EVOLUSI ALAM
Diupdated
pada: Jumat 28 September 2001
Kutipan dari
"Pengalaman Tasauf (1)"
SEJAUH ini kita telah melukiskan alam secara kurang lebih
deskriptif, dalam arti menggambarkan tingkat-tingkat
eksistensi secara statis. Kita menggambarkan mereka
sebagai sesuatu yang seakan tersekat kedalam
katagori-katagori ontologis yang statis. Tetapi Jalaludin
Rumi memberikan sebuah pemerian alam yang sangat dinamis
dimana dijelaskan bahwa telah terjadi sebuah proses
evolutif yang dialami alam semesta dari tingkat yang
paling rendah ke tingkat yang paling tinggi. Inilah yang
kita maksud dengan teori evolusi alam dalam
wacana tasawuf.
Sesungguhnya jauh sebelum Rumi hidup (w.1273) proses
transmutasi alam, terutama pada tingkat mineral telah
dilukiskan secara detail oleh seorang ahli kimia dan
sekaligus Sufi yang bernama Jabir Ibn Hayyan, yang hidup
diabad ke-2 H/abad ke-8 M. Jabir melihat bahwa telah
terjadi transmutasi evolusioner pada benda-benda
inorganik terutama logam dari tingkat yang rendah ke
tingkat yang lebih tinggi. Jabir Ibn Hayyan mencoba,
dengan menggunakan apa yang disebut sebagai
Philosophers stones dan
elixir, mempercepat transmutasi alamiah ini
dalam rangka mengubah logam-logam kasar/dasar menjadi
logam mulia terutama emas dan perak, dari sinilah
munculnya yang disebut al-kemi. Para Sufi yang datang
kemudian mengambil dari Jabir proses transmutasi
artifisial ini untuk kemudian diterapkan pada proses
transformasi jiwa melalui latihan-latihan kejiwaan
(mujahadah) untuk mengubah jiwa yang rendah ke arah yang
lebih suci dan tinggi, dan ini kemudian diikuti oleh
Sufi-Sufi yang lain.
Adapun Rumi mengambil dari Jabir konsekuensi lain dari
transmutasi alamiah ini. Bagi Rumi transmutasi alamiah
ini bukan hanya terjadi pada level mineral, tetapi juga
pada level-level eksistensi yang lainnya seperti tumbuhan
dan hewan hingga tingkat manusia. Baginya transmutasi ini
melanda pada setiap benda yang ada di alam semesta dalam
bentuk evolusi.
Evolusi terjadi dari tingkat benda yang terendah yakni
unsur-unsur, hingga yang tertinggi, yaitu manusia.
Kita, kata Rumi, pernah hidup di alam
tumbuh-tumbuhan, kemudian mati. Kita tidak ingat lagi
kini kecuali ada rasa senang dalam memandang bunga-bunga
di musim semi. Lalu kita muncul/hidup sebagai hewan.
Kemudian mati untuk hidup di alam manusia. Setelah itu
kita akan mati sebagai manusia dan akan muncul di dunia
malaikat untuk seterusnya mengarungi alam yang tiada kata
dapat memerikannya. Dan perjalanan itu akan diteruskan
hingga pertemuan dengan Tuhan tercapai.
Tentu saja evolusi tersebut tidak pernah akan terjadi
kecuali melalui daya yang luar biasa yang bisa
menggerakkan seluruh alam semesta. Rumi menyebut daya
tersebut dengan cinta, yaitu cinta alam terhadap Tuhan.
Alam ini pada dasarnya mati, kata Rumi, kalau bukan
karena cinta maka bagaimana langit-langit itu berputar.
Langit-langit itu berputar menurutnya, adalah karena
pesona gelombang cinta. Mereka berputar-putar seperti
sang pencipta yang mabuk kepayang untuk bisa bertemu
dengan kekasihnya. Ini menurut saya merupakan salah satu
gagasan briliannya yang tidak dimiliki oleh
peminat-peminat teori evolusi abad ke-18/19 M, seperti
Lamarck dan Darwin.
Cintalah yang menyebabkan atom-atom berpadu atau
berpisah. Cinta juga yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan
tumbuh dan berkembang, yang menyebabkan hewan bergerak
dan berkembang biak Yang menarik adalah bahwa gerak alam
yang di dorong oleh cinta ilahi ini bukanlah gerak acak
yang datar melainkan gerak vertikal, gerak alam yang
rendah menuju Tuhan yang paling tinggi. Itulah sebabnya
dalam imajinasi Rumi alam adalah seperti laron yang
berputar-putar untuk mencari sumber cahaya yang terang di
atas sana.
Juga perlu dijelaskan di sini bahwa tidak seperti teori
evolusi Darwin yang kemudian bersifat sekuler, teori
evolusi Rumi adalah teori evolusi teistik. Karena
sementara Darwin menolak Tuhan sebagai sebab terakhir
evolusi, Rumi justru mensyaratkan Tuhan sebagai sebab
pertama atau sebab terakhir dalam bentuk
atraksi bagi terjadinya evolusi. Sebab menurut Rumi,
evolusi hanya bisa terjadi apabila ada cinta di dalam
alam, sedangkan cinta itu adalah cinta kepada Tuhan yang
maha sempurna. Maka bagaimana mungkin ada cinta alam
terhadap Tuhan, kalau Tuhannya sendiri tidak ada.
Setiap sesuatu, kata Rumi, cinta pada
kesempurnaan, maka ia meretas ke atas penaka
tunas..
Selain itu evolusi Rumi, setidaknya menurut Iqbal
memberikan entusiasme masa depan biologis. Sebab tidak
seperti evolusi Darwin yang berhenti pada manusia,
evolusi Rumi berlangsung terus pasca-manusia, hingga
pertemuan dengan Tuhan, yang menjadi tujuan akhir,
tercapai.
|