HAKIKAT (2)
Diupdated
pada: Jumat 21 September 2001
Kutipan dari
"Pengalaman Tasauf (1)"
PARA SUFI menyebut diri mereka ahli hakikat.
Penyebutan ini mencerminkan obsesi mereka terhadap
kebenaran hakiki; karena itu mudah dipahami kalau mereka
menyebut Tuhan dengan al-Haqq, seperti yang tercermin
dalam ungkapan al-Hallaj.Aku adalah Tuhan
(ana al-Haqq). Obsesi terhadap hakikat (realitas absolut)
ini tercermin dalam penafsiran mereka terhadap formula
La ilaha illah Allah yang mereka artikan
tidak ada realitas yang sejati kecuali Allah.
Bagi mereka Tuhanlah satu-satunya wujud yang hakiki,
dalam arti ialah yang betul-betul ada, ada yang absolut,
sedangkan yang lain keberadaannya tidak hakiki atau nisbi
dan tergantung kepada kemurahan Tuhan. Dialah Tuhan yang
awal dan akhir, yang lahir dan batin, sebab
dari yang segala ada dan tujuan akhir tempat mereka
kembali. Ibarat matahari, Dialah yang memberi cahaya
kepada kegelapan dunia, dan menyebabkan terangnya
obyek-obyek yang tersembunyi dalam kegelapan. Dia jugalah
pemberi wujud, sehingga benda-benda dunia menyembul dari
persembunyiannya.
Al-Quran menggambarkan Tuhan sebagai al-Awwal dan
al-Akhir, al-Zhahir dan al-Bahtin. Al-Awwal dipahami para
sufi sebagai sumber atau asal dari segala yang ada, Prima
Causa, sebab pertama dari segala yang ada di dunia. Dia
yang Akhir diartikan sebgai tujuan akhir atau
tempat Kembali dari segala yang ada di dunia
ini, termasuk manusia. Dialah pula pulau harapan ke mana
bahtera kehidupan manusia berlayar. Dialah kampung
halaman ke mana jiwa manusia yang sedang mengembara
di dunia rindu kembali. Dia adalah muara
kemana perjalanan spiritual seorang sufi mengalir. Dialah
sang kekasih, dimana sang pecinta selalu mendambakan
pertemuan. Dialah tujuan akhir ke mana sang Sufi
mengorientasikan seluruh eksistensinya.
Tuhan juga digambarkan sebagai al-Zhahir dan
al-Bathin, dan ini menggambarkan
imanensi dan transendensi Tuhan.
Bagi para sufi alam lahir (dunia indrawi) adalah cermin
dari Tuhan, atau pantulan Tuhan dalam sebuah
cermin. Alam lahir karena itu merupakan refleksi atau
manifestasi (tajalliyat) Tuhan, dan karena itu tidak
berbeda dari diri-Nya, tetapi juga tidak sama. Dan
ketidaksamaannya ini terletak dalam sifat diri-Nya
sebagai yang Bathin. Sebagai yang Batin, Tuhan berbeda
atau mentransenden alam lahir, Dia adalah sumber, prinsip
atau sebab, sedangkan alam adalah turunan, derivatif dan
akibat daripada-Nya. Tuhan adalah mutlak sedangkan alam
adalah nisbi, Tuhan ibarat matahari, sedangkan alam
adalah cahayanya. Keberadaan matahari tidak tergantung
pada cahayanya., namun justru keberadaan cahaya sangat
bergantung pada matahari. Jadi, keberadaan alam sangat
tergantung kepada-Nya. Sifat dasar diri-Nya adalah
niscaya atau wajib, sedangkan sifat dasar alam adalah
mungkin.
Pernyataan la ilaha illa Allah ditafsirkan
para sufi sebagai penafian terhadap eksistensi yang lain,
termasuk eksistensi dirinya sebagai realitas. Konsep
fana atau faana al-fana adalah
ekspresi sufi akan penafian dirinya, sedangkan konsep
baqa adalah afirmasi terhadap satu-satunya Realitas
Sejati, yaitu Allah, atau Tuhan yang dinyatakan dalam
formula illa Allah. Fana dan baqa
dipandang sebagai station (maqam) terakhir
yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Para sufi berdaya
upaya sedapat mungkin untuk mencapai maqam tersebut,
termasuk membunuh egonya sendiri yang
dipandang sebagai kendala atau menurut
istilah mereka berhala terbesar yang bisa
menghalangi perjalanan spiritual mereka menuju Tuhan.
Dengan begitu ibadah mereka diikhlaskan atau dibersihkan
dari segala unsur syirik, sebagai syarat diperkenankannya
masuk kehadirat Tuhan. Rumi pernah berkata Satu
lubang jarum bukanlah untuk dua ujung benang.
|