Jumat, 06 Februari 2004

Zakat Bisa Menambah Anggaran Pendidikan

Laporan : yus

DPR tengah mempersiapkan berbagai usulan untuk menambah anggaran pendidikan. Salah satunya adalah melalui mekanisme zakat dan pajak tertentu yang diperuntukkan bagi pendidikan. Bukan seperti diusulkan Mendiknas Abdul Malik Fadjar, dengan mengembangkan wacana pengumpulan dana pendidikan melalui mekanisme pajak khusus untuk pendidikan.

"Jadi, bukan memunculkan pajak khusus pendidikan, yang dikhawatirkan akan mendorong sektor lain untuk menarik pajak dengan argumentasi yang sama dengan sektor pendidikan," kata Dr A Fathoni Rodli, Staf Ahli Komisi VI DPR, di Jakarta, seperti dikutip dari situs Pesantren.net. Fathoni dimintai komentarnya seputar usulan dari berbagai pihak kepada Komisi VI DPR untuk menambah anggaran pendidikan, yang dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2003 kurang dari empat persen.

Sebelumnya, Menteri Pendidikan Nasional Abdul Malik Fadjar dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR mengusulkan agar dikembangkan wacana untuk mengumpulkan dana pendidikan melalaui mekanisme pajak khusus untuk pendidikan. Menurut Fathoni, saat ini Komisi VI DPR sedang memikirkan usaha-usaha yang pantas, produktif dan legal, untuk menambah anggaran pendidikan yang saat ini masih jauh dari tuntutan yang diamanatkan UUD 1945 hasil perubahan, yakni minimal 20 persen dari total APBN dan APBD.

"Kalau saya pribadi lebih setuju melalui mekanisme zakat. Apalagi saat ini sudah ada Undang-undang (UU) tentang Zakat, dan diusulkan peruntukkannya bagi pendidikan," ujarnya. Mekanisme zakat ini, kata Fathoni, dinilai relatif mudah untuk diterapkan. Apalagi sekarang Menteri Agama sudah melakukan koordinasi bersama Menteri Keuangan agar pembayar zakat bisa mendapat potongan dari kewajiban pajak yang seharusnya dibayarkan.

"Menteri Agama sudah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan agar bentuk-bentuk pembayaran zakat itu diberikan pengakuan oleh Menteri Keuangan, lalu pengakuan ini dijadikan pemotongan pajak yang seharusnya dibayar," ujar Fathoni. Adapun bagi masyarakat non-Muslim, tambahnya, harus dicarikan cara yang mirip dan ekuivalen dengan zakat bagi masyarakat Muslim. Dengan demikian, dana yang dihimpun oleh masyarakat non-Muslim untuk kegiatan keagamaan tersebut sebagian bisa dipergunakan untuk pendidikan, dan pada gilirannya akan mendapat potongan pajak yang harus dibayarkan.

Hanya saja, diakui bahwa mekanisme zakat ini masih membutuhkan sosialisasi ke masyarakat Muslim sendiri. Apalagi hingga saat ini belum banyak masyarakat Muslim yang mengetahui keberadaan UU tentang Zakat dan penggunaan zakat tersebut. "Mekanisme zakat ini memang lebih cepat, lebih gampang dan konkret. Namun, dalam penerapannya perlu terlebih dahulu dilakukan penyadaran terhadap umat Islam agar mau membayar zakat. Kalau kita bisa membangkitkan kesadaran umat untuk membayar zakat, maka pendidikan akan memiliki anggaran yang besar," ujarnya.

Mengenai pajak tertentu yang khusus diperuntukkan bagi pendidikan, antara lain, bisa diambilkan dari pajak bumi dan bangunan (PBB). Selain itu, juga bisa dengan memanfaatkan pajak yang dibayarkan oleh penyelenggara pendidikan komersial, seperti kursus-kursus. Dari pajak yang mereka bayarkan kepada negara itu sebagian dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan. "Sebetulnya banyak sektor yang bisa digali. Sebutlah dengan memanfaatkan pajak-pajak lain yang bersifat langsung, seperti pajak hiburan, pajak restoran, dan sebagainya.

Sebaiknya, pajak yang diperuntukkan untuk pendidikan itu merupakan pajak yang bisa memberikan kontribusi konkret, mengingat pendidikan sudah menjadi kebutuhan konkret," kata Fathoni. Hanya saja, peruntukan pajak tertentu untuk pendidikan ini harus disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat. Sosialisasi ini perlu dilakukan agar bisa memunculkan kesadaran masyarakat untuk peduli pada pendidikan.

Masalah penting lain yang harus diperhatikan adalah penggunaan dana-dana yang berhasil dikumpulkan untuk pendidikan itu harus transparan. Keterbukaan dalam penggunaan dana ini pada gilirannya akan mendorong munculnya dukungan masyarakat pada usaha perbaikan pendidikan. "Tanpa memperhatikan aspek transparansi ini, rasanya sulit mengharapkan dukungan masyarakat," kata Fathoni.



© 2003 Hak Cipta oleh Republika Online
Dilarang menyalin atau mengutip seluruh atau sebagian isi berita tanpa ijin tertulis dari Republika