TAREKAT
Diupdated
pada: Jumat 28 September 2001
Kutipan dari
"Pengalaman Tasauf (1)"
TAREKAT (thariqah), seperti syariat berarti jalan,
hanya saja yang pertama berarti jalan kecil (path)
sedangkan yang terakhir berarti jalan besar (road).
Tarekat kemudian dipahami sebagai jalan spiritual yang
ditempuh seorang Sufi. Selain tarekat sering juga dipakai
kata suluk yang artinya juga jalan spiritual, dan
orangnya disebut salik. Tetapi kata tarekat juga dipakai
sebagai kelompok persaudaraan atau orde spiritual yang
biasanya didirikan oleh seorang Sufi besar, seperti
Abdal-Qadir jaelani, Sadzali, Jalal al-din Rumi dan
lain-lain. Nama tarekat tersebut biasanya diberi nama
sesuai dengan nama-nama para pendirinya. Karena itu kita
mengenal tarekat Qadiriah, Sadzaliyah atau Mawlawiyah
yang dinisbatkan dengan kata Mawlana (guru kami) sebuah
sebutan yang diberikan oleh para pengikut Jalal al-din
Rumi kepada dirinya.
Sebagai jalan spiritual, tarekat ditempuh oleh para Sufi
dan Zahid di sepanjang zaman. Setiap orang yang
menempuhnya mungkin mempunyai pengalaman yang
berbeda-beda, sekalipun tujuannya adalah sama, yaitu
menuju Tuhan, mendekati Tuhan bahkan bersatu dengan-Nya,
baik dalam arti majaz atau hakiki, yaitu kesatuan mistik
atau ittihad (mystical union). Meskipun begitu para ahli
sepakat untuk memilah-milah tahapan perjalanan spiritual
ini ke dalam station-station (maqamat), dan
keadaan-keadaan (ahwal). Sementara maqamat dicapai dengan
usaha yang sadar dan sistimatis, ahwal adalah
keadaaan-keadaan jiwa (mental states) yang datang secara
spontan dan berlangsung relatif cepat dan tak lama.
Selain pengalaman spiritual yang berbeda-beda dari
seorang Sufi dalam tarekatnya, intensitas dan kecepatan
perjalanannya pun bisa berbeda-beda. Ali Nadwi misalnya
menggambarkan perjalanan mistik Rumi seperti burung
rajawali (falcon) yang bisa dengan cepat tiba di tangan
rajanya, sedangkan Aththar seperti semut. Rumi
sendiri misalnya mengatakan, Seorang Sufi
bermiraj ke Arasy dalam sekejap; sang Zahid
perlukan sebulan untuk sehari pejalanan.
Walaupun jalan spiritual ini obyektif, karena dialami
oleh orang-orang suci di sepanjang zaman, tetapi
pengalaman masing-masing Sufi dalam menempuh perjalanan
tersebut adalah subyektif. Dan karena sifat pengalamannya
subyektif, maka tidak mungkin kita mengharapkan adanya
keseragaman ungkapan dan nama-nama tahapan (maqamat) atau
keadaan-keadaan (ahwal) dari seluruh atau masing-masing
Sufi. Oleh karena itu wajar, kalau para penulis Sufi
berbeda misalnya dalam menamakan maqam-maqam ataupun
urutan-urutannya. Al-Kalabadzi, misalnya menyebut
maqam-maqam tersebut sebagai berikut: taubat, zuhud,
sabar, faqr, tawadhu, taqwa, tawakkal, ridha,
mahabbah dan marifat, sementara al-Ghazali
menyebutnya sebagai berikut : taubat, sabr, faqr, zuhud,
tawakkal, mahabbah, marifat dan ridha, sedangkan
al-Qusyairi sebagai berikut; taubat, wara, zuhud,
tawakkal, sabar dan ridha. Selain perjalanan tersebut
digambarkan secara datar dan dalam bentuk prosa, seperti
tersebut di atas, ada juga yang menggambarkannya secara
simbolis dan dalam bentuk puitis. Farid al-Din
Aththar misalnya menggambarkan perjalanan
spiritualnya dengan indah dalam karya puitisnya Manthiq
al-Thayr sebagai perjalanan panjang dan melelahkan dari
burung-burung (yang melambangkan jiwa-jiwa manusia) dalam
rangka menjumpai raja mereka simurgh. Untuk
itu mereka harus melampaui tujuh lembah yaitu lembah
pencaharian, lembah cinta, marifat, perpisahan,
kesatuan, keheranan, faqir dan fana. Atau seperti
Ibn Arabi yang melukiskan pengalaman spiritualnya
secara detail tanpa berusaha memberi nama masing-masing
tingkatnya tetapi menceritakan dengan gamblang perjalanan
manusia dari tingkat indrawi menuju tingkat imajinal, dan
dari dunia imajinasi ke tingkat spiritual murni.
Sekurangnya ada 19 tingkatan yang digambarkan Ibn Arabi
dalam kitabnya Risalat al-Anwar fima yumnah shahib
al-khalwa min al-Asrar, sebelum akhirnya manusia kembali
kepada dunia indrawi.
Apa yang kita gambarkan selama ini tentang tarekat,
adalah pengertian tarekat sebagai perjalanan spiritual,
yang juga disebut suluk. Tetapi ada pengertian lain dari
tarekat dalam arti persaudaraan atau ordo spiritual.
Pengertian ini sebenarnya yang lebih dikenal oleh
kalangan luas, seperti Tarekat Naqsabandiah, Sinusiah,
Qadiriah dan sebagainya. Tentu bukan tempatnya di sini
untuk membahas satu persatu tarekat tersebut, namun
beberapa hal tentang tarekat ini perlu dikemukakan.
Pertama, tentang metode spiritual dan peranan sang guru
(mursyid). Karena tasawuf pada hakekatnya tidak bisa
dipelajari lewat buku, maka latihan spiritual berupa
dzikr, atau sama, adalah cara yang efektif untuk
memahaminya lewat pengalaman batin. Daripada mengajarkan
murid-murid tentang ajaran-ajaran para Sufi, seorang guru
akan mengajak murid-muridnya untuk melakukan perjalanan
bersama melalui dzikir menuju tuhan, dengan metode yang
pernah dialami oleh si mursyid. Dengan begitu sang guru
berharap bahwa apa yang pernah ia alami dengan metode
yang sama akan juga dialami oleh murid-muridnya. Metode
ini harus diikuti dengan disiplin yang tinggi dan dengan
penuh ketaatan kepada petunjuk sang guru. Ini terjadi
karena sang guru merasa yakin hanya dengan cara itulah
maka pengalaman seorang murid akan sesuai dengan yang
direncanakan. Dalam hal ini murid tidak boleh protes atau
membangkang, dan seorang murid harus bertindak
seolah-olah seperti mayat dalam pangkuan orang yang
memandikannya. Boleh saja membangkang, tetapi sang guru
tidak bertanggung jawab atas kegagalan sang murid yang
membangkang tersebut dan tidak ada jaminan bahwa usahanya
itu akan berhasil. Jadi inilah kira-kira peranan sang
mursyid terhadap muridnya, yakni memastikan bahwa segala
hal-ihwal metodenya dijalankan sepenuhnya oleh sang
murid. Baru setelah segalanya dijalankan dengan baik,
seorang murid bisa berharap sukses dalam upaya tersebut.
|