MARIFAT (3)
Diupdated
pada: Jumat 21 September 2001
Kutipan dari
"Pengalaman Tasauf (1)"
MARIFAT adalah sejenis pengetahuan dengan mana para
Sufi menangkap hakikat atau realitas yang menjadi obsesi
mereka. Marifat berbeda dengan jenis ilmu lainnya,
di mana ia menangkap obyeknya secara langsung, tidak
melalui representasi, image ataupun simbol dari obyeknya
tersebut.
Seperti indra menagkap obyeknya secara langsung, demikian
juga hati atau intuisi menangkap obyeknya
secara langsung, perbedaannya terletak pada jenis
obyeknya; kalau obyek indra adalah benda-benda indrawi
(mahsusat), obyek intuisi adalah entitas-entitas
spiritual (maqulat). Dalam kedua modus pengenalan
ini manusia mengalami obyeknya secara langsung, dan
karena itu marifah disebut sebagai ilmu dzauqi
(experiental), yang biasanya dikontraskan dengan
pengetahuan melalui nalar (bahtsi). Walaupun sama-sama
melalui pengalaman / dialami seseorang, namun hubungan
orang itu dengan obyeknya berbeda. Dalam pengenalan
indrawi obyek-obyeknya berada di luar dirinya, dan
dikaitkan dengannya melalui representasi,
sedangkan obyek-obyek intuisi, hadir begitu saja dalam
diri orang tersebut, dan karena itu disebut ilmu
hudhuri dan bukan ilmu hushuli.
Marifat dapat dibedakan dengan ilmu-ilmu rasional,
dimana pemilahan antara subyek dan obyek begitu dominan,
dan jarak antara keduanya sangatlah lebar. Walaupun ilmu
rasional atau tepatnya akal sama-sama menangkap
obyek-obyek maqulat (ruhani) sebagaimana intuisi
tetapi cara keduanya berbeda. Akal menangkap obyek ruhani
melalui hal-hal yang telah diketahui menuju yang tidak
diketahui, jadi bersifat inferensial. Sementara intuisi
menangkap obyeknya langsung dari sumbernya, apakah Tuhan
atau malaikat, melalui apa yang dikenal sebagai
penyingkapan, mukasyafah atau penyinaran (iluminasi) dan
penyaksian (musyahadah). Penyingkapan ini bisa terjadi
dalam keadaaan jaga atau mimpi, dapat mengambil bentuk
ilham atau wahyu, atau terbukanya kesadaran hati akan
kenyataan yang selama ini tersembunyi demikian rapat.
Marifat tidak bisa diraih melalui jalan indrawi,
karena menurut Rumi itu seperti mencari-cari mutiara yang
berada di dasar laut hanya dengan datang dan memandang
laut. Ia juga tidak dapat diperoleh lewat penggalian
nalar, karena itu akan sama seperti orang yang menimba
laut untuk mendapatkan mutiara. Untuk mendapatkan mutiara
(marifat) orang membutuhkan penyelam ulung dan
beruntung; yakni butuh seorang mursyid yang
berpengalaman. Bahkan mengingatkan bukan hanya penyelam
yang ulung tetapi juga beruntung, yakni tergantung kepada
kemurahan Tuhan, karena tidak semua kerang mengandung
mutiara yang didambakan.
Marifat, seperti yang telah dikemukakan,
berdasarkan pada pengalaman; artinya ia harus dialami,
bukan dipelajari. Seperti memahami rasa manis, akan bisa
dengan mudah dengan langsung mencicipi gula. Mencoba
memahaminya lewat keterangan orang lain atau membaca buku
akan mendapatkan pengetahuan yang semu. Paling banter,
hanya bisa menghampirinya tanpa bisa menyentuhnya.
Marifat tidak bisa dipelajari dari buku, bahkan
buku para Sufi sekalipun. Ketika kita datang kepada
seorang mursyid, maka ia akan mengajak kita berdzikir dan
melakukan disiplin-disiplin spiritual yang keras, agar
kita mengalami pengalaman-pengalaman mistik atau
keagamaan sendiri dan bisa mencicipinya sendiri. Buku
bagi seorang Sufi hanyalah simbol karena terdiri dari
huruf-huruf yang tidak lain daripada simbol yang
disepakati. Tapi bisakah kita menyunting mawar dari
M.A.W.A.R.?
Perbedaan lain antara marifat dengan jenis
pengetahuan yang lain adalah cara memperolehnya. Jenis
pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras, seperti
belajar, merenung, mengasah otak dan berpikir keras
melalui cara-cara berfikir yang logis, jadi manusia
memang betul-betul berusaha dengan segenap kemampuannya
untuk memperoleh obyek pengetahuannya. Tetapi
marifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan manusia,
pada tahap akhir semuanya tergantung kemurahan Tuhan.
Manusia hanya bisa melakukan persiapan diri
(istidad) dengan cara membersihkan diri dari segala
dosa dan penyakit-penyakit jiwa lainnya, yakni akhlak
yang tercela. Ibarat kaca yang dipasang untuk menerima
cahaya matahari ke dalam rumah hati kita, kaca tersebut
harus senantiasa dibersihkan dari segala debu yang
menempel di atasnya, agar ketika sinar matahari itu masuk
atau hadir maka kaca kita siap mengantarkannya ke dalam
jantung rumah kita dan memberi cahaya pada sekitarnya.
Sehingga terjadi iluminasi terhadap benda-benda yang ada
disekitarnya dan membuat benda-benda yang tak tampak atau
remang-remang menjadi jelas dan terang benderang.
|