahal di muka bumi tak ada orang bersukaria melebihi orang Indonesia. Tak ada orang berjoget-joget gembira siang malam melebihi bangsa Indonesia. Tak ada masyarakat berpesta, tertawa-tawa, ngeses baass buuss baass buuss, jagongan, kenduri, serta segala macam bentuk kehangatan hidup melebihi kebiasaan masyarakat kita dan yang budaya semacam itu sungguh memang hanya terdapat di kepulauan Nusantara. Tak ada anggaran biaya pakaian dinas pejabat melebihi yang ada di Indonesia. Tak ada hamparan mobil-mobil mewah melebihi yang terdapat di Indonesia. Import sepeda motor apa saja dijamin laku, berapa jutapun yang kau datangkan ke negeri ini. Penduduk dunia menyangka kita sedang mengalami krisis, padahal berita tentang krisis negara kita adalah suatu ungkapan kerendahan hati. Penduduk bumi sering tidak mengerti retorika budaya masyarakat kita. Kalau kita bilang "Silahkan mampir ke gubung saya" mereka menyangka yang kita punya adalah gubug beneran, padahal rumah kita adalah Istana, yang Gubernur di Brazil dan Menteri di Mesirpun tak punya rumah macam kita punya. Kalau kita menawarkan "Mari ikut gerobag saya, saya antar ke rumah Panjenengan" tidak berarti kita menghina dia dengan menaikkannya ke atas gerobag. Yang dimaksudkan gerobag oleh pola perilaku kebudayaan bangsa kita sesungguhnya adalah Jaguar. Kalau kita bilang "Negara kita sedang krisis", itu semacam tawadlu sosial, suatu sikap yang menghindarkan diri dari sikap sombong. Kalau pemerintah kita terus berhutang triyunan dollar, itu strategi agar kita disangka miskin. Itu taktik agar dunia meremehkan kita. Karena kita punya prinsip religius bahwa semakin kita direndahkan oleh manusia, semakin tinggi derajat kita di hadapan Allah. Semakin kita diperhinakan oleh manusia di bumi, semakin mulia posisi kita di langit. Dulu ketika Gus Dur menjadi presiden, sejumlah orang di luar negeri mengejek kita: Apa dari 210 juta penduduk negaramu tidak ada seorangpun yang punya kemampuan menjadi presiden sehingga harus mengangkat seorang tokoh yang mohon maaf tidak bisa melihat? Ketika Megawati naik ke kursi tertinggi, mereka juga bertanya dengan sinis: Apa penduduk negerimu itu 99% wanita sehingga tak ada satu lelakipun yang mungkin menjadi kepala negara? Memang agak aneh bahwa bangsa-bangsa di luar Indonesia yang katanya lebih terpelajar dan lebih beradab, ternyata hanya memiliki pemikiran linier dan tingkat kecerdasannya sangat tidak bisa diandalkan. Mereka tidak punya fenomena budaya "sanepo", misalnya. Juga tak punya "pekewuh". Kita sebagai bangsa yang berkebudayaan tinggi dan berperadaban unggul tidaklah akan pernah memilih suatu sikap sosial yang "gemedhe" atau "adigang adigung adiguna". Kita tidak akan pernah pamer keunggulan kepada bangsa lain, dan itulah justru tanda keunggulan budaya kita. Kita tidak akan mencari kepuasan hidup dengan melalui sikap "ngendas-endasi" bangsa lain. Kita adalah bangsa yang memiliki kemuliaan batin karena sanggup mempraktekkan budaya "andap asor". Jangankan soal presiden. Tim nasional sepakbola kitapun kita rancang sedemikian rupa sehingga jangan sampai "menangan" atas kesebelasan negara-negara lain. Sudah berpuluh tahun kita mempraktekkan filosofi "ngalah kuwi dhuwur wekasane". Olahraga bulutangkis yang dulu negara kita pernah membuktikan sebagai negara yang tak bisa dikalahkan oleh tim dari negara manapun termasuk Cina yang berpenduduk 1,2 milyar. Sekarang kita menyesal kenapa mempermalukan Cina, sehingga tim bulutangkis kita sekarang kita bikin bagus, tetapi sering mengalah. Demikian juga mengenai pertanyaan teman-teman luar negeri tentang Gus Dur dan Megawati. Mereka terperangkap oleh simbolisme fisik, dan tidak mampu menyelami kedalaman substansialnya. Gus Dur tidak bertahan lama menjadi presiden semata-mata karena teman-teman di MPR/DPR tidak "nutut" ilmunya sehingga karena kekurangan ilmu itu mereka melakukan impeachment. Itulah sebabnya Gus Dur mengatakan bahwa DPR itu taman kanak-kanak. Nanti 2004 Gus Dur bermaksud maju lagi ke kursi teratas, tentu karena memperhitungkan bahwa sekarang teman-teman di DPR/MPR pasti sudah berkembang wawasannya. Masyarakat luar negeri juga tidak memiliki fisolofi "padi itu makin matang makin menunduk ke bawah". Demikianlah seharusnya persepsi yang tepat dalam menilai Bu Mega. Bangsa Indonesia tidak membutuhkan presiden banyak omong, maka beliau sangat hemat omong. Makin arif manusia, makin sedikit kata-katanya. Makin sakti seorang prajurit, makin pendek tombaknya. Kalau Anda kenal dunia kesusastraan: puisi tertinggi adalah yang kata-kata apapun sudah tak mampu mewakili inti nilainya. (Bersambung).
|