ANTARA SYARIAT DAN HAKIKAT
Diupdated
pada: Jumat 28 September 2001
Kutipan dari
"Pengalaman Tasauf (1)"
SYARIAT adalah cara formal untuk melaksanakan
peribadatan kepada Allah, yang dirujuk sebgai tujuan
utama penciptaan manusia (wa ma khalaqtu al-jinn
wal-insa illa liyabudun). Sedangkan hakikat,
yakni tasawuf /sufisme, seperti yang diisyaratkan dalam
definisi ihsan (engkau beribadat seakan-akan melihat
Tuhan, dan seandainya engkau tidak melihat Tuhan, niscaya
Ia melihat kamu), merupakan pelengkap dari ibadat
tersebut. Oleh karena itu antara syariat dan
hakikat seharusnya tidak boleh kita pisahkan tanpa
menimbulkan masalah.
Syariat yang dilakukan tanpa memperhatikan unsur
hakikat adalah seperti sebuah bangunan kosong dan belum
dihias. Sedangkan hakikat tanpa syariat akan
seperti perhiasan tanpa yang dihiasnya, sehingga hanya
akan menjadi tumpukan barang yang acak. Oleh karena itu
sepatutnyalah kedua aspek penting dari agama kita itu
tidak dihayati secara terpisah tetapi dilaksanakan
sebagai dua hal yang saling melengkapi, dan harus
diperlakukan secara seimbang. Penekanan yang berat
sebelah kepada salah satu aspek dari keduanya hanya akan
melahirkan ahli-ahli eksoterik formal (ahl al-zhahir),
yang tidak bisa mengapresiasi dimensi spiritual dari
ibadah formal mereka, atau kalau tidak, ahli esoterik
yang sama sekali meninggalkan ibadat-ibadat formal yang
merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam.
Sebenarnya, kalau kita perhatikan
tokoh-tokoh utama tasawuf, seperti Syaikh Junaid
al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali, dalam karya-karya
besarnya, mereka selalu berusaha untuk menselaraskan
kedua aspek penting agama kita. Dalam kitab Ihya
Ulum al-Din, misalnya, al-Ghazali bukan saja
membicarakan keutamaan-keutamaan spiritualitas Islam dan
nilai-nilainya yang luhur, tapi bahkan dalam bab-bab
pertamanya, ia membicarakan aspek-aspek formal
peribadatan, seperti yang dilakukan para fuqaha dalam
kitab-kitab fiqih mereka, yakni bersuci (thaharah),
shalat, zakat, puasa dan haji. Hanya saja kepada setiap
jenis ibadat formal tersebut ditambahkan makna batin dan
segala macam keutamaannya. Hal serupa juga dilakukan oleh
al-Hujwiri dalam kitabnya Kasyf al-Mahjub (Menyingkap
Tirai). Digambarkan dalam kitab tersebut berbagai
pemahaman sufistik tentang berbagai macam ibadah.
Misalnya, ia menafsirkan ibadah haji sebagai perjalanan
ke lubuk hati kita yang terdalam dari dunia indrawi. Ia
tidak menghilangkan praktek lahiriah ibadah tersebut,
tetapi menambahkan makna yang tersembunyi dari
ibadat-ibadat yang biasanya dilakukan secara fisik saja.
Misalnya, memakai baju Ihram di miqat, pada waktu
menunaikan ibadah haji, bagi Sufi bukan hanya mengganti
pakaian biasa dengan baju ihram, tetapi ada makna
spiritual dibalik itu. Pencampakan baju yang biasa kita
pakai bermakna mencampakkan emblem-emblem
yang biasanya menghiasi baju kita sehari-hari tersebut,
seperti menunjukkan status ekonomi tertentu, atau pangkat
dan tanda jasa lainnya yang menunjukkan status sosial dan
kedudukan orang yang menyandangnya. Dengan menanggalkan
baju biasa itu maka diharapkan pengaruh harta
dan kedudukan pada saat itu terhadap diri kita akan
terhapus, dan dengan mengenakan baju ihram yang sederhana
dan putih kita diingatkan akan fitrah kita yang suci dan
pandangan Tuhan yang tidak membeda-bedakan manusia karena
harta dan kedudukannya, tetapi pada kesucian hati dan
ketaqwaannya. Demikian juga dengan sai (lari-lari
kecil) dari Shafa ke Marwah dan sebaliknya selama tujuh
kali, punya makna agar kita, setelah kembali ke negeri
masing-masing, terbiasa bertolak dari Shafa (kesucian)
menuju Marwah (kebajikan), dan dari kebajikan menuju
kesucian. Dan kalau kita berhasil melaksanakannya maka
besarlah pengaruh dan manfaat yang kita peroleh dari
ibadah haji tersebut. Dengan begitu ibadah haji kita
insya Allah menjadi haji yang mabrur.
|