Sabtu, 01 Mei 2004

25 Ribu Anak di Kota Bandung Jadi Buruh

Laporan : kie

BANDUNG--Jumlah anak-anak yang menjadi buruh (pekerja) di Kota Bandung kian meningkat. Berdasarkan data yang dimiliki Yayasan Bahtera, LSM yang bergerak di bidang perlindungan anak, pada 2004 jumlah pekerja anak berjumlah 25 ribu orang, atau sekitar 2,7 persen dari 900 ribu anak-anak di Kota Bandung.

Menurut Ketua Yayasan Bahtera, Hadi Utomo, kategori anak-anak yang dimaksud berusia di bawah 15 tahun. Anak-anak itu, kata dia, bekerja sebagai buruh pabrik makanan, plastik, garmen, konveksi, kerajinan tangan, bangunan, pedagang asongan, dan pemulung. ''Termasuk di dalamnya anak-anak yang mencari nafkah di jalanan,'' ujarnya. Anak-anak yang terpaksa harus mencari uang itu, kata Hadi, tersebar di sejumlah wilayah di Kota Bandung.Ia pesimis, jumlah anak-anak yang bekerja di sektor formal dan informal itu akan menurun.

Pasalnya, lanjut dia, pemerintah cenderung kurang memperhatikan nasib anak-anak. ''Hukum yang mengatur perburuhan anak di Indonesia sangat lemah,'' katanya. Dalam menentukan kebijakan, kata Hadi, pemerintah kurang berpihak pada masyarakat. Salah satu buktinya, cetus dia, bisa dilihat dari anggaran untuk pendidikan yang masih kecil. Untuk 2003 saja, lanjut dia, pemerintah pusat mengucurkan dana Rp 16 triliun.

''Jauh lebih kecil dibanding anggaran untuk perekonomian yang besarnya Rp 92 trilun,'' tuturnya. Padahal, sambung Hadi, anggaran pendidikan dan anggaran Dinas Sosial seharusnya lebih tinggi. Jika anggaran pendidikan tinggi, maka kesempatan anak-anak mendapatkan pendidikan yang layak bisa terpenuhi. ''Negara telah melakukan kekerasan pada rakyat, karena sistem perekonomian berpihak pada konglomerat bukan pada rakyat miskin,'' katanya menandaskan. Selain itu, lanjut Hadi, hukum perburuhan anak di Indonesia masih sangat lemah. Kondisi itu mendukung bertambahnya jumlah pekerja anak-anak.

Saat ini, ada dua undang-undang yang mengatur tentang buruh anak. Namun kedua peraturan itu satu sama lain saling melemahkan. ''Seharusnya kedua undang-undang itu saling mendukung,'' cetusnya. Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan, batasan usia bagi buruh anak adalah 15 tahun. Namun pada bagian lain, anak-anak berusia 13 tahun boleh bekerja asal tidak dieksploitasi oleh pihak perusahaan. ''Aturan itu bertentangan dengan UU No 20 Tahun 1999 hasil konvensi ILO 1998. Kedua undang-undang itu saling melemahkan,'' ujarnya.

80 Ribu Bayi Alami Gangguan Motorik

BANDUNG--Sekitar dua persen bayi dari yang lahir di Indonesia mengalami gangguan perkembangan motorik (celebral palsy) (CP). Akibat menderita CP, bayi tersebut mengalami gangguan pertumbuhan. ''Salah satu penyebabnya karena masyarakat tidak merencanakan kehamilannya,'' kata dr Hardiono Pusponegoro, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Pusat.

Menurut Hardiono, saat ini penduduk Indonesia berjumlah 200 juta jiwa. Jika tiap tahunnya ada dua persen, maka bayi yang lahir berjumlah empat juta bayi. Dari jumlah itu, lanjut dia, sebanyak dua persennya atau sekitar 80 ribu bayi mengalami gangguan CP.''Sejak 1990, setiap tahunnya di Indonesia dua persen dari jumlah bayi yang lahir mengalami CP,'' katanya, Jumat (30/4). Salah satu faktor gangguan CP, lanjut Hardiono, karena pasangan suami-istri tidak merencanakan terlebih dulu kehamilannya. Seharusnya, cetus dia, setiap pasangan suami istri melakukan primary prevention (perencanaan kehamilan) terlebih dulu.

''Pada umumnya masyarakat Indonesia tidak menyiapkan diri saat menghadapi kehamilan,''tuturnya. Untuk menghindari terjadinya gangguan CP, lanjut Hardiono, pasangan suami istri harus benar-benar mempersiapkan kehadiran seorang anak. Disamping itu, kata dia, seorang ibu yang akan mempunyai anak harus bisa mendeteksi secara dini. ''Bila perlu melakukan pemeriksaan dan konsultasi dengan dokter,'' katanya. Jika anak yang lahir terlanjut mengalami gangguan CP, cetus dia, harus menjalani pemeriksaan rutin.

Dengan demikian, kemungkinan terganggunya perkembangan anak tersebut bisa dieliminir. ''Tetapi yang lebih baik adalah melakukan pencegahan diri. Yaitu dengan mempersiapkan kelahiran anak secara maksimal,'' katanya menandaskan. Salah satu gejala seorang bayi mengalami gangguan CP, cetus Hadiono, bisa dilihat ketika bayi itu lahir. Jika bayi itu lahir tanpa dibarengi tangisan, kata dia, maka kemungkinan besar bayi tersebut mengalami gangguan CP. ''Itu salah satu indikasinya,'' ujarnya. Selain itu, kata Hadiono, bayi yang lahir prematur dan infeksi syaraf pusat juga berisiko mengalami gangguan CP.

Jika ada indikasi tersebut, kata dia, orang tua harus melakukan interverensi dan stimulasi pada anak sebaik mungkin. ''Misalnya dengan memberikan nutrisi yang baik pada anak. Anak yang terkena CP harus ditangani secara khusus,'' katanya. Sedangkan menurut Ketua Yayasan Penyandang Anak Cacat (YPAC) Pusat, Sorta Tobing, jumlah penyandang anak penyandang cacat polio yang datang ke tempatnya, mengalami penurunan. Itu terjadi setelah ditemukan vaksin polio. ''Sebagian besar yang datang ke tempat kami karena gangguan CP, '' ujarnya.



© 2003 Hak Cipta oleh Republika Online
Dilarang menyalin atau mengutip seluruh atau sebagian isi berita tanpa ijin tertulis dari Republika