MANUSIA DAN KEBEBASAN MEMILIHNYA
Diupdated pada: Jumat 28 September 2001

Kutipan dari "Pengalaman Tasauf (1)"

DI ANTARA makhluk Tuhan, manusia adalah makhluk yang paling istimewa. Betapa tidak, manusia adalah satu-satunya makhluk yang diberi Allah “kebebasan memilih” sebagai amanat yang tidak Allah berikan kepada langit, matahari, bumi, dan bulan. Dan ini barangkali sebagai konsekuensi logis dari kekhalifahannya di muka bumi. Jadi sebagai khalifah Allah, manusia diberikan Tuhan bukan saja segala yang ada di muka bumi, tetapi juga kebebasan memilih yang merupakan hadiah dari Tuhan yang, menurut Rumi, amat patut kita hargai dan kita syukuri.
Kebebasan memilih (ikhtiyar) yang dimiliki oleh manusia ini telah dipandang semu oleh kaum Jabariyah dan bahkan Asy’ariyah, dan juga oleh sebagian Sufi. Tetapi kebebasan memilih ini telah dibela dan diperkokoh oleh Jalaluddin Rumi dengan argumen-argumen yang nampak sederhana tetapi sangat menghujam di hati. Bagi kaum Jabariyah kebebasan memilih yang kita miliki hanyalah nampaknya saja seperti bebas, tetapi sesungguhnya kita hanya memainkan sebuah peran yang telah ditentukan sebelumnya oleh sang dalang; dan inilah pengertian takdir dari mereka. Asy’ariyah di pihak lain menyatakan bahwa ada jenis tindakan dimana manusia mempunyai ikhtiyar (daya pilih) tetapi daya tersebut baru dicipta ketika pilihan dilaksanakan, sehingga pelaksana yang sejati adalah ia yang menciptakan daya tersebut, yaitu Tuhan. Inilah konsep iktisab atau kasab yang terkenal rumit tersebut.
Namun bagi Rumi, kebebasan memilih adalah real, bukan semu. Tidak masuk akal kalau manusia tidak memiliki kehendak/pilihan bebas, padahal Tuhan memerintahnya untuk melakukan banyak hal dan melarangnya juga untuk meninggalkan banyak hal. Tidak mungkin Tuhan memerintah dan melarang seseorang kalau sekiranya manusia tidak memiliki pilihan sama sekali, seperti tidak mungkinnya kita untuk memerintah/menyuruh dan melarang buku yang sedang saya tulis ini untuk bergerak atau diam. Demikian juga, kalau manusia tidak punya pilihan bebas, mengapa katanya, kita marah ketika pencuri mengambil barang kita, mengapa kita memarahi murid yang bodoh? Bahkan, katanya hewan saja tahu bahwa manusia dapat melakukan pilihan. Kalau kita pukuli hewan tunggangan kita, katakanlah kuda misalnya, lalu kalau kuda itu marah karena kesakitan, maka ia tidak marah pada “cemeti” yang dipakai manusia untuk memukulnya tetapi justru marah pada manusia. Ini terjadi karena hewan tahu bahwa cemeti tidak punya pilihan, manusialah yang patut dimarahi karena ia lah yang bisa untuk tidak berbuat sekejam itu.
Kalau manusia mempunyai pilihan bebas, maka bagaimanakah hubungannya dengan ketentuan Tuhan yang kita sebut takdir? Biasanya kita mengartikan ketentuan takdir sebagai ketentuan Allah yang pasti yang akan berlaku bagi diri kita dari sejak awal kehidupan kita sampai akhirnya. Maka kita tidak lah memainkan peran kecuali seperti wayang yang telah ditentukan segala gerak-geriknya dari awal sampai akhir oleh sang dalang. Tapi kosep ini dipandang tidak tepat oleh Rumi, karena menurutnya takdir itu tidak lain dari pada hukum kehidupan (the law of life). Takdir, katanya bukanlah, bahwa kita dipaksa untuk mencuri atau bebuat baik, tetapi takdir adalah bahwa kalau kita mencuri akan ada konsekuensi-konsekuensi tertentu yang tidak bisa dibantah, sebagai mana juga kalau kita berbuat baik. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang telah ditentukan Allah, inilah takdir yang tidak dapat diubah oleh siapa pun; dan inilah pilihan yang ditawarkan kepada manusia, sedangkan manusia berdiri bebas diantara keduanya. Manusia bebas untuk menentukan pilihan yang ditawarkan ke hadapannya, berupa hukum kehidupan. Oleh karena itu kita bisa melihat bahwa takdir sebagai hukum kehidupan tidak bertentangan dengan konsep kebebasan, kebebasan kehendak maupun kebebasan memilih.
Ini menurut saya merupakan sumbangan Rumi yang sangat berharga terhadap problem takdir yang telah begitu banyak diperdebatkan dari masa klasik hingga saat ini, dan telah banyak merobek-robek persatuan umat. Bagi Rumi kebebasan memilih bagi manusia adalah real; ia adalah hadiah Tuhan yang terbesar bagi manusia; ini adalah amanat yang tidak berani diambil oleh langit dan gunung-gunung dan makhluk lainnya. Tetapi takdir , dalam arti hukum kehidupan, juga real, dan kedua realitas kehidupan ini tidak perlu dipertentangkan dalam konsep Rumi, bahkan berinteraksi secara harmonis dalam kehidupan manusia. Manusia dituntut untuk melaksanakan kebebasan memilih ini, bukan sebagai pembangkangan terhadap ketentuan Tuhan, tetapi justru sebagai ungkapan terima kasih atas kebebasan yang telah dikaruniakan Allah kepada manusia, dan karenanya Rumi menentang keras konsep Jabariyah yang dipandangnya sebagai penghianatan terhadap kebebasan tersebut.