PERANAN MURSYID DALAM PERJALANAN SPIRITUAL
Diupdated pada: Senin 1 Oktober 2001

MURSYID artinya penunjuk jalan, yaitu penunjuk jalan bagi orang yang sedang melakukan perjalanan spiritual. Namun peranan mursyid sering terlalu dibesar-besarkan, bahkan tak jarang dikultuskan. Sesungguhnya fungsi mursyid adalah penunjuk jalan. Bagi mereka yang telah mengetahui jalan spiritual, maka mursyid tidak diperlukan, karena fungsinya adalah penunjuk jalan. Tetapi karena sebagian besar manusia yang hendak melakukan perjalanan spiritual tidak mengetahui jalan tersebut, maka kebanyakan memerlukan mursyid, karena tanpa seorang mursyid, seseorang yang belum mengetahui jalan bisa saja, bahkan kemungkinan besar, akan kesasar dan tidak akan pernah mencapai tujuannya. Oleh karena itu, kehadiran seorang mursyid sangat diperlukan, kalau ia memang betul-betul ingin sampai ke tempat tujuan. Lebih lagi kalau kita ingat bahwa perjalanan spiritual bukan lah perjalanan yang mudah, tetapi perjalanan yang panjang, terjal dan berliku-liku yang sangat membutuhkan orientasi yang jelas, determinasi yang membaja dan bimbingan serta nasehat yang senantiasa mendorong seseorang untuk meneruskan perjalanan spiritualnya sampai ke tempat tujuan. Kiranya situasi perjalanan spiritual ini akan nampak jelas dari apa yang diperikan oleh Farid al-Din ‘Aththar dalam bukunya Manthiq al-Thayr (Musyawarah Burung-burung). Demikian juga peran mursyid yang dalam karya tersebut dipimpin oleh seekor burung Hoevoe. Betapa sukarnya perjalanan tersebut, diilustrasikan dengan kenyataan bahwa dari jutaan burung (lambang jiwa manusia) yang berniat untuk bertemu dengan raja burung (Simugh), hanya tiga puluh (30) burung yang akhirnya sampai ke tempat tujuan. Sebagian besar mereka kembali ke tempat semula karena tak sanggup menantang medan yang terlalu berat untuk ditanggung oleh mereka (dilambangkan dengan tujuh lembah yang panjang dan memutusasakan yang terbentang antara titik beranjak dan tempat tujuan).
Nampaknya tidak mungkin ketiga puluh burung itupun akan sampai kalau bukan berkat petunjuk, dorongan dan kerja keras dari sang mursyid “
Hoevoe”, yang selalu memberi keterangan bagi yang bertanya, memberi dorongan bagi yang putus asa, dan memberi argumen yang baik bagi mereka yang tidak percaya. Meskipun begitu hanya sebagian kecil saja yang pada akhirnya sampai pada ke tempat tujuan, sementara sebagian besar mereka berhenti di tengah jalan, dan kembali ketempat beranjak dengan berbagai dalih dan alasan. Jadi kecuali bagi mereka yang telah mengetahui dengan baik jalan tersebut, maka nampaknya seorang mursyid sangat dibutuhkan, atau kalau tidak akan tersesat, dan tak pernah temukan tujuan.
Dalam kaitannya dengan peran seorang mursyid, ada ungkapan populer di kalangan Sufi yang sering disalah pahami. Ungkapan tersebut adalah “Hendaknya di tangan mursyid anda seperti mayat yang ada di tangan yang memandikannya”. Ungkapan tersebut telah menimbulkan penafsiran yang ekstrim di mana, sebagai mayat kita tidak boleh mempertanyakan otoritas, wewenang sang mursyid, bahkan seolah-olah kita tidak boleh bertanya suatu apapun, dan memasrahkan saja semuanya kepada sang mursyid. Penafsiran tersebut tentu bisa menyesatkan dan bisa menimbulkan image yang negatif terhadap tasawuf.
Sebenarnya, seperti yang telah saya katakan peranan mursyid tidaklah boleh terlalu dibesar-besarkan. Ia pada hakikatnya hanyalah petunjuk jalan, sedangkan pelaku utama dalam perjalanan itu, ya kita sendiri (tepatnya orang yang melakukan perjalanan itu sendiri). Kitalah yang harus berjuang, mengambil tindakan seperti yang ditunjukkan oleh sang mursyid. Tetapi sebagai yang “ditunjukkan”, pertama kita harus yakin bahwa mursyid kita memang benar-benar telah mengetahui tujuan perjalanan ini, dan kita harus yakin hal itu sebelum kita melakukan perjalanan atau ketika kita telah memutuskan untuk mengambil/mengangkat orang itu sebagai mursyid kita. Kita tidak boleh meragukan otoritasnya, dan oleh karena itu tidak boleh mempertanyakan apakah jalan yang ditempuhnya itu memang benar atau salah, atau bertanya padanya apakah ada jalan lain ke arah yang “dituju”, selain yang tengah ditempuhnya.
Untuk itu kita perlu pahami, bahwa sekalipun mungkin banyak jalan menuju “yang dituju” tetapi mursyid kita mungkin hanya tahu satu jalan saja. Karena itu memang lebih baik menurutinya saja daripada menanyakan apakah ada jalan lain selain yang sedang dilaluinya karena kalau kita tanyakan itu, maka barangkali sang mursyid akan menjawab, bahwa “mungkin saja ada jalan lain menuju tujuan yang sama, dan boleh saja anda menempuh jalan lain tersebut, tetapi ia tidak bertanggung jawab atas keselamatan anda, dan tidak menjamin bahwa anda akan sampai pada tujuan yang anda dambakan”. Maka kalau itu jawabnya, andapun tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengikuti otoritasnya.
Jadi saya nasehatkan, sebaiknya anda turuti saja dulu instruksinya, sehingga anda mencapai tujuan yang didambakan. Setelah itu anda boleh mengambil mursyid yang lain, sampai akhirnya anda tahu jalan anda sendiri, dan tidak membutuhkan mursyid lagi. Tapi selagi anda di bawah bimbingannya, seyogyanya anda tidak menanyakan jalan lain karena barangkali mursyid kita tidak mengetahuinya, dan karena itu pertanyaan kita menjadi percuma.