BANDUNG--Jumlah anak-anak yang menjadi buruh (pekerja) di
Kota Bandung kian meningkat. Berdasarkan data yang dimiliki
Yayasan Bahtera, LSM yang bergerak di bidang perlindungan
anak, pada 2004 jumlah pekerja anak berjumlah 25 ribu orang,
atau sekitar 2,7 persen dari 900 ribu anak-anak di Kota
Bandung.
Menurut Ketua Yayasan Bahtera, Hadi Utomo, kategori
anak-anak yang dimaksud berusia di bawah 15 tahun. Anak-anak
itu, kata dia, bekerja sebagai buruh pabrik makanan, plastik,
garmen, konveksi, kerajinan tangan, bangunan, pedagang
asongan, dan pemulung. ''Termasuk di dalamnya anak-anak yang
mencari nafkah di jalanan,'' ujarnya. Anak-anak yang terpaksa
harus mencari uang itu, kata Hadi, tersebar di sejumlah
wilayah di Kota Bandung.Ia pesimis, jumlah anak-anak yang
bekerja di sektor formal dan informal itu akan menurun.
Pasalnya, lanjut dia, pemerintah cenderung kurang
memperhatikan nasib anak-anak. ''Hukum yang mengatur
perburuhan anak di Indonesia sangat lemah,'' katanya. Dalam
menentukan kebijakan, kata Hadi, pemerintah kurang berpihak
pada masyarakat. Salah satu buktinya, cetus dia, bisa dilihat
dari anggaran untuk pendidikan yang masih kecil. Untuk 2003
saja, lanjut dia, pemerintah pusat mengucurkan dana Rp 16
triliun.
''Jauh lebih kecil dibanding anggaran untuk perekonomian
yang besarnya Rp 92 trilun,'' tuturnya. Padahal, sambung Hadi,
anggaran pendidikan dan anggaran Dinas Sosial seharusnya lebih
tinggi. Jika anggaran pendidikan tinggi, maka kesempatan
anak-anak mendapatkan pendidikan yang layak bisa terpenuhi.
''Negara telah melakukan kekerasan pada rakyat, karena sistem
perekonomian berpihak pada konglomerat bukan pada rakyat
miskin,'' katanya menandaskan. Selain itu, lanjut Hadi, hukum
perburuhan anak di Indonesia masih sangat lemah. Kondisi itu
mendukung bertambahnya jumlah pekerja anak-anak.
Saat ini, ada dua undang-undang yang mengatur tentang buruh
anak. Namun kedua peraturan itu satu sama lain saling
melemahkan. ''Seharusnya kedua undang-undang itu saling
mendukung,'' cetusnya. Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, menyebutkan, batasan usia bagi buruh anak
adalah 15 tahun. Namun pada bagian lain, anak-anak berusia 13
tahun boleh bekerja asal tidak dieksploitasi oleh pihak
perusahaan. ''Aturan itu bertentangan dengan UU No 20 Tahun
1999 hasil konvensi ILO 1998. Kedua undang-undang itu saling
melemahkan,'' ujarnya.
80 Ribu Bayi Alami Gangguan Motorik
BANDUNG--Sekitar dua persen bayi dari yang lahir di
Indonesia mengalami gangguan perkembangan motorik (celebral
palsy) (CP). Akibat menderita CP, bayi tersebut mengalami
gangguan pertumbuhan. ''Salah satu penyebabnya karena
masyarakat tidak merencanakan kehamilannya,'' kata dr Hardiono
Pusponegoro, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Pusat.
Menurut Hardiono, saat ini penduduk Indonesia berjumlah 200
juta jiwa. Jika tiap tahunnya ada dua persen, maka bayi yang
lahir berjumlah empat juta bayi. Dari jumlah itu, lanjut dia,
sebanyak dua persennya atau sekitar 80 ribu bayi mengalami
gangguan CP.''Sejak 1990, setiap tahunnya di Indonesia dua
persen dari jumlah bayi yang lahir mengalami CP,'' katanya,
Jumat (30/4). Salah satu faktor gangguan CP, lanjut Hardiono,
karena pasangan suami-istri tidak merencanakan terlebih dulu
kehamilannya. Seharusnya, cetus dia, setiap pasangan suami
istri melakukan primary prevention (perencanaan
kehamilan) terlebih dulu.
''Pada umumnya masyarakat Indonesia tidak menyiapkan diri
saat menghadapi kehamilan,''tuturnya. Untuk menghindari
terjadinya gangguan CP, lanjut Hardiono, pasangan suami istri
harus benar-benar mempersiapkan kehadiran seorang anak.
Disamping itu, kata dia, seorang ibu yang akan mempunyai anak
harus bisa mendeteksi secara dini. ''Bila perlu melakukan
pemeriksaan dan konsultasi dengan dokter,'' katanya. Jika anak
yang lahir terlanjut mengalami gangguan CP, cetus dia, harus
menjalani pemeriksaan rutin.
Dengan demikian, kemungkinan terganggunya perkembangan anak
tersebut bisa dieliminir. ''Tetapi yang lebih baik adalah
melakukan pencegahan diri. Yaitu dengan mempersiapkan
kelahiran anak secara maksimal,'' katanya menandaskan. Salah
satu gejala seorang bayi mengalami gangguan CP, cetus Hadiono,
bisa dilihat ketika bayi itu lahir. Jika bayi itu lahir tanpa
dibarengi tangisan, kata dia, maka kemungkinan besar bayi
tersebut mengalami gangguan CP. ''Itu salah satu
indikasinya,'' ujarnya. Selain itu, kata Hadiono, bayi yang
lahir prematur dan infeksi syaraf pusat juga berisiko
mengalami gangguan CP.
Jika ada indikasi tersebut, kata dia, orang tua harus
melakukan interverensi dan stimulasi pada anak sebaik mungkin.
''Misalnya dengan memberikan nutrisi yang baik pada anak. Anak
yang terkena CP harus ditangani secara khusus,'' katanya.
Sedangkan menurut Ketua Yayasan Penyandang Anak Cacat (YPAC)
Pusat, Sorta Tobing, jumlah penyandang anak penyandang cacat
polio yang datang ke tempatnya, mengalami penurunan. Itu
terjadi setelah ditemukan vaksin polio. ''Sebagian besar yang
datang ke tempat kami karena gangguan CP, '' ujarnya.