HARTA YANG TERPENDAM
Diupdated pada: Jumat 28 September 2001

Kutipan dari "Pengalaman Tasauf (1)"

DALAM salah satu hadits Qudsi, Tuhan menyatakan: ”Pada mulanya Aku adalah harta yang terpendam, kemudian Aku cinta (ingin) dikenal, maka Kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka pun mengenal Aku”. Hadits ini sebenarnya menjelaskan kepada kita bagaimana hubungan Tuhan dengan ciptaan. Sebagai “harta terpendam” maka Tuhan mengandung realitas-realitas potesial yang telah siap untuk diaktualkan kedalam bentuk-bentuk nyata, yang kita jumpai di dalam semesta. Realitas-realitas potensial ini boleh dikatakan sebagai ide yang ada dalam pikiran Tuhan, yang pengaktualannya ke dalam kenyataan membentuk alam semesta yang kita kenal ini, seperti ide/rancangan yang ada dalam pikiran sang arsitek adalah “realitas potensial” bagi bangunan yang dibangunnya yang tidak lain daripada aktualisasi dari ide atau rancangan yang dalam pikirannya tersebut. Karena benda-benda yang kita temukan di dunia ini begitu banyak dan beragam maka ide-ide yang ada dalam “pikiran” tuhan pun banyak dan bahkan boleh dikatakan tidak terbatas. Ide-ide ini tentu lebih utama dan real dibanding dengan perwujudannya, karena sementara perwujudannya itu mengambil bentuk “akibat”, “ide-ide” yang oleh para Sufi disebut “al-a’yan al-tsabit” atau “entitas-entitas yang kokoh” mengambil bentuk “sebab”. Dengan demikian sebab selalu lebih real dan utama daripada akibatnya.
Selain menunjukkan posisi Tuhan dalam kaitannya dengan ciptaan, yaitu sebagai “harta yang terpendam atau yang tersembunyi”, hadist Qudsi tersebut juga menunjukkan “motif penciptaan”, yakni apa yang medorong Tuhan untuk menciptakan alam semesta ini sebagai mahluknya. Motif tesebut terdapat dalam ungkapan “Fa’ahbabtu” maka Aku cinta untuk dikenal. Cinta untuk dikenal inilah yang menjadi motif penciptaan alam semesta oleh Tuhan. Sepintas seperti ada kejanggalan dalam ungkapan tersebut, karena bukankah Allah (Tuhan) itu maha sempurna, tak kurang suatu apapun? Lalu mengapa Ia masih memiliki keinginan untuk dikenal ? Namun pertama-tama harus diketahui bahwa Tuhan yang dikatakan tidak membutuhkan alam “Ghani ‘an al alamin” menurut para Sufi adalah Tuhan dalam tahap/wajah pertama, ketika Tuhan masih dalam bentuk dzat, belum lagi ber ta’ayyun, atau menjadi entitas. Tapi sifat Tuhan berubah ketika turun pada tahap kedua. Di sini dikatakan oleh para Sufi bahwa kebutuhan Tuhan dengan alam berbanding pada kebutuhan alam pada-Nya. Sebagai “Khalik” Tuhan membutuhkan adanya “mahluk”, yang tanpanya Tuhan tidak bisa dikatakan sebagai “Khalik”. Kemudian kebutuhan Tuhan untuk dikenal, alih-alih menunjukkan kekurangan-Nya, justru sebaliknya menjadi sebab terpenuhi kesempurnaan-Nya, betapa tidak, sebab justru karena keinginan-Nya itulah maka Ia telah menunjukkan kebesaran, keindahan dan kasih sayang-Nya kepada mahluk-mahluk-Nya. Selain itu, Tuhan bukan hanya dikenal oleh makhluk-Nya, tetapi menurut para Sufi justru lewat makhluk-makhluk-Nyalah, Tuhan mengenal diri-Nya sendiri.
Setelah hadist tersebut menyebutkan kedudukan Tuhan terhadap alam sebagai “harta yang terpendam”, dan motif penciptaan-Nya yaitu “keinginan/kecintaan untuk dikenal”, maka mulailah Tuhan menciptakan alam, “Fakhlaqtu ‘al khalq”. Bagaimana proses penciptaan alam, akan saya terangkan insya Allah pada bagian lain yang khusus membicarakannya. Untuk sekarang cukuplah dikatakan bahwa hakikat penciptaan itu tidak lain dari pada aktualisasi realitas-realitas potensial atau ide-ide yang terkandung dalam pikiran Tuhan, yang diistilahkan sebagai “Harta terpendam”. Dan ini bisa terjadi misalnya dengan memberi bentuk-bentuk kepada benda-benda potensial, yang disebut para filosof dengan “materi”, karena terwujudnya sebuah benda adalah merupakan gabungan antara bentuk dan materi. Dan ini bisa dilakukan secara langsung oleh Tuhan atau oleh “kepercayaan-Nya” seperti malaikat Jibril dan lain-lainnya. Bisa juga melalui perealisasian-Diri, seperti yang terdapat pada filsafat Hegel. Tetapi para Sufi umumnya sepakat untuk menafsirkannya melalui pancaran (Faidl) ataupun melalui apa yang disebut Sachiko Murata sebagai “perkawinan makrokosmis”.
Bagi yang terakhir dari hadist tersebut menyatakan “maka melalui Aku, mereka mahluk-mahluk itu, (dapat) mengenal Aku”. Potongan hadist ini sedikit komplikasi dan karena itu membutuhkan penjelasan. Maka melalui aku, sebagai harta yang terpendam, mahluk-mahluk itu mengenal Aku. Tapi bagaiman kita bisa mengenal Tuhan sebagai harta yang terpendam dan tersembunyi ? Tentu saja ini tidak mungkin. Tetapi yang dimaksud adalah “harta yang tersembunyi” yang sekarang sudah dimanifestasikan dalam ciptaan. Jadi kita mengenal Tuhan lewat ciptaan, tetapi ciptaan ini tidak lain daripada Aku (harta yang terpendam) yang kini telah mengejawantah. Jadi walaupun ciptaan ini bukan “Aku yang terpendam” lagi, tetapi ia tidak lain dari pada “Aku” yang terejawantah juga. Maka mahluk yang mengenal “Aku” lewat ciptaan-Ku, pada dasarnya ia mengenal-Ku lewat diri-Ku. Maka, kata Ibn Arabi, alam memiliki unsur “tanzih” atau perbedaan dengan Tuhan, di mana Tuhan adalah “yang tersembunyi” al-bathin, sedangkan alam adalah yang terwujud (al-zhahir). Tapi pada alam juga terkandung unsur “tasybih” yaitu persamaan antara alam dengan Tuhan karena baik yang “lahir” maupun yang “batin” adalah dua sifat dari Realitas yang Satu dan Sama.