TAK BISA DIPELAJARI DARI BUKU
Diupdated pada: Selasa 2 Oktober 2001

SALAH SATU kenyataan yang jarang disadari peminat tasawuf adalah bahwa tasawuf dalam arti yang sebenarnya tidak dapat dipelajari dari buku. Karena apa yang telah dituliskan atau dijelaskan dalam buku, bukan lagi tasawuf tetapi lebih menyerupai filsafat. Ketika Suhrawardi al-Maqtul ditanya apakah bukunya Hikmat al-Isyrq adalah sebuah tasawuf atau filsafat, ia menjawab bahwa buku itu adalah buku filsafat meskipun didasarkan pada pengalaman batin/mistik. Karena apapun yang telah ia tulis akan mengalami proses rasionalisasi atau sistimatisasi dan tidak lagi mewakili pengalaman mistik yang bersifat meledak-ledak. Bisa jadi terdapat “jurang” atau “gap” antara apa yang dialami dengan apa yang ditulis dari pengalaman tersebut.
Rumi pernah berkata “Apapun yang kuperikan tentang cinta, aku malu padanya, ketika ia datang sediri padaku”. Artinya terdapat jurang yang lebar antara cinta sebagaimana diperikan dan cinta sebagaimana dialami. Demikian juga, kalau kita mau memberikan pemerian yang lebih konkrit, pemerian tentang rasa gula (manis) akan berbeda dengan rasa gula itu sendiri. Dan seseorang perlu mencicipi gula dulu untuk memahami pemerian tentang rasa gula. Tetapi bagi mereka yang belum pernah mencicipi gula pemerian tentang rasa gula, betapapun baiknya dan betapapun rincinya, tidak akan memberinya manfaat apapun atau pengertian apapun. Sebaliknya mereka yang telah merasakannya, akan mengerti ”makna” manis tersebut, bahkan tanpa definisi, tanpa deskripsi atau pemerian. Lagi pula seperti diingatkan Rumi, apa yang dituliskan dalam buku tidak lain daripada simbol dan obyek yang sesungguhnya dari yang diperikan melalui simbol merupakan sesuatu yang amat berbeda dan bahkan tidak punya kaitan yang organik. Rumi pernah bertanya “Apakah kita bisa menyunting mawar dari M.A.W.A.R ? Tentu saja tidak. Dari tulisan M.A.W.A.R kita tidak akan mencium “semerbak-nya yang memabukkan, atau “luka berdarah” dari durinya yang tajam tapi tersembunyi. Karena itu terdapat jurang yang dalam antara kata dan yang diperkatakan; atau dengan kata-kata Rumi, “anda baru menyebut “nama”, cari yang empunya “nama”!
Adapun cara memahami sesuatu dalam tasawuf amatlah berbeda, dan karena itu para Sufi telah menciptakan metode yang berbeda dengan metode pengetahuan biasa, seperti yang terdapat dalam ilmu pengetahuan dan filsafat: Suhwardi menyebut bahwa metode biasa disebut bahtsi atau diskursif, sedangkan metode tasawuf disebut dzawqi yaitu rasa (experiensial), di sini seseorang dihimbau untuk secara langsung mengalami obyeknya, bukan memahami, karena hanya dengan mengalami maka ia memahami. Rumi pernah berkata jika anda ingin punya pengetahuan yang sejati tentang air, maka ceburkanlah diri anda ke dalamnya. Setelah itu barulah anda akan punya pengetahuan intim tentangnya, dan bukan dengan membacanya. Bakarlah diri anda ke dalam api jika anda ingin mengetahui hakikat api. Maka terkenallah cerita tentang kupu-kupu yang ingin mengetahui hakikat api. Baru ketika tubuh kupu-kupu itu memerah seperti api, maka dikatakan bahwa kupu-kupu itu punya pemahaman yang sejati tentang api yang menyala itu sendiri. Inilah yang dimaksud sebagai “dzawqi” merasakan atau mengalami obyek tersebut dan bukan hanya sekedar mengetahuinya lewat tulisan atau analisa diskriptif.
Selain itu perlu diperhatikan peranan hati di dalam meraih pengetahuan sejati, bukan semata penalaran rasional. Seorang sufi tidak akan pernah sampai pada pengetahuan sejati kecuali melalui hati yang suci. Seperti halnya kaca, hati akan mampu menerima cahaya hanya apabila ia telah dibersihkan dari segala debu yang mengotorinya. Selama kaca tersebut penuh dengan debu, maka seberapapun intensitas cahaya yang datang, ia tidak akan mampu menyampaikan cahaya tersebut ke dalam diri kita. Tugas kita yang sesungguhnya adalah mempersiapkan diri kita, dengan cara membersihkan “kaca” hati kita dari segala jenis kotoran yang mungkin melekat padanya. Setelah itu terserah kepada kehendak Tuhan untuk memberikan cahayanya atau tidak Membersihkan diri kita dari debu keegoisan itulah yang harus kita lakukan agar kita dapat meraih pengetahuan sejati. Itulah sebabnya Rumi pernah berkata “jika anda ingin pengetahuan langsung seperti yang diperoleh para nabi, tanpa buka tanpa guru, maka bersihkanlah dirimu dari segala bentuk egoisme. Dari sini para Sufi mengembangkan konsep “pensucian jiwa” (tazkiyat al-nafs) yang terdiri dari tiga langkah: tathahur (penyucian diri), tahaqquq (realisasi diri) dan takhalluq (meniru sifat-sifat Tuhan dan Nabi), atau juga takhalli (membersihkan diri dari sifat-sifat buruk), tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji) dan tajalli (kebenaran telah memanifestasi- manifestasi kebenaran). Oleh karena semua itu merujuk pada kegiatan-kegiatan dan latihan-latihan kejiwaan, sebagai sarat tercapainya kebenaran, maka kebenaran tasawuf tidak mungkin bisa tercapai dengan melalui analsis teoritis tanpa dibarengi oleh pengetahuan spiritual. Jadi jelaslah bahwa tasawuf memang tidak bisa dipelajari lewat buku.