KESATUAN WUJUD
Diupdated
pada: Jumat 28 September 2001
Kutipan dari
"Pengalaman Tasauf (1)"
BAGI yang terbiasa hanya dengan penafsiran tauhid
teologis, penafsiran sufistik mugkin akan terasa aneh.
Dalam bagian ini saya ingin mencoba sedikit menerangkan
konsep yang tidak biasa ini. Konsep kesatuan wujud
(wahdat al-wujud) barangkali dapat memberikan penjelasan
lebih rinci tentang pemahaman tauhid ala Sufi ini.
Konsep kesatuan wujud sendiri sangat kompleks, dan sulit
ditangkap. Untunglah Syaikh al-Akbar Ibn Arabi,
penggagas konsep ini, memberikan ilustrasi yang cukup
jelas tentang bagaimana hubungan antara Tuhan dan alam
dalam konsep kesatuan wujudnya. Dalam kitabnya Fushush al
hikam ia menyatakan Wajah sebenarnya satu, tetapi
jika engkau perbanyak cermin ia menjadi banyak.
Wajah merujuk pada Tuhan, sedangkan cermin merujuk pada
alam. Jadi dalam khayal Ibn Arabi hubungan Tuhan
dan alam adalah seperti hubungan wajah dan cermin,
sedangkan berbagai mahluk yang ada di alam tidak lain
daripada bayang-bayang wajah yang sama dan satu, tetapi
terefleksi dalam banyak cermin sehingga mengesankan
keanekaan.
Secara lebih teknis mereka (pendukung ajaran wahdat al
wujud) menyebut segala macam benda dan makhluk yang
terdapat di alam semesta sebagai manifestasi (tajalliyat)
Tuhan, Tuhan bukan dalam arti dzat (esensi)-Nya yang
transenden, tetapi Tuhan dalam arti nama-nama atau
sifat-sifat-Nya yang indah. Hubungan antara nama-nama
atau sifat-sifat Tuhan tersebut dengan makhluk-makhluk
yang ada di alam semesta adalah sebagai hubungan antara
prototip dengan penjelmaannya atau ide dengan
realisasinya dalam bentuk nyata. Nama-nama itu disebut
realitas-realitas potensial yang menemukan aktulitasnya
dalam bentuk-bentuk yang beraneka dari mahluk-mahluk
ciptaan-Nya, baik yang bersifat jasmani maupun yang
rohani. Jadi apapun yang kita temukan di alam semesta ini
tak lain dari manifestasi sifat-sifat Tuhan, semacam
ekpresi lahiriah sifat-sifat Tuhan, sehingga alam bisa
disebut sebagai aspek lahiriah Tuhan, sedangkan
sifat-sifat Tuhan sendiri merupakan aspek tersembunyi
atau batiniah dari realitas yang sama. Itulah sebabnya al
Quran menyebut Tuhan sebagai yang Lahir (al-Zhahir)
dan yang Batin (al Bathin). Jadi yang Lahir dan yang
Batin adalah Tuhan yang sama dan yang satu. Rumi menyebut
alam sebagai penyamaran Tuhan dalam bentuk lahiriah.
Doktrin kesatuan wujud ternyata sangat berpengaruh baik
dalam perkembangan pemikiran tasawuf berikutnya maupun
pemikiran filosofis pasca-Ibn Arabi. Dan ini bisa
dilihat misalnya dalam ajaran-ajaran tasawuf sufi-sufi
terkenal seperti Shadr al-Din al-Qanawi Fakhr al-Din
Iraqi dan Abd al-Karim al-Jilli, maupun filosof
iluminasionis Mulla Shadra. Shadr al-Din al-Syirazi atau
Mulla Shadra, mengembangkan konsep kesatuan wujud ini
dari Ibn Arabi yang dipadukan dengan penafsirannya
terhadap filsafat iluminasi Suhrawardi, pendiri aliran
Isyraqi.
Mulla Sadra melihat seluruh wujud bukan sebagai
objek-objek yang wujud (mawjudat) tetapi sebagai sebuah
realitas (wujud) tunggal, yang pembatasannya oleh aneka
essensi (mahiyyat) memberi kesan kebinekaan yang
ada kepada wujud yang beraneka yang terlepas
satu dengan yang lainnya. Berbeda dengan pandangan Ibn
Arabi yang melihat tatanan alam yang ada sebagai
teofani (tajalliyat) dari nama-nama dan sifat-sifat
Allah, Mulla Sadra melihat kesatuan wujud dalam
hubungannya dengan aneka wujud sebagai sinar matahari
dalam hubungannya dengan sinar matahari itu sendiri.
Sinar matahari bukanlah matahari itu, tetapi pada waktu
yang sama tidak berbeda daripada matahari itu sendiri.
Wujud, bagi Mulla Sadra ibarat cahaya yang memiliki
perbedaan tingkat intensitas sementara wujud sendiri
merupakan suatu realitas tunggal yang tidak bisa
dibagi-bagi. Inilah sedikit penjeasan dari sebuah doktrin
Sufi yang sering membingungkan kita yang awam.
|