OBYEKTIVITAS PENGALAMAN MISTIK
Diupdated pada: Selasa 2 Oktober 2001

ORANG pada umumnya mengatakan bahwa pengalaman mistik bersifat subyektif. Sebenarnya semua pengalaman, apakah ia indrawi maupun mental spritual, bersifat subyektif, dalam arti dipengaruhi oleh subyek yang mengalami. Kalau dikatakan bahwa pengalaman mistik bersifat subyektif, itu boleh-boleh saja dan tidak punya konotasi yang negatif. Tetapi ungkapan tersebut bisa jadi bersifat negatif kalau yang dimaksud dengan subyektif itu tidak punya landasan obyektifnya, atau dengan kata lain hanya merupakan fantasi atau halusinasi seseorang. Menurut klaim tersebut, berbeda dengan pengalaman indrawi yang mempunyai dasar obyektifnya, yaitu benda-benda fisik, pengalamn mistik tidak punya dasar obyektivitas seperti itu, melainkan halunisasi yang dipandang oleh yang mengalaminya sebagai real. Namun alasan sesungguhnya dari klaim tersebut adalah ketidakyakinan orang itu pada entitas-entitas non-fisik. Bagi mereka yang ada hanyalah yang bersifat fisik, segala yang non fisik dicurigainya sebagai tidak real, fantastik atau halusinasi belaka.
Tetapi ternyata pendapat tersebut dibantah oleh bapak pragmatisme dan psikolog Amerika, William James. Menurut James pengalaman mistik itu mempunyai dasar obyektifnya, sebagaimana pengalaman indrawi. Untuk membuktikannya, William James, dalam bukunya The Variety of Religious Exsperiences, menunjukkan bahwa pengalaman mistik merupakan pengalaman yang bersifat universal, karena dialami oleh orang-orang pada zaman apapun dan di tempat manapun, terlepas dari atau tanpa dibatasi oleh suatu tradisi atau agama tertentu. Oleh karena itu, agama Hindu mempunyai orang-orang suci, yang punya pengalaman mistik yang mendalam; demikian juga Taoisme, Budhisme, Kristen, Yahudi dan juga Islam, melahirkan banyak orang-orang suci atau saints (awliya’). Kalaulah pengalaman mistik tidak mempunyai akar realitas yang kuat, maka bagaimana mungkin orang yang begitu berbeda dari sudut latar belakang, lokalitas dan waktu bisa punya pengalaman yang kita sebut pengalaman mistik ? Lebih lagi kalau kita kemudian menyadari, setelah mempelajari ajaran-ajaran mereka, adanya kesamaan struktural dan ontologis dari pengalaman mistik tersebut, maka kita akan semakin yakin bahwa pengalaman mistik yang dialami oleh banyak orang, dari berbagai lokalitas, waktu dan tradisi pasti mempunyai akar-akar ontologis yang kokoh yang memungkinkan tercapainya keserupaan struktural dari pengalaman para wali tersebut. Kerena kalau tidak ada basis atau akar realitas yang seperti itu maka bagaimana mungkin keserupaan atau keseragaman struktural tersebut bisa terjadi.
Sesungguhnya serangan terhadap pengalaman mistik merupakan satu paket dengan serangan terhadap agama dan metafisik dari kaum sekuler yang sudah tidak mempercayai yang ghaib. Serangan tersebut sangat berbahaya untuk dibiarkan berkembang begitu saja, karena bisa jadi akan menjadi basis bagi penyerangan terhadap kenabian; karena sekali mereka bisa merobohkan argumen dan tidak mempercayai pengalaman mistik, maka merekapun akan dengan mudah menolak kenabian, dan apabila kenabian ditolak, maka seluruh ajaran agama akan kehilangan basisnya.
Oleh karena itu pernyataan-pernyataan ilmuwan ataupun cendikiawan seperti Mehdi Hai’ri Yazdi, yang dalam karyanya The Principle of Islamic Epistemology, mempertahankan obyektivitas (atau lebih tepat basis obyektif) dari pengalaman mistik menjadi krusial sebagai pertahanan terhadap serangan sekuler terhadap basis bagi pengalaman mistik. Namun selain argumen-argumen logis, argumen praktis juga bisa kita kemukakan untuk memperkuat obyektivitas pengalaman mistik. Kalau kita perhatikan beberapa tokoh spiritual maupun intelektual yang mengklaim telah mengalami “pencerahan” mistik, seperti al-Ghazali (w.1111), Suhrawardi (w.1191) dan Mulla Sadr (w.1640). Ketiga tokoh tersebut merupakan tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh hingga hari ini di dunia Islam, meskipun mereka telah meninggalkan dunia ini sejak ratusan tahun yang lalu. Ajaran-ajaran mereka masih dirasakan terus aktual dan mempesona setiap orang yang membacanya meskipun telah berumur ratusan tahun. Kenyataan bahwa ajaran-ajaran mereka telah bertahan terhadap perubahan waktu yang begitu panjang, padahal semuanya mereka dasarkan pada pengalaman mistik - atau penyingkapan (mukasyafah) atau persaksian (musyahadah) - cukup menunjukkan bukti bahwa ajaran-ajaran mereka “benar” dan basis di atas mana mereka membangun ajaran-ajaran mereka “obyektif”. Sebab sebuah ajaran yang “salah” sulit dibayangkan bisa bertahan beratus-ratus tahun, dengan memberikan bermacam-macam manfaat (petunjuk) dan “inspirasi” yang memperluas kemanfaatannya. [][][] selesai.