Di Majalah Hidup No. 25 / 20 Juni 1999 ada satu karangan "Mengenal Gereja Ortodox".

Di situ disebutkan:

"Jemaat Gereja Ortodox Indonesia telah ada di beberapa tempat di Indonesia. Diawali di Solo, Jawa Tengah, lantas disusul beberapa tempat seperti Surabaya, Jakarta, Medan, dan Bali. Semua dilayani oleh rohaniwan2 putra tanah air."

Sekedar berbagi informasi untuk teman2 yang mungkin mau tahu sedikit tentang gereja Ortodox...
(saya ambil dari majalah Hidup tersebut)

Gereja Katolik maupun Gereja Ortodox punya tradisi hampir sama.
Keduanya berasal dari satu akar, yakni tradisi Gereja Purba.
Penganut Gereja Ortodox mengawali setiap doa dengan tanda salib. Perbedaan ada pada arahnya: Katolik mengakhiri tanda salib dari kiri kekanan, Ortodox dari kanan ke kiri.
Gereja Ortodox juga mengenal 7 sakramen yang sama persis dengan Katolik.
Dalam setiap Misa, perjamuan kudus diberikan dengan sarana hosti atau amnos dalam istilah mereka, berupa roti besar dan anggur kepada setiap jemaat yang telah dibaptis.
Berbeda dengan Gereja Katolik, Gereja Ortodox ini tidak menggunakan kursi dalam ruang ibadat, melainkan hanya tikar atau alas sembahyang. Sikap sembahyang pun terdiri dari posisi berdiri, duduk dan sujud (seperti dalam sholat kaum muslim). Tata cara tersebut berasal dari tata cara Gereja Purba dalam menyembah Allah, sejak abad pertama.
Bahasa liturgi Ortodox beragam, ada Arab, Yunani dan Ibrani. Namun bahasa itu hanya dipakai dalam doa tertentu atau pembacaan Injil. Bahasa pengantar utama tetap bahasa Indonesia.

Gereja Ortodox Syria Indonesia yang belakangan sering disinggung, tidak ada hubungannya dengan Gereja Ortodox Indonesia (GOI). Pendiri Ortodox Syria adalah umat GOI yang karena satu dan lain hal memisahkan diri dan membentuk kelompok sendiri.GOI sendiri adalah Gereja yang tetap katolik dalam arti universal, terbuka bagi semua orang, bukan untuk kelompok tertentu saja...demikian ujar Romo Daniel (rohaniwan Ortodox).

- tulisan dari Stelly Maria Leks untuk mailing list gerejacihuy - 1999 -

GEREJACIHUY MENU

 


Majalah Gatra, Nomor 17/IV, 14 Maret 1998

KRISTEN ORTODOKS SYRIA

Upaya Menemukan Kembali Akar

Ajaran Kristen Ortodoks Syria hadir di Indonesia. Mereka salat tujuh kali sehari, dengan menggunakan bahasa Arab.

BERMULA dari keingintahuannya tentang ajaran Kristen yang berwajah oriental, Bambang Noorsena, 34 tahun, menelaah teks Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Ia juga melakukan perjalanan ke beberapa negara Timur Tengah pada 1995-1997. "Saya melacak jejak historis Gereja Anthiokia purba yang dikisahkan dalam Kitab Kisah Para Rasul," katanya kepada Gatra. Pencariannya tidak sia-sia. Bambang menemukan ajaran Kristen Ortodoks yang berpusat di Anthiokia, Syria.

Dalam ajaran Ortodoks itu Bambang Noorsena menemukan jembatan yang bisa menghubungkan antara Kristen dan Islam yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia. Lalu, warga Malang, Jawa Timur, yang tercatat sebagai jemaat Kristen Jawi Wetan itu berguru khusus kepada Mar Ignatius Zaka al Awwal al Uwais yang berkedudukan sebagai Patriark Anthiokia dan seluruh wilayah Timur. Mar Ignatius dikenal juga sebagai Rais al Aliy (Pemimpin Tertinggi) Gereja Ortodoks Syria. "Selama belajar di sana saya menemukan kembali akar kekristenan semitik. Inilah penerus dan pewaris Kristen yang pertama," kata Bambang.

Dalam Kisah Para Rasul disebutkan, sepeninggal Isa, Rasul Petrus bertugas sebagai patriark yang pertama di Anthiokia. Selama tujuh tahun Rasul Petrus menjalani misi sucinya, sebelum bertugas ke Roma. "Sejak saat itu ajaran Kristen mengalami proses Helenisasi, diikuti dengan Westernisasi," ujar Bambang Noorsena menjelaskan.

Yang menarik, dalam menjalankan ibadah ritualnya, Ortodoks Syria ini menjalankan salat tujuh waktu dalam sehari semalam, dengan menggunakan bahasa Arab. Mereka juga membaca Kitab Injil -dalam bahasa Arab- mirip orang Islam sedang mengaji Al-Quran.

Adapun tata cara salatnya dimulai dengan posisi berdiri yang dipimpin oleh seorang imam berpakaian jubah warna hitam. Imam meletakkan kedua tangan di dada, membuat tanda salib, lalu mengucapkan lafaz dalam bahasa Arab: Bismil Abi wal Ibni wa Ruhil Quddus Ilahu Wahid (Demi nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, Allah Yang Maha Esa). Jamaah menyambutnya: Amin. Imam melanjutkan berdoa dengan mengangkat kedua tangan dan disahuti oleh jamaah.

Setelah membuat tanda salib berikutnya, imam membungkukkan badan seperti posisi ruku, dan mengucapkan: Quddusun Anta, ya Allah (Kuduslah Engkau, ya Allah). Jamaah menyahut dengan menyucikan nama Allah Yang Mahakuasa, Yang Tak Berkematian. Jamaah memohon kasih sayang Allah yang telah disalibkan sebagai ganti umat manusia. Imam berdiri tegak dan menadahkan tangan lagi.

Lalu imam bersujud, dan diikuti seluruh jamaah. Ketika bangun dari sujud, imam membaca Subhanaka Allahumma (Mahasuci Engkau, ya Allah), jamaah menyahut bersamaan. Sambil menadahkan tangan, imam dan jamaah membaca Doa Rabbaniyah (Doa Bapa Kami versi bahasa Arab). Selanjutnya dibaca Salam Walidatullah (atawa Salam Maria). Imam kemudian membaca petikan Zabur (alias Mazmur dalam bahasa Aramaik), dan salat pun berakhir.

Kini, pengikut ajaran "baru" itu sudah ratusan jumlahnya, terutama di kalangan anak muda terpelajar. Mereka tersebar di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Malang. Untuk menghimpun jamaah, Bambang Noorsena membentuk Yayasan Kanisah Ortodoks Syria, September tahun lalu. Peresmiannya diselenggarakan di Hotel Milenium di Jakarta, akhir tahun lalu. Barnabas Suebu (mantan Gubernur Irian Jaya) duduk sebagai ketua umum yayasan. Sedangkan Dr. Anton Lesiangi (tokoh teras di Kosgoro) sebagai sekretaris umum. Mereka memang masih belum mempunyai gereja sendiri, karena masih menunggu sang imam yang bakal ditasbihkan di Syria.

Meskipun demikian, sejauh ini yayasan tersebut belum tercatat dalam komunitas Kristen di Indonesia. Hal itu dikemukakan oleh Jan Kawatu, Direktur Bimbingan Masyarakat (Bimas) Kristen Protestan, Departemen Agama, kepada Gatra.

Selama ini, menurut Jan, untuk mengontrol lahirnya yayasan dari aliran-aliran keagamaan di lingkungan Kristen Protestan, pihaknya telah mengeluarkan surat edaran yang disampaikan kepada para notaris, agar mereka tidak mengesahkan berdirinya sebuah yayasan atau lembaga kristen sebelum mendapat izin resmi dari Direktur Bimas Kristen. "Izin itu kan perlu untuk mengetahui siapa mereka, apa tujuannya, dan macam apa alirannya," kata Jan. Selain itu, menurut Jan, Bimas Kristen Protestan sudah menutup pintu bagi aliran baru. "Tidak ada lagi izin bagi aliran baru," kata Jan menegaskan.

Berbeda dengan Jan, kehadiran aliran Kristen Ortodoks Syiria ini dapat diterima oleh cendekiawan muslim seperti Dr. Jalaluddin Rakhmat dan Dr. Nurcholis Madjid. "Kita harus menaruh hormat dan menghargai perbedaan," kata Kang Jalal -sapaan akrab Jalaluddin Rakhmat- pada Taufik Abriansyah dari Gatra. Menurut Kang Jalal, dia tidak kaget kalau dalam tata cara peribadatan mereka banyak yang sama dengan ajaran Islam. Sebab, menurut Kang Jalal, pada zaman dulu pun orang-orang Islam di Yordania, Syria, dan Lebanon hidup berdampingan dengan orang-orang Kristen yang disebut Kristen Moronit. Mereka melakukan tata cara peribadatan hampir mirip dengan cara beribadah orang Islam.

"Agama Nasrani itu makin klasik makin banyak kemiripan dengan Islam," kata Cak Nur -sapaan akrab Dr. Nurcholis Madjid- kepada Mauluddin Anwar dari Gatra. "Kalau sekarang ada yang mirip, ya tidak aneh," ujar Cak Nur. Menurut Cak Nur, aliran Kristen Ortodoks Syiria itu justru lebih murni ketimbang Kristen yang berkembang di Barat. "Kalau kita gunakan literatur yang lebih awal, sebetulnya Kristen yang paling asli ya aliran mereka itu," kata Cak Nur kepada Gatra. Agaknya kita memang perlu arif sesuai dengan semangat toleransi antarumat beragama.

Herry Mohammad, Sapto Waluyo, dan J. Eko Setyo Utomo

GEREJACIHUY MENU


Ada Jilbab, Khitan, dan Jenggot

SEJARAH menunjukkan bahwa paham Ortodoks lahir dari perselisihan antara Gereja Alexandria dan Gereja Roma serta Kaisar Konstantin. Dan mencapai puncaknya pada masa Kaisar Bizantium Marqilanus (450-458 Masehi), yaitu ketika diadakan Majma Khalkaduniyah dalam hal ketuhanan tahun 451 Masehi. Inilah yang kemudian menjadikan umat Kristen menjadi dua.

Satu pihak berpusat di Roma dan Bizantium yang mengakui bahwa Al-Masih memiliki dua sifat: Tuhan dan manusia. Aliran ini dipimpin oleh Baba Laon (440-461 Masehi). Sedangkan yang lain berpusat di Alexandria dan Antakia di bawah kepemimpinan Bapa Disqures I (444-454 Masehi) yang berpegang pada prinsip sifat tunggal bagi Al-Masih.

Aliran pertama, yang setuju bahwa Al-Masih punya sifat Tuhan sekaligus manusia, kemudian dikenal dengan nama Kristen Katolik. Sedangkan yang tidak setuju masuk dalam kelompok Ortodoks. Dari segi bahasa, ortodoks berarti "menganut ajaran agama yang dianggap benar, yang asli". Karena itu, penganut Ortodoks mencoba untuk hidup secara lurus, sesuai dengan tuntutan awal dari kelahiran agamanya.

Penganut Ortodoks itu sendiri dari beberapa toifah. Toifah adalah komunitas berdasarkan kesamaan kultus, tradisi, bahasa, dan bangsa. Ada toifah Koptik, Syrian, Armenian, dan Habasyah. Sedangkan "akidahnya" sama.

Menurut Abuna Robula Iskanda Soma, pemimpin Syirian Ortodoks di Mesir dan sekaligus pengasuh Kaniset Al-Adzro Maryam, "Antara Koptik dan Syrian adalah saudara kandung. Kami memiliki akidah yang sama, meski cara hidup kami berbeda," katanya. "Saya sendiri sekarang mendalami teologi kepada seorang guru Koptik biarpun saya Syrian."

Ortodoks Syria mengklaim punya bukti sejarah bahwa Injil yang pertama berbahasa Syria, dan Al-Masih berbicara dengan bahasa Syria. Injil diterjemahkan ke dalam bahasa Arab tahun 643 Masehi. Waktu itu jabatan Gubernur Syria dipegang Umar bin Abi Waqos yang beragama Islam. Sampai saat ini, Injil yang digunakan penganut paham Ortodoks Syria, Irak, Lebanon, dan Mesir, adalah Injil berbahasa Arab. Antara bahasa Syria dan bahasa Arab memang banyak persamaannya.

Para penganut Ortodoks Syria melaksanakan ibadah tujuh kali per hari. Tapi, bila ada kesibukan, salatnya boleh dilakukan dua kali per hari: waktu fajar dan ketika matahari terbenam. Kalau yang ini masih juga tak mampu, bisa dilakukan satu kali dalam seminggu, yakni pada hari Minggu.

Mereka juga mengenal puasa. Yaitu menghindari semua makanan yang mengandung unsur hewani. Minyak dan susu, misalnya, termasuk pantangan untuk diminum. Puasa bisa dilaksanakan pada setiap hari Rabu dan Jumat, kecuali antara hari kebangkitan Al-Masih hingga hari Pantekosta. Di dua hari besar itu ada larangan untuk menjalankan ibadah puasa.

Suami-istri juga tak boleh sembarangan melakukan talak, kecuali salah satu di antara suami-istri itu melakukan sesuatu yang dilarang agama. Zina misalnya. Si suami tak berhak menceraikan istri. Hanya gereja yang berhak memutuskan cerai pasangan suami-istri. Itulah sebabnya Gereja Ortodoks tak mengakui cerai yang dikeluarkan catatan sipil. Poligami juga dilarang.

Pada awalnya, perempuan penganut Ortodoks Syria diwajibkan memakai jilbab hitam. Tapi karena perkembangan zaman, tak sedikit dari mereka yang melepaskannya. Meskipun demikian, bila ke gereja, mereka tetap diwajibkan menggunakan jilbab berwarna hitam.

Gereja, menurut paham ini, adalah suci. Siapa pun yang masuk ke rumah Tuhan harus dengan hati yang bersih. Juga fisik. Karena itu, sepatu tak boleh dipakai di dalam gereja. Lalu, pria dewasa, meski tak diwajibkan, dianjurkan untuk khitan. Para pendetanya juga memanjangkan jenggot. Ini mengingatkan pada para pendeta di masa awal berkembangnya ajaran Kristen.

HMO, Mauluddin Anwar, dan A. Murtafie Haris (Kairo)

GEREJACIHUY MENU