DASAR ISLAMI TASAWUF
Diupdated
pada: Jumat 28 September 2001
Kutipan dari
"Pengalaman Tasauf (1)
KARENA sifatnya yang universal baik dalam arti ruang dan
waktu, satu sistem spiritual seperti tasawuf mungkin saja
menerima pengaruh dari sistem yang lain yang ada
sebelumnya, seperti juga mungkin saja ia juga
mempengaruhi sistim dan disiplin spiritual yang lain.
Karena itu kalau tasawuf, sebagai aspek spiritual Islam
dikatakan telah dipengaruhi oleh unsur-unsur mistis, atau
filosofis sebelum Islam, seperti mistisisme Kristen,
Yahudi, Hindu, atau sistem filsafat Neo-platonisme atau
Stoakisisme, maka hal tersebut boleh-boleh saja. Tetapi
itu sekali-kali tidaklah berarti bahwa Islam sendiri
sebagai agama tidak cukup memberikan basis bagi kehidupan
spirituliatasnya sendiri. Andaikan sistem-sitem mistik
dan filosofis yang ada sebelum Islam dan sebelum
munculnya tasawuf tidak pernah ada, maka saya yakin bahwa
mistisisme Islam atau tasawuf ini akan tetap tumbuh,
karena spiritualitas pada hakikatnya merupakan kebutuhan
esensial manusia kapan dan di mana saja. Dan itulah
sebabnya mistisisme dengan segala variasi dan kesamaannya
bisa dan telah muncul dalam tradisi dan bangsa manapun di
dunia ini. Demikianlah, maka Islam telah memberikan
beberapa basis bagi tumbuhnya sistem spiritualnya sendiri
yang disebut tasawuf.
Sebagai sebuah sistem spiritual, tasawuf tentu memiliki
basis filosofis, di atas mana seluruh bangunan
spiritualnya dibangun. Basis filosofis tersebut tidak
lain daripada basis atau prinsip bagi seluruh yang ada di
alam semesta yaitu Tuhan. Tuhan adalah basis ontologis
bagi segala sesuatu, yang tanpa-Nya segala yang ada ini
akan kehilangan pijakannya. Para Sufi menyebut prinsip
ini sebagai Kebenaran (al-Haqq). Di sebut al-Haqq karena
Dialah yang ada dalam arti yang sesungguhnya, yang
mutlak, sementara yang lain bersifat nisbi dan majazi.
Para Sufi mengambarkan prinsip ini sebagai sebuah prinsip
yang menyeluruh dan paripurna. Dari sudut pandang waktu
Dialah yang awal dan akhir, yakni Dia adalah asal dan
tempat kembali segala yang ada, termasuk manusia. Dari
sudut ruang, Dialah yang Lahir dan yang Batin, yakni
immanen dan transenden. Dan konsep realitas yang
paripurna ini sepenuhnya didasarkan pada ayat
al-Quran tepatnya surat al-Hadid ayat 3 yang
berbunyi: Dialah yang Awwal dan yang Akhir, yang Lahir
dan yang Batin.
Esensi dari sebuah sistem mistisisme adalah perasaan
dekat dengan tuhan. Dan perasaan dekat ini dinyatakan
dalam pengalaman Sufi akan kehadiran Tuhan yang ia
rasakan baik pada dirinya maupun pada alam yang
mengelilinginya. Tentang kedekatan dan kehadiran Tuhan di
mana-mana ini, para Sufi menemukan basis-basisnya dalam
al-Quran sendiri. Surat al-Baqarah ayat 186,
menyatakan bahwa Tuhan amat dekat dengan hamba-Nya, dan
bahwa Dia akan mengabulkan doa hambanya itu apabila
ia betul-betul memanjatkan doanya; sementara surat yang
sama ayat 115 menyatakan bahwa kemana saja kita
palingkan wajah kita, di sana ada wajah Tuhan, dan
itu karena Tuhan memiliki dan meliputi seluruh alam
semesta, timur dan baratnya dunia. Ibarat matahari, yang
karena ketinggian dan kebesarannya bisa terlihat di mana
saja, tanpa harus mengimplikasikan keanekaan dan
kegandaan dalam jumlah. Bahkan surat Qaf ayat 16
menunjukkan bahwa Tuhan lebih dekat kepada manusia
daripada urat nadi lehernya sendiri, dan karena itu
dikatakan mengetahui bahkan apa yang dibisikkan jiwanya.
Dikisahkan bahwa Abu al-Hasan al-Nuri, seorang sufi abad
ke-9 dibawa ke pengadilan atas tuduhan bahwa ia telah
berkata, Aku tadi malam telah bersendirian dengan
Tuhan di rumahku. Ketika dimintai keterangan atas
pernyataan tersebut, ia membenarkan penyataan tersebut
berasal darinya, dan ia memcoba membenarkannya dengan
mengutip ayat,
dan Kami lebih dekat kepadanya
daripada urat nadi lehernya sendiri, seraya berkata
Bahkan pada saat ini ia sedang berada dekat dengan
Tuhan sebagaimana orang-orang yang hadir di pengadilan
tersebut.
Selain kesemestaan Tuhan dan perasaan dekat atau
kehadiran-Nya, al-Quran juga memiliki ayat-ayat
yang dijadikan sebgai basis konsep Sufi tentang cinta
(mahabbah). Surat Ali-Imran, ayat 30 secara hipotesis
menyatakan kemungkinan terjadinya cinta timbal balik
antara Tuhan dan hamba-Nya. Katakanlah jika kamu
mencintai Tuhan maka ikutilah aku (nabi) dan Allah akan
mencintai kamu. Pada masa al-Nuri hidup, menyatakan
bahwa seseorang mencintai Tuhan dan Tuhan mencintainya,
dianggap sebagai skandal dan telah merendahkan martabat
Tuhan, karena telah menganggap Tuhan sama dengan
hamba-hambaNya. Ketika al-Nuri diminta keterangan tentang
pernyataan bahwa ia mencintai Tuhan, dan Tuhan
mencintainya, maka ia berkata bahwa hal yang seperti itu
hanya ia ulang dari pernyataan Tuhan sendiri yang
menyatakan bahwa akan datang suatu kaum di mana
Tuhan mencintai mereka dan mereka mencintai
Tuhannya
(lihat surat al-Maidah ayat 54).
Di samping al-Quran, hadits-hadits Nabi juga
memberi basis yang sama-sama kuat terhadap konsep-konsep
tertentu dari para Sufi. Hadits yang menyatakan bahwa
barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan
mengenal Tuhannya, telah diambil para Sufi sebagai
konsep marifah yaitu pengetahuan sejati
yang diperoleh secara langsung dari sumbernya sendiri.
Hadits tersebut telah dijadikan sebagai basis bagi sebuah
modus pengetahuan yang berbeda dengan modus pengetahuan
biasa, yakni apa yang kita kenal dengan nama ilmu
hudluri. Demikian juga hadits yang menyatakan bahwa
Tuhan adalah pusaka yang terpendam (Kanzan
makhfizan), telah dijadikan basis bagi konsep tajalliat
Tuhan, di mana diyakini bahwa alam semesta ini merupakan
manifestasi (tajalliyat) dari sifat-sifat Tuhan sendiri,
dan punya hubungan eksistensial dengan-Nya.
Kiranya dengan ini cukuplah bahwa ayat-ayat dan
hadits-hadits tersebut telah menjadi indikasi yang
memadai bagi adanya basis islami bagi konsep-konsep dasar
dan fundamental yang telah membentuk secara permanen
spiritual Islam yang kita sebut tasawuf atau mistisisme
Islam ini.
|