MANUSIA SEBAGAI CERMINAN TUHAN
Diupdated pada: Jumat 28 September 2001

Kutipan dari "Pengalaman Tasauf (1)"

SEPERTI telah disinggung terdahulu, manusia disebut mikrokosmos karena dalam diri manusia terkandung seluruh unsur kosmos, dari tingkat mineral sampai tingkat manusia bahkan tingkat malaikat/ruhani, karena manusia juga memiliki ruh yang berasal dari dunia ruhani. Maka apabila masing-masing tingkat wujud memantulkan sifat-sifat tertentu dari Tuhan, karena alam semesta secara keseluruhan merupakan cermin universal bagi Tuhan, maka manusia yang mengandung seluruh unsur alam semesta secara potensial dapat memancarkan seluruh sifat-sifat ilahi. Dengan kata lain manusia bisa bertindak sebagai cermin bagi Tuhan.
Tetapi tadi dikatakan manusia baru secara potensial saja dapat mencerminkan sifat Tuhan, karena pencerminan itu baru bisa secara aktual dicapai, hanya ketika manusia dapat mengaktualkan seluruh potensi kemanusiaannya, yaitu ketika manusia telah mencapai tingkat “insan kamil” atau manusia paripurna. Insan kamil telah menjadi tema sentral bagi beberapa Sufi besar, terutama Ibu ‘Arabi (w. 1240) dan para pengikutnya. Salah seorang pengikutnya yang telah menulis secara khusus tentang insan kamil ini adalah Abd al-Karim al-Jilli (w.1462). Dalam bukunya yang telah tersebar luas, al-Insan al-kamil fi ma’rifat al-awakhir wa a-awa’iI, al-Jilli menjelaskan tiga hal yang manusia sempurna dapat cerminkan dari Allah: Tindakan-tindakan-Nya (af’al), nama-nama-Nya (asma’) dan terakhir sifat-Nya. Manusia yang dapat mencerminkan tindaka-tindakan Tuhan dengan sempurna, maka yang berlaku pada dirinya adalah tindakan-tindakan Tuhan, sedangkan ia telah tercerabut dari segala daya, upaya dan karsa dirinya sendiri. Orang seperti ini tidaklah bertindak kecuali apa yang dikehendaki Tuhan. Bukankah Nabi kita dikatakan “tidaklah berkata dari hawa nafsunya, kecuali yang diwahyukan yang diturunkan kepadanya. Ia telah menyerahkan seluruh kehendak pribadinya kepada kehendak Tuhan. Inilah ibarat dari ungkapan beberapa Sufi yang mengatakan bahwa “Tuhan telah melihat melalui matanya dan mendengar melalui telinganya dan berbicara melalui mulutnya/lisannya”. Dirinya telah kehilangan daya dan kehendaknya sendiri, tetapi kemudian sebagai gantinya berlakulah kehendak dan daya Tuhan pada dirinya.
Yang kedua manusia sebagai cerminan dari nama-nama-Nya. Ini terjadi ketika nama-nama tertentu dari Tuhan terserap oleh manusia dan menggantikan namanya. Kalau ini terjadi maka terhapuslah nama seseorang dan digantikan oleh nama Tuhan. Pada saat ini maka kesadaran tentang diri seseorang hilang dan digantikan oleh kesadaran akan kehadiran Tuhan semata, maka aku dan dia menjadi lebur. Kalau nama Allah yang terserap maka terungkaplah kata dari mulut Syaikh Siti Jenar, bahwa, “yang ada hanyalah Allah, bukan Siti Jenar”. Demikian juga ketika Allah diberi nama al-haqq maka terungkaplah kata dari mulut al-Hallaj ana al-haqq, “aku adalah kebenaran” atau ”aku adalah Tuhan”, (karena dalam wacana sufistik Allah sering disebut kebenaran). Pada saat itu al-Hallaj “menafikan” dalam arti “kehilangan kesadaran akan” dirinya, dan menetapkan (itsbat) hanya keberadaan Tuhan. Atau dalam ungkapan al-Jilli sendiri, “ana Allah”, di mana di situ Allah menghapuskan nama hamba dan menetapkan baginya nama Allah.
Yang ketiga atau terakhir manusia sebagai cermin atau “tempat tajalli” sifat-sifat Tuhan. Al-Jilli mengatakan apabila sifat Allah memanifestasi pada diri hamba, maka hamba tersebut berenang dalam horizon (falah) sifat tersebut. Kalau sifat ilmu Tuhan yang bertajalli pada diri hamba maka ia akan mengetahui obyek-obyek ilmunya itu secara komprehensif dari awal sampai akhirnya. Ia mengetahui sesuatu dari sudut kualitasnya, sebagaimana keberadaannya, bagaimana akan jadinya, mengetahui apa yang belum ada dan apa yang tidak akan ada sejauh ia belum ada, [Dalam salah satu hadist Qudsi kita dianjurkan menirukan akhlak Allah (takhallaq bi akhlaq Allah), maka dikatakan ketika kita berpuasa, ketika manusia berusaha mengatasi batas-batas fisiknya, maka ini adalah mencontoh sifat Tuhan (al-ghaniy); ingat ketika seseorang mencoba menggoreskan pikiran-pikirannya dalam sebuah karya tulis, maka bagi saya ia sedang mencontoh sifat “Hayy” (Hidup) Tuhan, karena dengan begitu ia bisa mengabadikan pikirannya sekalipun ajalnya telah menjemputnya. Kalau karya itu terkenal, kemudian ahli warisnya mendapatkan royalti dari karya itu, maka sekalipun jasadnya telah lama dikubur, tetapi dalam kenyataannya ia masih bisa menafkahkan anggota keluarganya”]. Ketika sifat maha mendengar (sama) yang bertajalli pada seorang hamba, maka ia dikatakan al-Jilli dapat mendengar percakapan benda-benda mati, tumbuhan dan hewan-hewan, serta percakapan malaikat dan memahami berbagai bahasa yang berbeda-beda.