MANUSIA SEBAGAI TUJUAN PENCIPTAAN
Diupdated
pada: Jumat 28 September 2001
Kutipan dari
"Pengalaman Tasauf (1)
YANG paling menonjol dari pandang tasawuf tentang manusia
adalah dijadikannya manusia sebagai tujuan akhir
penciptaan alam semesta. Tentu saja pandangan ini
didasarkan pada sebuah hadist Qudsi yang mengatakan:
law laka wa law laka ma khalaqtu al-alam
kullaha, yang artinya: kalau bukan karena Engkau
(ya Muhammad) tidak akan Kuciptakan alam semesta.
Engkau dalam hadist tersebut tentu saja adalah Nabi
Muhammad, tetapi nabi Muhammad disini kemudian
ditafsirkan oleh para Sufi sebagai simbol daripada
manusia sempurna (al-insan al-kamil), yaitu bentuk
manusia yang telah mencapai tingkat kesempurnaannya,
ketika ia telah mengaktualkan seluruh potensi
kemanusiaannya.
Pandangan seperti ini telah dianut oleh beberapa Sufi
terkenal seperti Ibn Arabi, Sadr al-Din al-Qunawi,
Jalal al-Din Rumi dan Abd al Karim al-Jilli. Untuk
mendeskripsikan bagaimana manusia telah menjadi tujuan
akhir penciptaan alam, Rumi menganalogikan manusia dengan
buah. Walaupun buah itu, kata Rumi, tumbuh setelah batang
dan ranting tetapi pohon secara keseluruh justru tumbuh
untuk menghasilkan buah tersebut. Kalau bukan
mengharapkan buah, tanyanya, betapa seorang petani
kan tanam pohon ? Sesungguhnya seorang petani
menanam pohon karena mengharapkan buah dari pohon
tersebut. Karena pohon tanpa buah adalah pohon yang
sia-sia, sebagaimana analogi yang dibuat Rasulullah
ketika menggambarkan kesia-siaan ilmu tanpa diamalkan.
Oleh karena itu manusia mempunyai kedudukan yang sangat
tinggi dalam pandangan Sufi, baik dalam kaitannya dengan
alam semesta maupun dengan Tuhannya. Dalam kaitannya
dengan alam semesta manusia adalah buah atau
hasil akhir dari evolusi biologis alam. Ia adalah tujuan
akhir dari penciptaan sendiri. Ia mengandung seluruh
unsur alam semesta, sebagaimana biji buah mengandung
seluruh unsur pohonnya dari mulai akar, batang, cabang
dan ranting; dan oleh karena itu manusia dikatakan
sebagai mikrokosmik. Tetapi menurut Rumi ketika manusia
telah mencapai tujuan penciptaannya, maka manusia bukan
lagi mikrokosmik tetapi makrokosmik sendiri. Sebagai
hasil evolusi terakhir manusia adalah terbaik dari segi
bentuk, fungsi dan keruwetan (sofistikasi) atau dalam
istilah Qurani ahsan al- taqwim. Kalau
manusia mengandung seluruh unsur yang ada pada dunia di
bawah dunia manusia - mineral, tumbuhan dan hewan - maka
manusia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh mereka,
yaitu kecakapan untuk berbicara (al- nuthqah) atau,
dengan kata lain, rasionalitas. Ia dikarunia akal dan ruh
yang membuat manusia berada diatas mahkluk biologis
lainnya.
Sedangkan dalam kaitannya dengan Tuhan manusia adalah
wakil Tuhan di muka bumi (khalifah fil al-ardl), yang
sangat dimuliakan-Nya. Sebagai khalifah maka tugas mansia
adalah menyampaikan berita dari dunia ghaib agar supaya
dapat difahami dan dirasakan manfaatnya oleh seluruh
manusia. Tetapi karena tidak semua manusia pada
prakteknya bisa menerima pesan-pesan ilahi
ini, maka Tuhan mengutus para Nabi dan Rasul-Nya untuk
membawa kabar tersebut. Rumi berkata: keteka
kebun-kebun mawar tlah musnah, kemanakah kita akan
mendapatkan semerbak mawar? Jawabnya adalah air
mawar. Yang dimaksud oleh Rumi adalah ketika Alllah
S.W.T yang ghaib, tidak bisa kita lihat, maka melalui
para Nabi dan Rasul-lah maka pesan dan berita diriNya
dapat kita peroleh. Oleh karena itu para Nabi dan Rasul,
yang berpuncak pada diri Nabi Muhammad, adalah
cotoh-contoh par exellance dari manusia paripurna yang
patut untuk menjadi/dijadikan sebagai tujuan akhir dari
seluruh proses penciptaan alam. Ketika para Nabi tidak
akan diturunkan lagi Nabi setelah Penutup para Nabi
dan Rasul, yakni, Muhammad S.A.W, maka peran itu
diteruskan oleh para awliya Allah, baik itu sahabat,
al-muqarrabin dan juga para Sufi.
Adapun bentuk nyata dari pemuliaan Allah kepada manusia
adalah tanggung jawab Dia untuk menciptakan segala sarana
dan prasarana yang dia ciptakan di bumi ini yang bukan
saja memungkinkan ia hidup, tetapi juga memungkinkan
manusia untuk menjalankan fungsinya sebagai wakil atau
khalifah-Nya di muka Bumi. Secara praktis Allah telah
menciptakan segala apa yang ada di Bumi untuk manusia,
sebagaimana yang dinyatakan dalam kita suci-Nya, agar
semua rencana-Nya dalam menciptakan manusia sebagai
khalifahnya bisa terlaksana dengan baik.
|