INDERA, AKAL DAN HATI
Diupdated pada: Jumat 28 September 2001

SALAH satu kerinduan manusia adalah untuk mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, atau dengan kata lain mengetahui sesuatu dengan seyakin-yakinnya. Salah-satu contoh historis dari pencarian serius dan tak kunjung padam adalah apa yang dilakukan oleh al-Ghazali. Dalam bukunya yang terkenal “Keluar dari Kemelut” (al-Munqidz min al-dlalal) ia melukiskan pencariannya yang intensif akan kebenaran, dan di sini al-Ghazali menilai kemampuan indera, akal dan hati. Dalam karya ini ia menerangkan bahwa ia ingin mengetahui segala sesuatu, termasuk kepercayaan agama, seyakin-yakinnya, sebagaimana keyakinan matematis, seperti kebenaran tiga lebih kecil dari sepuluh. Kalau ada orang yang mengatakan tiga lebih besar dari sepuluh dan orang itu dapat mengubah tongkat menjadi ular, kepercayaan saya akan kebenaran bahwa tiga lebih kecil dari sepuluh tidak akan goyah. Oleh karena itu ia mencoba mencari sumber pengetahuan yang meyakinkan. Untuk memulainya ia coba indera. Pada saat itu al-Ghazali memandang pengetahuan inderawilah yang sangat meyakinkan. Betapa saya, kata al-Ghazali, akan ragu akan keberadaan pena yang saya gunakan untuk menuliskan coretan ini. Tetapi ketika memperhatikan bayang-bayang rumahnya, ia menyadari betapa indera kita menipu, karena ketika mata kita tidak bisa melacak dan menyadari pergeseran bayang-bayang (karena lambatnya), namun kenyataannya pada waktu sore hari bayangan telah berpindah ke tempat yang bertentangan. Demikian juga ketika kita mengamati bintang-bintang di langit, di hadapan mata kita bintang-bintang itu begitu kecil, padahal menurut penelitian astronomis banyak bintang-bintang yang jauh lebih besar dari matahari. Dengan begitu maka al-Ghazali menyadari betapa indera ini tidak benar-benar mepresentasikan obyek dengan setia. Dengan kata lain ia menghianati kita, dan karena itu tidak bisa dipercaya lagi sepenuhnya. Kepada mereka yang pernah membohongi kita, bagaimana kita bisa mempercayai sepenuhnya?
Setelah ia tidak menaruh kepercayaan pada indera, ia mencoba akal. Dalam bukunya Kimia Kebahagiaan al-Ghazali mengatakan akal lebih patut disebut cahaya dari pada indera, sebab akal dapat lebih banyak menjelaskan keadaan sebuah obyek dibanding dengan indera. Misalnya, indera kita, katakanlah mata, tidak pernah dapat melihat bulan secara utuh. Setiap kali kita melihat bulan, hanya separuh permukaannya yang dapat kita lihat. Tapi akal kita dapat “melihat bulan secara utuh sebagai sebuah bola”, sehingga lebih lengkap dari keterangan indera. Demikian juga bintang dapat diketahui lebih besar dari matahari oleh akal, tidak oleh indera. Kebenaran matematik pun dapat dirumuskan oleh akal, dan bukan oleh indera, karena kebenaran-kebenaran tersebut bersifat abstrak, yaitu sesuatu yang tidak bisa diserap oleh indera. Tetapi setelah agak lama ditenangkan oleh penemuan ini, timbul keraguan dalam diri al-Ghazali, apakah betul akal manusia mampu meraih kebenaran sejati. Ketika ia mulai merenungkan berbagai sistem filosofis yang berkembang dari penyelidikan akal, ia merasa bingung bagaimana sistem filosofis tersebut bisa berbeda satu sama lainnya, padahal mereka sama-sama didasarkan pada akal. Kalau akal dapat mencapai kebenaran sejati, maka mestinya ia akan sampai pada kebenaran yang sama di antara sistem-sistem filosofis tersebut, tetapi ternyata sistem-sistem tersebut berbeda dari yang satu dengan lainnya, yang menunjukkan bahwa akal tidaklah dapat menunjukkan kebenaran dengan cara yang sebenarnya. Kebenaran itu adalah kebenaran semu yang tampak pada pandangan pertama seperti benar, tetapi pada tahap berikutnya ternyata keliru. Tak ubahnya seperti ketika kita bermimpi. Apa yang kita alami dalam mimpi terasa begitu nyata dan real. Tetapi ketika kita terjaga dari mimpi, kebenaran-kebenaran yang ada dalam mimpi itu tidak masuk akal, bahkan sangat rancu. Dengan demikian untuk kedua kalinya ia dikecewakan oleh kenyataan bahwa seperti indera, akal pun tidak dapat dipercaya. Kembali ia pun dilanda keraguan yang menyiksa.
Untuk memperoleh keyakinannya kembali lalu ia memutuskan untuk meninggalkan Bagdad, meninggalkan kerektorannya di Universitas Nizamiah, dan mengadakan pengembaraan spriritual selama lebih dari sepuluh tahun. Dalam pengembaraannya yang cukup panjang itu lah ia kemudian menyadari betapa akal dan indera ternyata punya kekurangan-kekurangan yang mendalam dan lalu ia pun menemukan bahwa hati lah yang betul-betul bisa diandalkan untuk dapat menerima kebenaran secara sempurna, tetapi bukan atas kehendak manusia belaka, melainkan atas kehendak yang Maha Kuasa. Apa yang dapat manusia lakukan dengan hatinya adalah mempersiapkan diri untuk dapat menerima, dengan lebih komprehensif, cahaya yang diberikan Tuhan kepada manusia, dengan cara membersihkan hati manusia, sebagai kaca yang transparan, sehingga ketika cahaya itu membersit di atas hatinya, maka hati dapat menerimanya dengan jelas. Pelimpahan cahaya Ilahi ke atas hati manusia yang telah siap menerima itu lah yang oleh al-Ghazali disebut sebagai mukasyafah (penyingkapan) atau musyahadat (persaksian), di mana kepada manusia diperlihatkan Tuhan segala realitas dengan langsung dan gamblang, sehingga tidak menimbulkan keraguan sedikit pun di dalam hatinya. Demikianlah melalui hatinya al-Ghazali mendapatkan apa yang selama ini dicari-carinya: keyakinan yang kokoh terhadap apa yang diketahuinya.