KEBENARAN SATU, EKSPRESI BERAGAM
Diupdated pada: Senin 1 Oktober 2001

ADA satu pertanyaan yang mungkin timbul ketika kita menyadari kenyataan bahwa walaupun para Sufi mengklaim telah mendapat penyingkapan, namun mereka memiliki ajaran-ajaran yang beragam. Maka pertanyaan yang timbul adalah mengapakah terjadi keragaman dari ajaran para Sufi padahal kebenaran itu adalah satu? Pertanyaan ini mengantarkan kita pada suatu kenyataan bahwa meskipun kebenaran itu satu, tetapi ekspresi para Sufi terhadap kebenaran itu memang bisa beragam dan berbeda-beda. Dan itu terjadi karena, pertama, kebenaran itu terlalu luas untuk bisa difahami secara sekaligus oleh seseorang, termasuk seorang Sufi. Kedua, bahwa tiap-tiap Sufi memiliki konsep masing-masing, sesuai dengan isu yang berkembang pada masanya. Ketiga, karena menurut Ibn ‘Arabi ekspresi Tuhan terus dan senantiasa berubah-ubah pada setiap saat. Untuk memudahkan memahaminya, ambillah sebuah contoh yang kongkrit. Andaikan diadakan pameran elektronik di Senayan, di mana dipamerkan berbagai produk elektronik yang pernah dihasilkan dunia, maka betapa peminat elektronik akan datang berduyun-duyun mengunjungi pameran tersebut. Tapi walaupun mereka mengunjungi tempat yang sama dan bisa melihat benda yang sama seperti yang dapat dilihat oleh orang yang lain, tetapi masing-masing pengunjung akan memberikan laporan yang berbeda-beda. Mengapa? Karena setiap pengunjung telah memiliki “konsen” masing-masing dari pameran tersebut. Para pencinta komputer, mungkin hanya akan datang ke seksi komputer, dan hanya selintas saja memperhatikan benda-benda elektronik lainnya. Orang yang tertarik pada perkembangan teknologi pertelevisian, mereka akan mengunjungi stand yang memamerkan alat-alat yang ada kaitannya dengan itu. Demikian juga dengan peminat lainnya. Tidak mungkin ada orang yang mempunyai kemampuan untuk bisa sekaligus memperhatikan setiap benda elektronik yang dipamerkan di sana. Setiap orang asyik dengan “konsen”nya masing-masing.
Demikian juga apa yang terjadi dengan para Sufi. Kebenaran yang mereka alami adalah sama dan satu. Tetapi karena kebenaran itu begitu besar, maka setiap Sufi hanya bisa memahami sebagian kecil dari apa yang dialaminya, dan hanya aspek tertentu saja yang ia minati yang dapat ia perhatikan. Kisah gajah di kamar gelap dari Rumi barangkali akan dapat mengingatkan kita akan hal ini. Dikatakan bahwa di India telah diadakan pameran gajah di kamar gelap. Setiap orang yang datang ke sana memberikan laporan yang berbeda tentang gajah. Ada yang mengatakan bahwa gajah itu seperti tiang, ada seperti kipas, ada seperti barel, dan ada seperti selongsong. Setiap orang memiliki pemandangan yang berbeda-beda dan mempertahankan pendapat mereka. Bahkan mereka berselisih tentang gajah tersebut. Kalau seorang pendeta Hindu tidak datang ke tempat itu dengan membawa lilin, mungkin mereka sudah bertengkar. Tetapi setelah terterangi oleh sinar lilin tadi, barulah mereka menyadari betapa benda yang mereka perselisihkan itu sesungguhnya satu dan sama.
Tentu saja setiap Sufi dipengaruhi oleh “konsen” mereka, oleh isu-isu yang berkembang pada masanya, oleh pertanyaan-pertanyaan yang menggelayuti pikirannya, dan oleh tantangan zaman yang hendak dijawabnya. Dan kesemua itu tentu sangat dipengaruhi oleh lokalitas dan zaman di mana ia hidup dan berkembang. Oleh karena itu ketika ia mengalami “mukasyafah” terhadap realitas, maka realitas yang dialaminya mungkin sama dan satu, tetapi karena aspek yang digandrunginya, pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawabnya, dan bahkan kemampuannya untuk mengekspresikan pengalaman tersebut berbeda-beda, maka apa yang disampaikan seorang Sufi akan berbeda satu dengan lainnya. Ini tidak berarti kebenaran yang mereka alami beragam, melainkan karena hal-hal yang telah saya sebutkan di ataslah yang telah menyebabkannya. Kebenaran itu adalah satu dan sama, tapi ekspresi bisa beragam.
Keberagaman itu juga bisa timbul karena, seperti dikatakan Ibn ‘Arabi, kebenaran yang sama dan satu itu, selalu mengekspresikan kepada hambanya aspek yang berbeda pada setiap saat yang berbeda. Jadi jangankan pengalaman dari beberapa Sufi yang berbeda, pengalaman seorang Sufi saja pada saat yang berbeda, menurut “al-Syaikh al-Akbar” akan berbeda senantiasa. Oleh karena itu tidak perlu heran kalau kita melihat perbedaan ekspresi atau bahkan kosep yang terjadi dalam tulisan-tulisan para Sufi, itu hal yang wajar saja. Meskipun begitu, karena sumber pengalaman mereka adalah sama dan satu, maka kalau kita mampu menyusun mozaik pengalaman mistik mereka ke dalam suatu “struktur” yang benar, kita akan melihat di balik perbedaan-perbedaan ekspresi mereka itu kesatuan fundamental yang mendalam, dan begitu dalamnya sehingga tidak semua orang dapat “menyentuh”nya.