DPR tengah mempersiapkan berbagai usulan untuk menambah
anggaran pendidikan. Salah satunya adalah melalui mekanisme
zakat dan pajak tertentu yang diperuntukkan bagi pendidikan.
Bukan seperti diusulkan Mendiknas Abdul Malik Fadjar, dengan
mengembangkan wacana pengumpulan dana pendidikan melalui
mekanisme pajak khusus untuk pendidikan.
"Jadi, bukan memunculkan pajak khusus pendidikan, yang
dikhawatirkan akan mendorong sektor lain untuk menarik pajak
dengan argumentasi yang sama dengan sektor pendidikan," kata
Dr A Fathoni Rodli, Staf Ahli Komisi VI DPR, di Jakarta,
seperti dikutip dari situs Pesantren.net. Fathoni dimintai
komentarnya seputar usulan dari berbagai pihak kepada Komisi
VI DPR untuk menambah anggaran pendidikan, yang dalam
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2003
kurang dari empat persen.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan Nasional Abdul Malik Fadjar
dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR mengusulkan agar
dikembangkan wacana untuk mengumpulkan dana pendidikan
melalaui mekanisme pajak khusus untuk pendidikan. Menurut
Fathoni, saat ini Komisi VI DPR sedang memikirkan usaha-usaha
yang pantas, produktif dan legal, untuk menambah anggaran
pendidikan yang saat ini masih jauh dari tuntutan yang
diamanatkan UUD 1945 hasil perubahan, yakni minimal 20 persen
dari total APBN dan APBD.
"Kalau saya pribadi lebih setuju melalui mekanisme zakat.
Apalagi saat ini sudah ada Undang-undang (UU) tentang Zakat,
dan diusulkan peruntukkannya bagi pendidikan," ujarnya.
Mekanisme zakat ini, kata Fathoni, dinilai relatif mudah untuk
diterapkan. Apalagi sekarang Menteri Agama sudah melakukan
koordinasi bersama Menteri Keuangan agar pembayar zakat bisa
mendapat potongan dari kewajiban pajak yang seharusnya
dibayarkan.
"Menteri Agama sudah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan
agar bentuk-bentuk pembayaran zakat itu diberikan pengakuan
oleh Menteri Keuangan, lalu pengakuan ini dijadikan pemotongan
pajak yang seharusnya dibayar," ujar Fathoni. Adapun bagi
masyarakat non-Muslim, tambahnya, harus dicarikan cara yang
mirip dan ekuivalen dengan zakat bagi masyarakat Muslim.
Dengan demikian, dana yang dihimpun oleh masyarakat non-Muslim
untuk kegiatan keagamaan tersebut sebagian bisa dipergunakan
untuk pendidikan, dan pada gilirannya akan mendapat potongan
pajak yang harus dibayarkan.
Hanya saja, diakui bahwa mekanisme zakat ini masih
membutuhkan sosialisasi ke masyarakat Muslim sendiri. Apalagi
hingga saat ini belum banyak masyarakat Muslim yang mengetahui
keberadaan UU tentang Zakat dan penggunaan zakat tersebut.
"Mekanisme zakat ini memang lebih cepat, lebih gampang dan
konkret. Namun, dalam penerapannya perlu terlebih dahulu
dilakukan penyadaran terhadap umat Islam agar mau membayar
zakat. Kalau kita bisa membangkitkan kesadaran umat untuk
membayar zakat, maka pendidikan akan memiliki anggaran yang
besar," ujarnya.
Mengenai pajak tertentu yang khusus diperuntukkan bagi
pendidikan, antara lain, bisa diambilkan dari pajak bumi dan
bangunan (PBB). Selain itu, juga bisa dengan memanfaatkan
pajak yang dibayarkan oleh penyelenggara pendidikan komersial,
seperti kursus-kursus. Dari pajak yang mereka bayarkan kepada
negara itu sebagian dialokasikan untuk menambah anggaran
pendidikan. "Sebetulnya banyak sektor yang bisa digali.
Sebutlah dengan memanfaatkan pajak-pajak lain yang bersifat
langsung, seperti pajak hiburan, pajak restoran, dan
sebagainya.
Sebaiknya, pajak yang diperuntukkan untuk pendidikan itu
merupakan pajak yang bisa memberikan kontribusi konkret,
mengingat pendidikan sudah menjadi kebutuhan konkret," kata
Fathoni. Hanya saja, peruntukan pajak tertentu untuk
pendidikan ini harus disosialisasikan terlebih dahulu kepada
masyarakat. Sosialisasi ini perlu dilakukan agar bisa
memunculkan kesadaran masyarakat untuk peduli pada pendidikan.
Masalah penting lain yang harus diperhatikan adalah
penggunaan dana-dana yang berhasil dikumpulkan untuk
pendidikan itu harus transparan. Keterbukaan dalam penggunaan
dana ini pada gilirannya akan mendorong munculnya dukungan
masyarakat pada usaha perbaikan pendidikan. "Tanpa
memperhatikan aspek transparansi ini, rasanya sulit
mengharapkan dukungan masyarakat," kata
Fathoni.