MANUSIA DAN PENGETAHUANNYA
Diupdated pada: Jumat 28 September 2001

Kutipan dari "Pengalaman Tasauf (1)"

SELAIN kebebasan memilih, Tuhan juga memberikan kemampuan lain kepada manusia untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah. Kemampuan kecakapan itu tak lain dari pada “kemampuannya di bidang ilmu pengetahuan”. Tuhan berfirman bahwasanya Ia telah mengajarkan seluruh nama, yang merupakan induk ilmu, kepada Adam As. Sebelum ia melaksanakan tugas kekhalifahan di muka bumi. Pengetahuan manusia ini akan menjadi bahasan utama bab kedua dari buku kecil ini: ma’rifat atau pengetahuan sejati. Tetapi pada kesempatan ini saya hanya ingin mengungkapkan tiga kecakapan yang dimiliki oleh manusia untuk mengungkap ilmu pengetahuan, karena itu masih termasuk dalam “Deskripsi Ontologis” dari manusia.
Pada umumnya para Sufi berbicara tentang tiga alat (atau kadang disebut sumber ilmu) yaitu indera, akal dan hati (intuisi). Indra mereka bagi menjadi indra lahir dan indra batin, jadi bukan hanya lima indra lahir sebagai mana yang kita ketahui. Di antara indra batin yang paling penting adalah “mutakhayyilah” atau apa yang disebut oleh Ibn ‘Arabi (w. 1240) sebagai “creative imagination”. Inilah “mata hati” dengan mana para Sufi dapat melihat entitas-entitas spiritual sebagai mana indra lahir kita menangkap obyek-obyek indrawi.
Yang kedua adalah akal. Akal dipandang sebagai “mudabbir” (pengelola) yang dapat mengendalikan hawa nafsu, sehingga hawa nafsu tersebut bisa membantu (dan bukan menghalangi) pertumbuhan spiritualitas seseorang. Dalam bukunya Kimia Kebahagiaan, al-Ghazali (w. 1111) menganologikan akal sebagai “Wazir” yang perintah-perintahnya harus diikuti oleh hawa nafsunya, yaitu nafsu syahwat yang bertugas sebagai “tax collector”, dan nafsu ghadlabiyah yang bertugas sebagai polisi. Hanya dengan mengikuti instruksi-instruksi sang Wazir maka keadaan negara akan berjalan lancar dan memperoleh kemajuan. Sedangkan hati oleh al-Ghazali dipandang sebagai “Raja” yang memperkerjakan akal sebagai Wazirnya, dan mempekerjakan, nafsu syahwat dan nafsu Ghadlabiyah, masing-masing sebagai pengumpul pajak dan polisi.
Adapun tentang keunggulan dan kekurangan dari ketiga alat pengetahuan tadi, al-Ghazali juga menulis dalam kitabnya yang lain, al-Mungidz Min al- Dlalal sebagai berikut: “Pada tahap awal kita akan mengira bahwa indra lah satu-satunya alat pengetahuan yang akan membawa kita kepada kepastian. Bukankah kita yakin bahwa gelas yang ada di hadapan saya ini betul-betul ada karena indra penglihatan dan peraba membuktikan keberadaannya? Dan karena itu tidak ada keraguan sedikit pun tentang itu? Inilah antara lain keunggulan panca indra dibanding dengan yang lain; kita yakin karena kita mengalaminya secara langsung. Tetapi kekurangannya terletak pada kenyataan bahwa indra kita ini ternyata banyak mempunyai keterbatasan. Misalnya indra penglihatan kita sulit sekali dapat melihat pergeseran bayangan benda yang tertimpa sinar matahari. Tetapi kita yakin bahwa ia bergeser, karena ketika sore hari ia condong ke Barat. Berarti perubahan itu ada, hanya saja sangat sulit dideteksi oleh pandangan mata telanjang kita. Demikian juga kita tidak bisa melihat ukuran bintang yang sesungguhnya. Semua bintang kelihatan kecil oleh kita padahal ada yang puluhan kali lebih besar dari matahari kita. Oleh karena itu pada tahap berikutnya kita tidak bisa merasakan kepastian terhadap kemampuan indra sebagai sumber pengetahuan. Di sini lah titik kelemahan sang indra”.
Ketika al-Ghazali beralih perhatiannya pada akal, maka segera ia mengetahui kelebihan akal dibanding dengan indra. Dalam salah satu tulisannya ia pernah mengatakan bahwa “akal lebih berhak disebut cahaya dari pada indra”. Cahaya di sini tentu saja dipandang sebagai sesuatu yang terang pada dirinya dan dapat menjadikan yang gelap dan remang-remang pada dirinya menjadi terang dan terlihat jelas. Dengan pengertian seperti itu maka menurut al-Ghazali akal lebih patut dipandang sebagai cahaya dibanding dengan indra, karena ketika indra hanya bisa melihat separuh saja dari bulan pada suatu saat, maka akal dapat menyempurnakannya, sehingga ia dapat menyimpulkan bahwa bulan berbentuk bola yang utuh, sekali pun indra hanya dapat melihatnya separuh saja. Namun kelemahan akal adalah bahwa ia tunduk pada subyek yang menggunakannya, sehingga ia kemudian terperangkap pada jaring subyektifitas. Akibatnya kebenaran yang ditangkap oleh akal bersifat fragmenter dan subyektif. Dari sini terjadilah perbedaan yang banyak dan tajam dari para pemakai akal, baik itu para teolog maupun para filosof. Maka kebenaran akal menjadi kebenaran yang semu, seperti halnya kebenaran mimpi yang ketika berlangsung terasa begitu nyata, tetapi sesudah kita terbangun ternyata kenyataan tersebut menjadi rancu dan tidak bermakna.
Yang terakhir adalah hati atau intuisi. Berbeda dengan indra yang hanya bisa menangkap obyek-obyek yang kongkrit dan fisik, hati dapat menangkap obyek-obyek spiritual (ma’qulat) atau obyek-obyek ghaib. Seperti akal, hati dapat menangkap obyek-obyek indrawi, tetapi berbeda dengan akal, yang menggunakan nalar diskursif, hati dapat mengalami langsung obyek-obyek ruhani, seperti halnya indra dapat menangkap secara langsung obyek-obyeknya, sehingga ia bisa lebih memberikan keyakinan (kepastian) dibanding dengan akal yang menangkap obyek-obyeknya secara tidak langsung, yaitu melalui proses penarikan kesimpulan atau apa yang sering disebut sebagai “metode silogistik”. Oleh karena itu al-Ghazali memandang hati sebagai alat yang paling tinggi dan meyakinkan dalam pengetahuan kita tentang yang ghaib. Tetapi alasan yang paling mendasar bagi kelebihan hati dibanding dengan akal dan indra, adalah melalui hatilah Tuhan menyibakkan rahasia-rahasia keghaiban, dalam peristiwa yang disebut “makasyafah”,di mana seorang manusia dibukakan pintu hatinya untuk secara langsung dapat menyaksikan (musyahadah) realitas-realitas spiritual yang selama ini terhijab ratusan ribu cadar. Dengan demikian tersigkaplah ke dalam hati seorang Sufi segala rahasia baik alam nyata maupun alam ghaib, sehingga ia dapat membedakan mana yang benar-benar sejati dan mana yang ternyata palsu dan ilusif.