Menggapai Keseimbangan Hidup

 
 

Sumber : Majalah Al Izzah no. 20 Th.2/Agustus 2001

 
         
 

Betapa sulitnya melanggengkan qiyamullail sambil pula mewujudkan sifat wara’ dan tetap menggeluti dunia ilmu dengan mengarang, menulis dan berkreasi. Betapa menyesalnya ketika aku tidak mampu menyempatkan diri berkhalwat menyendiri bermunajat kepada Allah karena disibukkan oleh urusan mengajar dan berbaur dengan sesama manusia. Betapa lemahnya sifat wara’ ketika dicampuri dengan mencari nafkah untuk keluarga. Padahal aku telah merelakan tersiksa karenanya ...”

 

Manusia menjalani hidup dengan berbagai kecenderungan dan hasrat. Keduanya merupakan software penting bagi manusia yang telah dianugerahkan oleh Allah swt. Pertanggung jawaban amal manusia di hari akhir, sangat berhubungan erat dengan benar atau tidaknya ia mengarahkan kecenderungan dan hasrat itu. Ketika kecenderungan dan hasrat – atau apapun dengan bahasa yang serupa dengan keduanya – itu hilang dalam diri manusia, maka saat itu pula ia berubah menjadi robot. Setiap orang tentu memiliki cita-cita dan tujuan hidup masing-masing dan ia akan berusaha memenuhi dan mewujudkan cita-cita dan tujuan hidup itu. Apapun motifnya baik yang mengharapkan ridho Allah maupun yang mencintai dunia.

 

Begitupun kalimat diatas. Kalimat tersebut secara implisit menunjukkan betapa pentingnya menyeimbangkan antara berbagai kecenderungan dalam diri. Seorang ulama salaf shaleh terkemuka, Imam Ibnu Jauzi dalam buku “Shaidul Khatir” mengungkapkan hal tersebut.

 

Bagi seorang muslim, kecenderungan-kecenderungan ke arah kebaikan tumbuh menjamur seiring berkembangnya pemahaman terhadap Islam. “Cita-citaku adalah keinginan hidup yang tidak terbatas.”, begitu Imam Hasan Al Banna menggambarkan tingginya cita-cita seorang Muslim, baik terhadap diri, ummat dan dien Islam tercinta. Namun tentu cita-cita, kecenderungan dan hasrat tadi harus mampu direalisasi secara adil, proporsional dan seimbang. Sebab kemenangan da’wah tidak hanya disebabkan oleh Qiyamulail dan munajat tanpa menuntut ilmu, bekerja dan berinteraksi dengan manusia.

 

Belajar dari Kegagalam Menjaga Keseimbangan

 

John Naisbitt dalam buku “High Tech High Touch” menceritakan kisah Amerika yang tealh mengalami transformasi – terhadap pemanfaatan teknologi – dari tempat yang nyaman secara teknologi menjadi zona mabuk teknologi.  Banyak manusia begitu terbuai oleh kesenangan dan janji teknologi yang begitu menggiurkan, sampai-sampai lupa mengindahkan berbagai konsekuensi teknologi dan bertanya-tanya mengapa masa depan nampaknya sulit diramalkan. Mereka juga memberi status khusus pada teknologi seolah-olah teknologi adalah suatu hukum alam.

 

Banyak orang memberikan hak yang tak dapat dicabut yang membuat kehidupan mereka sehari-hari, pengalaman formatif mereka, bahkan dunia alami mereka, “diatur” oleh piranti lunak yang kian lama kian canggih. Gejala mabuk teknologi tinggi ini ditandai dengan hubungan yang rumit dan sering kali bertentangan antara teknologi dan pencarian mereka akan makna. Gejala-gejala tersebut antara lain : mereka lebih menyukai penyelesaian masalah secara kilat, dari masalah agama sampai masalah gizi, mereka takut sekaligus memuja teknologi; mereka mengaburkan perbedaan antara yang nyata dengan yang semu; mereka menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar, mereka mencintai teknologi dalam wujud mainan, mereka menjalani kehidupan yang berjarak dan terenggut.

 

Amerika telah menjadi masyarakat peminum obat tanpa resep denga mentalitas mengagungkan suplemen dalam segala aspek kehidupan – apa saja, dari agama hingga gizi. Dalam upaya tanpa sadar untuk melepaskan diri dari zona mabuk teknologi, orang Amerika menelan suplemen sekitar 10 miliar pil setiap tahun. Tak kalah lucunya, orang Amerika membelanjakan lebih dari $ 700 juta per tahun untuk vitamin cepat manjur, namun rata-rata hanya makan buah kura dari satu per hari.

 

Ketakutan, sekaligus pemujaan mereka terhadap teknologi sangat tampak saat menyambut datangnya milenium baru. Ketakutan tersebut tersalurkan menjadi Armageddon  baru atau Y2K. Layaknya murka Tuhan yang amat dahsyat, sebagian mereka takut kesalahan pada teknologi komputer akan menebarkan kerusakan yang luar biasa kepada umat manusia – pesawat terbang jatuh dari langit, peluru kendali lepas tak terkendali, ekonomi ambruk dan sebagainya. Mereka menganggap seolah-olah teknologi itu sendiri merupakan kekuatan yang tak terkendali yang mampu menciptakan pandemonium (baca : kekacauan) dan kerusakan massal.

 

Hanya kartun ... electronic games ... film ... atau berita. Dengan menyangkal bahwa tayangan di layar itu sebagai sesuatu yang nyata, mereka membiarkan diri mereka sendiri serta anak-anak untuk lalai dengan terus mengkonsumsi kekerasan yang mengguncang itu, dan kemudian terkejut serta terperangah ketika ternyata seorang anak sanggup melepaskan tembakan ke arah kawan-kawannya sekelas di sekolah.

 

Belum lagi, metafor tentang televisi sebagai “penyatu keluarga” modern terbilang optimistik karena pada kenyataannya – dirumah – anggota keluarga terpencar dalam ruangan yang berlainan untuk menonton acara atau mendengarkan musik kegemaran masing-masing. Teknologi memang dapat menciptakan jarak fisik dan jarak emosional serta merenggutkan mereka dari kehidupan mereka sendiri. Dewasa ini banyak orang Amerika yang tinggal bersama-sama, tetapi sebenarnya hidup sendiri-sendiri.

 

Lalu dimana letak kesalahannya, Naisbit mengakui bahwa zona mabuk ini adalah kehampaan spiritual yang mengecewakan dan membahayakan. Ia mengusulkan agar adanya kompas moral yang mampu memandu. Agama, lanjut Naisbitt, bisa memberi kita (baca : orang Amerika) kesadaran bahwa secara spiritual kita adalah bagian dari keseluruhan, bahwa hidup pribadi kita terletak di dalam konteks alam semesta yang kekal.

 

Begitulah mereka yang relung jiwanya kosong dari sentuhan-sentuhan Allah. Mereka tidak memiliki kompas moral dan spiritual yang jelas dan utuh memandu perjalanan mereka. Kalaupun ada, mereka hanya mengkonsumsi itu sebagai “suplemen batin” yang berbentuk, buku, majalah, astrologi, acara keagamaan pada jam tayang utama, terapi-terapi dan meditasi. Suplemen-suplemen tersebut – yang juga dkonsumsi membabi buta – menjanjikan mereka mendapatkan inspirasi, kebahagiaan, keharmonisan, visi, vitalitas, kejernihan, penemuan diri, pencerahan, energi yang ringan dan keseimbangan.

 

Namun, lagi-lagi kesombongan yang mereka dapatkan dan dengan ragu menyebutnya makna (hidup). Kasihan ...

 

Muslim di Tengah Arus Kecenderungannya Sendiri

 

Kehidupan seorang Muslim tentu tidak seburuk gambaran kehidupan di atas. Namun bukan berarti mereka tidak memiliki hasrat, kecenderungan, cita-cita, impian, keinginan atau sejenisnya. Sebagai manusia biasa, seorang Muslim memiliki At Tanaazu’ yaitu ketertarikan, hasrat, merindukan atau condong kepada sesuatu. Oleh karena itu antara diri dan nafsunya, timbullah keinginan untuk merealisasikan kecenderungan-kecenderungan tersebut.

 

Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa dalam diri seorang Muslim kecenderungan-kecenderungan ke arah kebaikan tumbuh menjamur seiring dengan semakin dalam pemahamannya terhadap Islam. Oleh karenanya disinilah perbedaan antara seorang muslim dengan non muslim, dimana kecenderungan yang hadir selalu dalam bingkai kebaikan dan mengharapkan kedekatan serta keridhoaan Allah swt.

 

Ustadz Muhammad bin Hasan bin ‘Aqil Musa dalam buku “At Tanaazu’ wa tawaazun fii Hayatil Muslim” menyebutkan ada beberapa kecenderungan pada diri seorang Muslim yang tetap harus dijaga sisi-sisi tawaazun dari kecenderungan-kecenderungan itu. Hal tersebut antara lain : kecenderungan menuntut ilmu, kecenderungan memperbanyak kuantitas dan persentase ibadah, kecenderungan berda’wah dan berjihad di jalan Allah, kecenderungan mencari dan meraih harta yang banyak. Tak pelak lagi semua kecenderungan inilah yang akhirnya bisa mewujudkan kemenangan da’wah bila dipadukan dan diaplikasikan secara baik, adil, bijaksana dan seimbang.

 

Dalam kecenderungan menuntut ilmu, seorang muslim harus menjaga keseimbangan antara semangat menuntut ilmu dengan menyucikan hati. Keduanya jelas memiliki manfaat yang besar bagi seorang muslim. Namun, bila tidak dijaga keseimbangannya bisa menimbulkan efek yang ekstrim. Melulu menuntut ilmu tanpa menata dan mengelola hati akan membuat hati menjadi keras, menumbuhkan kesombongan dan lambat laun akan meremehkan ibadah. Sedangkan terlalu tekun melunakkan hati akan mewarisi sifat penakut dan malas yang kadang kala membuat orang cepat merasa puas.

 

Selain itu dalam menuntut ilmu harus pula dijaga keseimbangan antara menuntut ilmu syar’i (hukum-hukum Islam) dengan ilmu lain yang bermanfaat. Karena hakikat ilmu adalah harta kaum muslimin yang hilang maka ambillah dimana pun ia berada.

 

Dalam beribadah kepada Allah swt, seorang muslim harus memprioritaskan pelaksanaan ibadah fardhu, karena ibadah fardhu ini tidak boleh ditinggalkan kecuali ada udzur syar’i. Selain itu seorang muslim juga tidak bisa meninggalkan ibadah-ibdah sunnahnya (sesuai dengan kemampuannya) karena ibadah sunnah merupakan harta karun peninggalan Rasulullah saw yang selalu dicari oleh pemburu kemuliaan dari Allah swt.

 

Di sisi lain menumbuhkan kemauan yang kuat untuk melaksanakan ibadah adalah syarat awal bagi kelanggengan pelaksanaan ibadah-ibdah tersebut pada hari-hari yang kita lalui. Namun jangan pula terlalu bersemangat beribadah yang akan mengesampingkan hak-hak orang lain disekitar kita, misalnya keluarga kita. Kisah sahabat Rasulullah saw, Abu Darda yang diigatkan – karena terlalu semangat beribadah – bahwa Allah, diri dan keluarga mempunyai hak atas dirinya yang harus dipenuhi secara adil.

 

Begitupun dalam da’wah dan berjihad di jalan Allah. Keseimbangan antara benyaknya aktivitas da’wah, mengajak manusia kepada jalan Allah harus juga diimbangi oleh banyaknya waktu yang kita sediakan untuk beribadah kepada Allah. Sebab keberhasilan da’wah seringkali berawal dari sentuhan hati. Dan itu diasah dengan cara beribadah kepada Allah swt.

 

Tak kalah pentingnya adalah seorang da’i muslim harus menjaga keseimbangan antara rasa tidak senangnya terhadap popularitas dengan keharusan tampil memimpin dan memandu ummat. Oleh karenanya unsur keikhlasan dalam hal ini jelas sangat diperlukan.

 

Mengembangkan Kedua Sayap Kita

 

Merealisasikan keseimbangan dalam diri adalah sebuah pekerjaan yang sulit. terkadang kita tidak bisa mengetahui apakah kita sudah berada pada titik tengah atau belum. Bahkan kita sendiri tidak mampu menjaga kecenderungan-kecenderungan yang luapannya terlalu besar agar bisa diarahkan pada porsi-porsi yang adil. Malah yang perlu dikhawatirkan bahwa kita terlalu putus asa untuk mewujudkan keseimbangan itu dalam diri kita.

 

Para sahabat Rasulullah saw telah banyak yang mampu memadukan secara baik dan adil berbagai kecenderungan beramal dalam diri mereka. Lihatlah bagaimana Umar bin Khattab seorang Khalifah yang memimpin ummat, namun kehidupannya begitu zuhud. Perilakunya tegas saat memutuskan sesuatu, tapi di sudut lain ia menangis khawatir keputusannya keliru. Atau seorang tabi’in Imam Baqiy bin Mukhalid yang mengkhatamkan Al Quran setiap malam dalam tiga belas rakaat. Siangnya sholat sebanyak seratus rakaat, melanggengkan puasa dan dikenal sebagai ahli hadits. Disisi lain beliah pernah mengikuti peperangan sebanyak 72 kali.

 

Walaupun sulitnya keseimbangan itu terwujud, namun hendaknya proses berusaha pada diri kita untuk mewujudkan dan melanggengkan keseimbangan itu tidak pernah pudar. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan kaidah dalam usaha menjaga keseimbangan kita. Pertama, optimalisasi penggunaan waktu dan cita-cita yang tinggi. Permasalahan awal dari ketidakmampuan kita menjaga keseimbangan adalah buruknya manajemen waktu pribadi dan rendahnya kemauan dan cita-cita kita. Jiwa thumuh (dorongan berprestasi) belum merasuk dalam diri kita. Rasa puas dan cukup dengan kondisi keimanan dan kualitas diri sekarang adalah suatu yang harus kita buang jauh-jauh. “akulah jiwa perindu. setiap kali ia sampai pada satu tingkat, setiap itu pula ia merindukan tingkat yang lebih tinggi...” demikian Umar ibn Abduk Aziz menuturkan.

 

Kedua, mengetahui skala prioritas. Mengetahui urutan amal dan prioritas serta mengklasifikasi berbagaimasalah adalah faktor penting dalam membentuk pribadi tawazun. Dengan adanya skala prioritas akan menghindarkannya dari ketidakteraturan kegiatan.

 

Ketiga, tidak isti’jal (terburu-buru) mengharap terwujud mengharap sesuatu. Menelusuri jalan dengan tidak tergesa-gesa dan berdasar pada ketenangan jiwa yang stabil adalah landasan penting dalam mewujudkan keseimbangan yang dikehendaki. Jarak yang akan  ditempuh ratusan mil oleh seseorang harus dimulai dengan langkah pertama. Memang harus dibedakan antara ketergesa-gesaan dan semangat, militansi dan etos kerja. Oleh karenanya agar semangat yang sudah menggebu dalam diri kita tidak berubah menjadi isti’jal maka harus diimbangi dengan pemahaman dan kesabaran.

 

Keempat, melihat secara utuh setiap persoalan. Setiap orang yang menginginkan keseimbangan dalam hidupnya, ia harus menyelamatkan akalnya dari cara pandang yang parsial, sebab akan melemahkan fungsi akal sendiri. Cara berfikir yang parsial akan mematikan daya kreatifitas manusia dan menyeretnya kepada jalan taqlid serta menghalanginya untuk memperoleh manfaat dari orang lain.

 

Epilog

 

Seorang mukmin, bila diibaratkan seekor elang maka kepakan sayapnya adalah cermin kekhusyu’an, paduan antara keseriusan, kerja keras, kesungguhan dan konsentrasi yang mendalam. Tak adalagi ruang kosong antara idealisme dan realitas, karena ujung tali keduanya telah tersimpul dalam ikatan thumuh. Thumuh mereka telah menjelma menjadi padang luas yang kelelahan mengitarinya. “Bila jiwa itu besar. raga akan lelah mengikuti kehendaknya.

 

Wallahu ‘alam bish showab.