MARIFAH: PENGETAHUAN SEJATI
Diupdated
pada: Jumat 28 September 2001
KETIKA kita menyebut
marifat sebagai pengetahuan sejati ini tidak
berarti bahwa jenis pengetahuan lain yang biasa kita
sebut ilm, ilmu yang palsu. Kita menyebutnya pengetahuan
sejati, karena marifat merupakan jenis pengetahuan
yang berbeda dari ilmu-ilmu lainnya, sehingga
menghasilkan isi dan metode yang juga berbeda.
Ilmu pengetahuan (ilm) biasanya diperoleh melalui
otoritas orang lain, baik itu melalui seorang guru atau
buku, dan karena itu disebut sebagai ilmu perolehan (ilmu
hushuli). Ini akan berarti bahwa ilmu-ilmu tersebut
diperoleh secara tidak langsung dan diyakini kebenarannya
berdasarkan otoritas para pendahulu dan tidak dialami
oleh pencari kebenaran ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dikatakan tidak langsung, karena kalau ilmu itu diperoleh
dari guru, maka barangkali yang punya pengalaman langsung
dan orisinil terhadap obyek itu adalah guru itu sendiri
atau gurunya guru itu dan seterusnya, dan kalau ilmunya
ia peroleh dari buku maka yang ia pelajari bukanlah obyek
itu sendiri melainkan simbol-simbol -yang tidak akan
menyentuh-- dari obyek itu, bukan obyek itu sendiri. Rumi
bertanya bisa kah kita memetik mawar dari M.A.W.A.R? Anda
baru menyebut nama, cari yang empunya nama. Karena
sifatnya tidak langsung, maka ilmu pengetahuan pada
dasarnya tidak akan bisa memberikan kepastian intuitif
kepada kita yang memilikinya. Seperti orang yang tidak
pernah mencicipi benda-benda manis tidak akan pernah
mengetahui dengan pasti bagaimana rasa manis, walaupun ia
telah mempelajari rasa manis itu dari puluhan buku, atau
dari seratus orang yang menerangkan kepadanya.
Berbeda dengan ilmu pengetahuan biasa maka marifat
diraih secara langsung oleh sang arif dan karena
itu mendatangkan kepastian bagi yang mengalaminya dan
memberikan pengetahuan dan pemahaman mendalam tentang apa
yang diketahuinya itu, seperti yang dialami misalnya oleh
al-Ghazali, yang sebelumnya telah dilanda rasa ragu yang
radikal. Pengenalan langsung oleh seseorang terhadap
obyeknya telah biasa kita alami dalam pengalaman indrawi.
Misalnya saya merasa yakin bahwa pena yang saya pakai
menulis ini ada karena saya menyentuhnya lewat indra
peraba yaitu jari-jari tangan saya. Tetapi yang disebut
dengan pengalaman langsung dalam tasawuf terjadi bukan
pada tataran indrawi tetapi dalam tataran intuitif, dan
obyek yang dialaminya bisa jadi - bahkan kebanyakan -
bersifat non fisik. Jadi yang dimaksud dengan pengalaman
mistik adalah pengalaman langsung indra bathin/hati
manusia terhadap obyek-obyek non fisik, seperti yang
misalnya dialami di alam misal (imaginal world). Karena
obyek itu dialami secara langsung maka ia mendatangkan
pengalaman yang mendalam dan karena itu pula mendatangkan
kepastian, paling tidak bagi yang mengalaminya. Suatu
kepastian yang tidak pernah bisa diperoleh dari buku atau
berdasarkan otoritas. Misalnya kepastian seseorang yang
pernah merasakan manisnya gula tentang apa manis itu
dibanding dengan orang yang mempelajari manis itu dari
berjilid-jilid buku. Yang terakhir bisa saja ia membual
dengan teori-teorinya tentang manis, tetapi ia sendiri
sebenarnya tidak pernah merasa yakin tentang apa itu
hakikat rasa manis. Tetapi bagi yang pertama hakikat
manis itu telah ia fahami, meskipun mungkin saja ia tidak
bisa mendefinisikannya. Karena itu ia tidak memerlukan
definisi untuk mengerti apa itu rasa manis.
Perbedaan lain antara ilmu dan marifat bisa dilihat
dari sudut metodologi. Kalau ilmu mengandalkan pengalaman
indrawi dan akal, maka marifat mengandalkan hati
atau bisa juga disebut intuitif. Ilmu telah menghasilkan
metode diskursif (bahtsi), sedangkan marifat metode
intuitif (dzawqi). Dalam metode diskursif terdapat jurang
yang lebar antara subyek yang mengamati dengan obyek yang
diamati. Dan ini terjadi, menurut Iqbal, karena akal
cenderung meruang-ruangkan (spatiatisasi) obyek-obyeknya,
bukan hanya obyek-obyek fisik tetapi juga obyek-obyek
non-fisik seperti waktu. Dari sudut pandangan akal, waktu
yang sebenarnya organik dilihat dari sudut intuisi,
dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga menyerupai ruang.
Maka kita mengenal istilah mileniun, abad, dasa-warsa,
windu, tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit, detik,
sekon, d.s.t. Padahal waktu yang kita alami sendiri
berbeda sifatnya dengan waktu yang diukur seperti di
atas. Karena sementara waktu yang diukur adalah homogen
(satu jam yang mana pun adalah sama), sedangkan waktu
yang dialami oleh kita adalah heterogen (satu jam bagi
orang yang menunggu berbeda dirasakan oleh orang yang
ditunggu). Karena sifatnya yang memilah-milah, maka
metode diskursif tidak pernah mengalami keintiman
terhadap obyek yang ditelitinya.
Berbeda dari metode diskursif, metode intuitif - karena
sifatnya yang langsung - memiliki keintiman dengan
obyeknya. Maka banyaklah orang Sufi berbicara tentang
kesatuan dari pengetahuan, yang mengetahui dan diketahui
(alim, ilmu, dan malum). Bentuk penyatuan ini dapat
dijelaskan dengan baik melalui konsep ilmu hudluri, di
mana obyek-obyek pengetahuan diketahui secara langsung
setelah mereka dihadirkan dalam kesadaran seseorang.
Karena ketika obyek-obyek itu hadir dalam kesadaran
seseorang, maka ia dapat mengidentifikasikan obyek-obyek
tersebut dengan dirinya, dan ketika ini terjadi maka
obyek-obyek itu telah menjadi dirinya, sehingga
pengetahuan tentang obyek-obyek itu kini mempunyai
keintiman yang sama dengan keintiman terhadap dirinya
sendiri, sedangkan pengetahuan tentang diri sendiri dapat
diketahui secara langsung tanpa pemilahan dan pembagian
mereka ke dalam subyek dan obyek. Dalam pengetahuan
tentang diri sendiri terdapat kesamaan antara yang
mengetahui, pengetahuan, dan yang diketahui, karena
ketiga pemilahan ini merujuk kepada entitas yang sama dan
satu: diri sendiri.
Hal lain yang membedakan ilmu dengan marifat adalah
bahwa yang pertama dapat diperoleh dengan upaya
seseorang, sedangkan yang terakhir tidak dapat
dihasilkan, menurut Nicholson, melalui penalaran
rasional, tetapi melalui penyingkapan (mukasyafah)
dan visi apokaliptik, yang kesemuanya tergantung
pada kehendak dan kemurahan Tuhan, yang akan
menganugerahinya sebagai hadiah kepada mereka yang telah
Ia ciptakan dengan kemampuan untuk menerimanya. Ia
seperti cahaya barakah Tuhan yang membersit ke dalam hati
dan meliputi setiap daya manusia dengan
sorotan-sorotannya yang menyilaukan.
|